Demi Fairy!

Demi Fairy!

Demi Fairy!
Oleh: Dyah Diputri

Pukul dua dini hari. Mataku masih terjaga di antara kelelapan manusia yang terbawa mimpinya masing-masing di kereta api yang kutumpangi. Termasuk Andre, suamiku, pulas bersandar di kursi dengan sebelah tangan masih meraih Fairy dalam pelukannya. Putri kecil kami sedari berangkat lebih merasa nyaman dengan ayahnya ketimbang aku. Jangankan Fairy, aku pun merasa ada yang salah dengan diri ini. Lebih tepatnya “hatiku”.

Kereta api jurusan Jakarta-Surabaya melaju pesat. Kusibak gorden jendela dan memandang entah ke luarnya. Pandangan menerawang kepekatan langit malam yang tak berhias kartika. Sunyi, kosong. Deru kereta api bahkan tak mampu menggugah hiruk di hatiku.

Tinggal beberapa jam lagi untuk sampai di sana. Kegundahanku semakin tak bisa distabilkan. Degup jantungku tak beraturan, napas memburu seolah takut sebelum berperang. Terlalu banyak bayang masa lalu yang kutakutkan untuk menjejak lagi di Surabaya.

“Tidurlah, Sayang.” Tiba-tiba Andre terbangun. Disandarkannya perlahan kepala Fairy di pangkuannya dan meletakkan kakinya lurus di pangkuanku, hingga tak ada sela di antara kami. Lalu ia mendekat padaku.

“Apa yang kau pikirkan, Mei?” tanyanya lagi. Aku menatap ke kedalaman matanya. Sungguh, jika boleh aku ingin kereta ini berbalik arah saja.

“Apa bedanya jika aku tak tidur? Pagi ini kita akan tiba di sana, bukan?” Aku mengalihkan pandangan kembali ke luar jendela.

Andre mengecup bahuku. Dalam tiap embus napasnya meminta pengertian dariku.

“Kau marah?” Sekarang ia mulai menggenggam tanganku. Tak bisa kutolak walau ingin. Aku tak sepicik itu.

“Tidak, hanya—”

“Dendam?”

“Mungkinkah aku pendendam? Pada ibumu? Ibu mertuaku,” jawabku dengan senyum kecut.

“Tidak. Kau bukan wanita seperti itu. Jadi, tidurlah, sayangku.”

Andre melepas genggaman tangannya. Mencari posisi yang nyaman untuk kembali bersandar dan memejamkan mata. Sudah!

Tidurlah! Seperti pikir yang tak pernah sadar!

Aku termangu dalam heningku lagi. Seperti malam-malam sebelumnya aku terjaga dalam sunyi yang menggigit. Tak ada cela dalam hatiku untuk bisa bernapas lega setelah peristiwa itu.

Bukannya aku pendendam. Hanya, bekas luka di hati wanita tidak bisa kembali sehalus kulit semula walau masa menjatuhkannya ke deretan waktu yang baru.

Keesokan paginya kami tiba di Stasiun Wonokromo. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum untuk sampai di rumah ibu mertuaku. Sepanjang perjalanan Fairy tak henti mengoceh, bertanya tentang ini-itu pada ayahnya.

“Fairy kangen Nenek, Ayah,” ucapnya girang begitu angkutan umum mulai berjalan.

Andre tersenyum semringah. Raut wajahnya terlihat senang sebab rindu yang hampir terganjar temu. Ia mengangguk dan tertawa setiap kali Fairy berceloteh riang.

Sedang aku masih bergeming. Gejolak di dadaku semakin menggebu. Aku membisu di antara ketidaksiapan mata dan hati untuk bertemu dengan Ibu.

Akan tetapi, bukan waktu namanya jika berjalan mundur ke titik aman yang dimaui. Pada saatnya, aku harus berdiri menata mantra dan laku, menciptakan senyum palsu yang sedikit terkesan terpaksa, hanya untuk membuktikan bahwa aku wanita yang besar hati.

“Mei, bagaimana kabarmu, Nduk?” Ibu memelukku dan aku tak sanggup menolak.

“Baik, Bu.” Jawaban klise yang tak mampu membohongi isi nurani. Mataku mulai berkabut. Sedikit gumpalan menitik tanpa diminta, kemudian kuseka dengan jemari saat memalingkan wajah.

Andre menatapku dari jauh. Detik ini dia tak lagi memberikan senyum semangat atau permohonan. Dia mulai tersadar bahwa pijakan kakiku tak semudah tarikan garis bibir ke atas. Aku rapuh, dalam riak sakit hati yang tak bisa terluapkan sejak malam itu.

Ya, malam itu ….

Setan bersorak gembira mengiringi pertengkaran di dalam rumah ini. Masalahnya sepele, hanya karena Fairy yang ketika itu masih berusia 1,5 tahun rewel sebab sakit. Aku mencoba menenangkan sebisa mungkin, tapi omelan Ibu memperburuk suasana yang ada.

“Buat anakmu diam, Mei. Kau ini bisa tidak jadi ibu?”

“Wajar, dia sedang sakit, Bu. Tentu saja rewel,” ujarku sembari menggendong Fairy ke ruang tengah.

Ibu menyusulku. Berkacak pinggang dan tak henti menceramahiku. Menyudutkanku pada kesalahan seorang ibu muda pada umumnya.

Aku mencoba menghindar. Demi agar pertikaian ini tidak memanas, selain karena aku hanya sendirian tanpa Andre yang belum pulang dari kerjanya.

Semakin Fairy mendengar suara bernada tinggi dari Ibu, semakin menangislah ia. Peluhku berjatuhan, bagian tubuhku serasa terbagi-bagi menghadapi kemelut malam itu.

Puncaknya, tiba-tiba temperamen Ibu meningkat.

Tak!

Prang!

Sebuah gelas kaca terlempar dari tangannya menuju ke arahku, tetapi meleset! Gelas itu mendarat tepat di pelipis Fairy yang seketika benjol dan membiru, kemudian jatuh ke lantai. Pecah.

“Ibu! Apa yang Ibu lakukan?!”

Fairy menangis histeris. Aku kelimpungan, panik tak terkira. Melihat matanya yang memerah, aku menjerit.

Aku berlari keluar tanpa memedulikan Ibu yang menangis mengiba maaf. Sesegera mungkin aku melarikan Fairy ke rumah sakit.

“Sungguh besar hatimu, Sayang.” Andre menepuk bahuku, membuatku meninggalkan lamunan yang mengawang di pertengahan.

Aku tersadar kembali ke dunia sekarang, di mana detik membawa aku kembali ke ruang tengah rumah Ibu. Namun kini Fairy yang sudah bersekolah TK, bermanja ria dengan neneknya di halaman rumah. Tak ada lagi malam kelam. Selalu, hanya bekas luka saja yang masih tersisa.

“Demi dia. Gadis kecilku,” kutunjuk Fairy yang sedang membuka mulut, bersiap menerima suapan cheese cake dari neneknya, “rasa ingin melindungi kalah dengan usaha ingin menjaga hatinya,” lanjutku.

“Aku tak mengerti mengapa kau bisa sekuat ini. Padahal, akan wajar bila kau melampiaskan amarahmu pada ibuku.” Tubuh Andre lunglai terduduk di sofa. Ia tangkupkan telapak tangan di wajah. Baru kali ini kulihat ia semenyesal itu.

“Apa gunanya marah walau aku berhasrat? Toh, amarah dan sesal tak mampu mengembalikan penglihatan mata kiri putriku.” Genangan hangat menerobos dari kelopak mata seolah tiba waktunya ia menghunjam ke pipi setelah sekian lama bergumul—sepercik demi sepercik dalam cangkirnya.

“Maaf. Karena aku tak bisa menjagamu dan Fairy.” Andre pun tidak tahan untuk bersama-sama meluapkan ngilu yang menyesakkan dada sebelah kiri kami.

Pandangan kami mengarah pada Fairy. Gadis itu … masih selalu tersenyum walau hanya bisa melihat dunia dengan sebelah matanya sebab syaraf penglihatannya putus. Namun, kecantikan yang menguar dari senyum manjanya membuat sebagian orang tak mengenali kepedihan yang ia sembunyikan.

Pernah suatu ketika ia bertanya mengapa ketimpangan berlaku padanya. Aku hanya bisa menangis dan berbisik pelan, “Karena Tuhan sayang kamu, Nak. Tuhan ingin kamu menjadi gadis yang kuat dan hebat.”

Mulutku terkunci rapat untuk membuka kebenaran yang bisa jadi menyakiti hatinya, saat ini ataupun kelak saat ia dewasa. Bagaimanapun, manusia adalah tempat kekhilafan. Aku dan Ibu sama-sama bersalah dalam hal ini.

Bagiku, memenuhi kisi-kisi hati dengan kebencian sama saja dengan menciptakan kegelapan yang gulita bagi Fairy. Dan, dendam yang berlarut selama perjalanan hidup justru bisa menenggelamkannya dalam rasa sakit yang melebihi sakit akibat cacat matanya.

Tidak. Sepanjang hidupku pun aku meluaskan hati. Meredam ego, menafikan amarah. Demi dia. Gadis suci dari keruh dunia. (*)

 

Malang, 14 November 2018.

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Akun Facebook Dyah Maya Diputri.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata