Dekapan Kegelapan (Terbaik 15 Cerpen Fantasi)

Dekapan Kegelapan (Terbaik 15 Cerpen Fantasi)

Dekapan Kegelapan 

Oleh: Imouni 

Terbaik 15 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata

Pada hari itu, dua gadis berusia dua belas tahun berjalan hati-hati di tengah hamparan gandum yang bergerak disapu angin. Langit di atas tampak gelap, terasa berat seolah-olah hujan badai akan segera turun. Namun, dua gadis itu tidak mau peduli. Mata mereka terpaku pada benda hitam di depan—sebuah pintu gelap, tinggi menjulang yang muncul begitu saja dari tanah, tidak terhubung dengan apa pun di sekitarnya. Bentuknya aneh, mirip portal yang terbuka menuju tempat yang tidak diketahui.

Mereka saling menggenggam tangan dengan erat. Anindya, gadis berambut pirang, mengenakan gaun putih yang bergoyang pelan, merasakan denyut jantungnya semakin cepat setiap kali langkah mereka mendekat ke arah pintu hitam. Ia merasa takut, juga penasaran. Di sebelahnya, Jenaira yang rambut merahnya berkibar diterpa angin, menatap pintu dengan mata lebar yang penuh kekaguman. Bibir berbisik, “Apakah kamu merasakannya, Anindya?”

“Merasakan apa?” suara Anindya keluar hampir seperti bisikan, menatap Jenaira dengan lekat. 

“Aku merasa ada sesuatu di balik pintu ini. Sesuatu yang… memanggil kita.”

Anindya mengatupkan mulut, mata menatap ke arah pintu dengan lekat. Semakin dilihat, semakin membuat bulu kuduknya meremang. Jenaira benar, ia bisa merasakan hal yang sama, meski tidak ingin mengakuinya, karena takut. Genggaman tangan semakin erat, rasa khawatir memenuhi benak. 

Sejak ia dan Jenaira melihat pintu yang muncul di tengah ladang gandum saat sedang bermain, perasaan aneh tidak bisa hilang. Bagian dari dirinya ingin lari sejauh mungkin meninggalkan tempat ini, tetapi bagian lain—bagian yang lebih besar–merasa bahwa ia seakan tersedot, seolah pintu itu sengaja muncul di sana agar terlihat oleh mereka. 

Jenaira yang lebih berani dari Anindya, menarik tangan Anindya lebih kuat, berkata dengan suara menyakinkan. “Kita harus masuk, Anindya. Mungkin ini pintu yang membuka ke dunia lain, seperti dalam dongeng yang sering kita baca.”

Anindya menelan ludahnya sendiri, merasa tangannya gemetar sedikit. “Tapi, bagaimana kalau kita tidak bisa kembali, Jenaira?”

“Jangan khawatir, aku rasa kita bisa menemukan sesuatu yang luar biasa di sana? Kau ingat legenda yang dikatakan nenek tentang pintu ke dunia lain? Mungkin pintu ini jawabannya Anindya!”

Pintu di depan sana semakin besar di mata mereka. Meski sekitar mereka terasa normal saja, hamparan gandum emas, langit yang perlahan menghitam, suara angin yang bergulung lembut—pintu tersebut terlihat salah, Anindya merasa takut melihat pintu di depannya terlalu gelap. Terlalu… padat. Terasa seperti bukan sekadar pintu, melainkan batas antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam. Bagian dalam pintu tampak seperti putaran gelap yang tak terhingga, seperti pusaran yang siap menelan apa pun yang mendekat.

Ketika dua gadis itu berhenti tepat di hadapan pintu, Anindya mencoba menarik kembali tangannya dari genggaman Jenaira, tetapi Jenaira menatap Anindya dengan tajam, mata Jenaira berbinar dengan semangat menyakinkan. “Kita akan baik-baik saja, Anindya. Aku janji padamu.”

Sebelum Anindya ingin menolak lebih jauh, Jenaira sudah lebih dulu mengulurkan tangan, menyentuh permukaan pintu. Sehingga, udara di sekitar berubah. Rasa dingin tiba-tiba menghantam kulit mereka berdua, membuat dua gadis itu gemetar merasakan hawa dingin yang menusuk relung tulang. Angin berputar liar, seakan melolong di sekitar ladang, hingga membuat gandum bergoyang semakin kuat.

“Jenaira, aku tidak yakin tentang ini…,” bisik Anindya dengan raut takut, tetapi kata-katanya seketika terhenti saat cahaya kecil berpendar dari tempat Jenaira menyentuh pintu. Cahaya itu mulai melebar, seperti celah yang terbuka sebagai bentuk jalan masuk ke sana.

Tidak mendengarkan peringatan Anindya, Jenaira malah melangkah maju sambil menarik tangan Anindya bersamanya. Sehingga, mereka masuk ke dalam cahaya, dalam sekejap seluruh dunia di sekeliling mereka menghilang.

Tubuh mereka dibawa masuk ke dalam pusaran. Hanya kegelapan yang terasa mengelilingi. Saat keduanya membuka mata, ladang gandum sudah lenyap. Dua gadis itu berdiri di tempat yang sangat berbeda, terasa asing. Bukan ladang gandum lagi. Melainkan sebuah hutan lebat, penuh dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi, dahan-dahan hitam tampak terjalin seperti sarang laba-laba di langit yang sekarang berwarna ungu tua. Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara sungai yang mengalir deras, dan sesekali gemerisik seperti langkah makhluk yang tidak terlihat di antara dedaunan.

Anindya memegang tangan Jenaira jauh lebih erat. “Kit–kita ada di mana ini, Jenaira?”

Jenaira memandang sekeliling, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. “Aku rasa kita ada di dunia lain… Kau lihat? Kita benar-benar menemukan tempat ini berkat pintu portal itu.”

Namun ini sangat aneh, dunia yang dimasuki oleh mereka berdua jauh dari apa yang pernah dibayangkan, bukan seperti yang ada di dalam dongeng. Tidak ada kastil megah, tidak ada peri dengan sayap bercahaya, tidak ada pangeran tampan. Di sini hanya ada sesuatu yang liar dan kasar, seperti dunia yang sama sekali belum tersentuh manusia selama ribuan tahun. Melihat sekeliling, membuat pikiran Anindya dipenuhi tentang binatang buas, takutnya tiba-tiba mereka berdua dimakan binatang buas di tempat antah-berantah ini. 

Langkah mereka berdua terdengar sangat jelas di atas dedaunan kering, memecahkan kesunyian hutan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin kuat perasaan tidak nyaman menyusup ke dalam benak Anindya. Anindya merasakan ada sesuatu yang tengah memperhatikan, sesuatu yang tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi bisa dirasakan. Setiap kali mereka berdua bergerak, udara terasa semakin berat, seperti ada kekuatan yang menahan mereka untuk tidak terlalu jauh dari pintu yang telah mereka lewati.

Berbeda dengan Anindya yang tengah cemas, justru Jenaira tampak tidak peduli sama sekali. Ia tersenyum sambil berbisik, “Lihatlah ini, Anindya. Bukankah ini sangat menyenangkan? Dunia ini… benar-benar berbeda. Aku merasa kita memang seharusnya berada di sini.”

Tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar dari balik pepohonan, memantul di antara dahan-dahan. Tawa itu halus, hampir seperti suara angin, sangat jelas hingga membuat Anindya berhenti. “Apa kau mendengarnya, Jenaira? Ada yang tertawa.”

Jenaira mengangguk. “Aku juga dengar. Mungkin saja kita tidak sendirian di sini.”

“Jenaira, aku rasa kita harus kembali,” bisik Anindya, rasa cemasnya semakin memenuhi benak. Begitupun dengan rasa panik, tetapi Jenaira malah bergerak lebih cepat, mengikuti arah suara tawa itu.

“Tidak! Jenaira, tunggu!” teriak Anindya, berlari menyusul. Tangan yang semula tergenggam, kini terlepas saat Jenaira memilih berlari lebih jauh ke dalam hutan, menuju sesuatu yang sama sekali tidak bisa dilihat. 

Dengan napas terengah-engah, Anindya berusaha menyusul, hingga ia melihat sesuatu di antara pepohonan besar. Sosok tinggi dengan jubah hitam, berdiri diam, menatapnya dengan mata yang bercahaya seperti bara api.

Tubuh Anindya membeku, waktu seakan terhenti. Sosok itu tidak bergerak sama sekali, tetapi pandangan matanya begitu kuat sampai tubuh Anindya tidak bisa bergerak. Sesuatu yang dingin dan menakutkan menjalar dalam benak Anindya, membuat jantungnya berdetak sangat cepat.

“Si–siapa… siapa kau?” Suara Anindya bergetar takut, nyaris tidak terdengar.

Sosok di antara pepohonan tinggi itu, tidak menjawab, hanya terus menatap, seolah-olah sedang menilai sesuatu dalam diri Anindya. Kemudian, dari kegelapan terdengar tawa halus lagi, kali ini jauh lebih dekat dari sebelumnya. Sosok itu mengangkat satu tangan, menunjuk ke arah di mana Jenaira menghilang.

“Jenaira!” Anindya menjerit, berusaha memaksakan kakinya bergerak mengejar Jenaira. Akan tetapi, hutan ini terasa seperti menutup jalannya mencari Jenaira–dahan-dahan pohon saling melilit, membuat jalan di depan semakin gelap dan sulit dilalui. 

Anindya ketakutan, mencoba berteriak lagi memanggil nama Jenaira. Suaranya terasa lenyap ditelan oleh suara tawa itu. Tiba-tiba, di sekeliling terasa berputar, perlahan hutan ini berubah menjadi kabut yang memeluk seluruh tubuh Anindya, menekan setiap pori-pori sampai tidak ada ruang untuk bernapas. Anindya merasa sesak sekaligus pusing, kemudian…, semuanya berubah menjadi gelap.

Komentar Juri, Lutfi:

Membaca cerpen ini, saya merasa seperti ikut masuk dalam petualangan kedua tokoh. Rasa penasaran, takut, dan khawatir bercampur menjadi satu. Di akhir cerita pun, penulis masih menyisakan misteri yang membuat pembaca ingin membaca lebih banyak lagi.

Kalau saja penulis mau memaksimalkan jumlah kata dan menambah narasi untuk lebih menguatkan cerita, mungkin naskah ini akan jauh lebih menarik.

Grup FB KCLK

Leave a Reply