Deja Vu

Deja Vu

Deja Vu

Oleh: Ika Mulyani

 

Kantin kampus di jam makan siang selalu penuh dan bising. Aku sebenarnya lebih suka membeli makanan di warteg Yuk Marni dan memakannya di kamar indekos, ditemani alunan merdu lagu-lagu Kla Project atau Kahitna. Akan tetapi, satu jam ke depan di hari ini, ada jadwal praktikum. Tidak akan cukup waktu untuk pulang indekos–meski cukup dekat dari kampus–dan kembali ke laboratorium di lantai empat kampus yang belum memiliki lift ini.

 

“Hai, Mai!”

 

Aku mendongak, mengalihkan pandangan dari sepiring siomay yang tengah kunikmati. Tampak di hadapanku, Bayu dengan tinggi tubuhnya yang menjulang tengah tersenyum.

 

“Hai, Bay!”

 

Bukan aku yang menjawab, tetapi Asti di sebelahku, yang tengah menyantap mie ayam favoritnya.

 

“Nyamber aja, lo!” tukas Bayu sambil mengambil tempat duduk di hadapanku.

 

Asti terkikik. Aku hanya tersenyum.

 

“Eggak makan lo, Bay? Puasa?” tanya Asti lagi.

 

“Masih antre. Tuh!” Bayu mengedikkan kepalanya ke arah barisan pembeli yang mengular di gerai warung nasi.

 

Antrean panjang itu pula yang membuat aku dan Asti akhirnya memilih menu selain nasi untuk makan siang kali ini.

 

“Masih banyak makanan yang lain.” Asti lagi yang menimpali.

 

“Males. Kalo makan yang aneh-aneh, perut gue suka bergejolak.”

 

“Bahasa lo, bergejolak. Dikata lagi demo mahasiswa, apa?” tukas Asti sambil terbahak.

 

Aku ikut tertawa, meski sedikit tertahan karena mulutku sedang penuh terisi potongan tahu.

 

“Kamu kenapa, Mai? Kok, diem aja dari tadi? Sakit gigi?” Bayu bertanya, tidak memedulikan tawa kami berdua.

 

“Haiyya! So sweet, lah, kalo sama Maimun. Pake bahasa kamu. Pasti ada maunya, tuh!” cerocos Asti dengan nada sengit.

 

“Ih, bawel banget sih, lo, As! Dari tadi si Mai belum kebagian ngomong!”

 

“Kalo lagi makan, si Mai mah konsen, puasa ngomong. Apalagi ngeladenin tukang rusuh kayak elo, mana mau, dia.”

 

“Oh, gitu. Oke, deh. Aku tungguin sampe kamu beres makan.”

 

Aku mengulum senyum ketika Asti tertawa lagi dan berkata, “Geli gue, denger elo ber-aku kamu!”

 

Namun, Bayu berlagak tidak peduli. Ia menunggu sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. Tatapan matanya tertuju kepadaku, membuat jengah dan agak risi. Pipiku terasa panas dan rongga dadak sedikit sakit karena desakan jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Semoga kedua orang di hadapanku itu tidak mendengar dentumannya yang bertalu-talu, menimbulkan gemuruh di telingaku sendiri.

 

Segera kutundukkan kepala, sementara Asti kembali mentertawakan sikap Bayu yang memang tidak seperti biasanya. Gegas, kutandaskan menu makan siangku.

 

“Kenapa, Bay?” tanyaku kemudian sambil melap bibir dengan tisu. Aku tidak berani beradu pandang dengannya.

 

Bayu tersenyum dan menurunkan dua tangannya.

 

“Ajarin gue, eh, aku, kalkulus, dong. Plis.” Pemuda itu menyahut dengan wajah teramat memelas. Senyum di bibirnya hilang.

 

“Tuh, kan, bener ada maunya!” cetus Asti, disambut delikan mata Bayu.

 

“Ngajarin? Enggak salah?” tukasku sambil mengernyitkan dahi.

 

“Iya. Waktu UTS kemaren, kamu dapet A, ‘kan? Plis, ya, ajarin aku. UTS kemaren aku kena remedi, untung bisa dapet C, biarpun C-nya kuruuus banget, kayak si Asti.”

 

“Gue langsing, bukan kurus!” protes Asti sengit.

 

Aku tersenyum dan Bayu terbahak.

 

Aku lalu tertegun. Mengajari Bayu? Bagaimana? Di dalam benak, kubayangkan sebuah ruang kelas dengan aku sebagai guru dan ia menjadi salah satu muridnya.

 

Cita-cita untuk menjadi guru memang belum sepenuhnya hilang dari anganku. Semestinya, aku mengambil program studi keguruan, tetapi …. Ah, sudahlah. Mungkin takdir yang membawaku ke kampus ini dan bertemu dengan ….

 

“Mai!”

 

Suara Bayu membuatku tersentak dan menyahut tergagap, “Eh, cara ngajarinnya gimana?”

 

Aku memang menyukai semua pelajaran yang berhubungan dengan ilmu berhitung. Beberapa bulan lalu, kujalani ujian tengah semester Kalkulus 2 dengan bahagia. Mata kuliah itu sungguh oase bagiku, di antara sekian banyak mata kuliah lain yang menuntutku untuk menghafal banyak teori dan istilah ilmiah yang cukup membuat keder.

 

“Kita bahas soal UAS tahun lalu aja. Nih, aku bawa.”

 

Bayu mengeluarkan seberkas dokumen dari dalam tasnya dan menyerahkan semuanya kepadaku. Senyum terkembang di wajahnya yang sekilas mirip Nicholas Saputra. Sayang, aku tidak secantik Dian Sastro. Eh.

 

“Widih, keren lo, Bay!” tukas Asti, berdecak kagum.

 

“Gue, gitu, loh!” sahut Bayu, membusungkan dada bidangnya. Senyum pemuda itu makin lebar, dan deretan gigi putih yang rapi mengintip dari sela bibirnya.

 

Jantungku bertalu lebih kencang daripada saat Bayu menopang dagu sambil menatapku tadi, ketika ia lalu mengedipkan sebelah matanya kepadaku.

 

“Mai!”

 

Panggilan Asti membuatku tergeragap, “I-iya, As?”

 

“Ayo, Mai, kita coba kerjain, yuk!” Asti berkata antusias. Setahun penuh menjadi sahabatku, gadis itu sukses kutulari kesenangan berkutat memecahkan aneka soal berhitung.

 

“Eh, a-ayo, deh!”

 

“Nah, gitu, dong. Makasih ya, Mai.” Bayu berkata sambil tersenyum lalu meringis, saat terdengar suara keroncongan dari perutnya.

 

“He-he. Laper. Aku makan dulu, ya. Ngerjainnya di perpus aja, Mai. Kamu ke sana duluan aja. Nanti aku nyusul.”

 

Aku mengiakan, dan kami berdua pun beranjak ke ruangan perpustakaan fakultas yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari kantin.

 

***

 

Selain Kalkulus 2, soal ujian mata kuliah lainnya pun akhirnya menjadi bahan diskusi kami bertiga. Entah bagaimana caranya, Bayu berhasil mendapatkan salinan berkas ujian tahun lalu, lengkap semua mata kuliah.

 

“Keren abis, lo, Bay! Kok, bisa dapet soal-soal ini? Dikasih sama siapa?” tanya Asti penasaran.

 

“Ada, deh!” sahut Bayu sambil mengedipkan matanya, kepadaku, membuat pipiku memanas dan detak jantungku menggila.

 

Sejak itu pula, hingga ujian akhir selesai dua minggu kemudian, Bayu hampir selalu bersama kami. Beberapa kali bahkan kami berdiskusi hingga jauh malam di teras rumah Asti di perumahan dosen dekat kampus. Bayu pun lantas mengantarkanku pulang ke indekos dengan menunggangi vespa butut warisan dari ayahnya.

 

Selama lima menit perjalanan yang membuatku panas-dingin itu, hampir tidak ada yang kami perbincangkan. Selain karena lelah dan otak terasa penuh–setidaknya aku–suara kendaraan yang kami naiki cukup berisik. Tambahan lagi, kami berdua mengenakan helm.

 

“Lo ngintilin kita mulu, Bay. Lama-lama kita jadi kayak Trio Kwek Kwek,” komentar Asti suatu kali pada saat makan siang di kantin.

 

“Jangan banyak komentar, deh. Nih, soal PTP taun lalu!” ucap Bayu sambil menyodorkan seberkas lagi lembar soal ujian.

 

PTP, Prinsip Teknik Pangan, mata kuliah  yang lumayan njelimet dan memusingkan. Fisikanya Ilmu Pangan, kalau boleh kami memberinya nama lain.

 

Kami pun lantas melanjutkan diskusi di salah satu sudut ruang baca perpustakaan fakultas. Sudut yang tanpa kata, telah kami sepakati sebagai tempat favorit, selain teras rumah Asti tentu.

 

***

 

Selama bersama Asti dan Bayu, aku yang memang dasarnya pendiam, tidak pernah banyak bicara. Aku hanya akan bersuara bila diperlukan. Perihal jantung yang selalu terasa akan melompat dari rongga dadaku, setiap Bayu melayangkan tatap atau senyumnya kepadaku, kurahasiakan dari Asti. Padahal, sahabatku itu tidak pernah ragu mencurahkan isi hatinya kepadaku. Hanya buku harian yang kujadikan sebagai tempat berbagi cerita.

 

Selepas ujian, para mahasiswa mendapatkan liburan akhir semester selama sebulan penuh. Aku dan juga hampir semua teman mahasiswa, pulang kampung; kecuali mereka yang memang tinggal di kota ini seperti Asti.

 

Liburan kali ini terasa lama dan lambat berlalu bagiku. Aku ingin segera kembali ke kampus dan berjumpa lagi dengan ….

 

Akan tetapi, saat aku tiba kembali ke kampusku dan memulai kegiatan perkuliahan, Bayu jadi terlihat asing.

 

Keakraban kami bertiga selama dua minggu kemarin itu, seakan-akan tidak berbekas sama sekali. Bayu berhenti ngintilin aku dan Asti. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman-teman yang lain.

 

Bila tatapan kami bertemu, Bayu hanya tersenyum dan sedikit melambaikan tangan, lalu kembali berbincang seru dengan lawan bicaranya. Itu saja, tidak lebih.

 

Serasa ada lubang besar yang dalam, gelap, dan hampa udara, di dalam relung hatiku.

 

Ada emosi yang sulit dijelaskan, bila aku melihat Bayu asyik berbincang dengan teman perempuan lain. Seolah-olah, ada mata pisau berkarat yang mengiris-iris sisi lubang di hatiku, dan membuatnya makin lebar dan dalam.

 

Meski sulit, aku mencoba untuk tidak mempermasalahkan hal itu dan menjalani hari-hari seperti biasa.

 

***

 

Waktu telah tiba di pertengahan semester. Tiga bulan yang akan terasa amat panjang dan menjemukan, andai saja tidak ada Asti. Jadwal Ujian Tengah Semester sudah terpampang pada papan pengumuman di setiap kantor tata usaha jurusan di fakultasku.

 

“Hai, Mai!”

 

Mendengar suara itu, jantungku seolah-olah berhenti sesaat, tetapi lalu berdetak lagi dengan laju hampir tidak terkendali.

 

Aku mendongak, mengalihkan pandangan dari sepiring siomay yang tengah kunikmati. Tampak di hadapanku, Bayu dengan tinggi tubuhnya yang menjulang tengah tersenyum.

 

“Hai, Bay.” sahutku gugup, dan kembali melanjutkan makan. Kebetulan Asti tengah mengantre di gerai warung nasi.

 

“Aku punya soal UTS tahun kemarin, lengkap. Kita bahas, yuk!” katanya sambil duduk di hadapanku.

 

Senyum pemuda itu makin lebar, dan deretan gigi putih yang rapi mengintip dari sela bibirnya, membuat jantungku bertalu lebih kencang daripada saat ia menyapaku tadi.

 

Aku merasakan deja vu.

 

Mungkin benar kata Asti, yang berulang kali merepet, “Sial bener, tuh, bocah! Dia cuma manfaatin kita aja, Mai! Awas aja kalo dia deketin kita lagi waktu ujian nanti.”

 

Akan tetapi, aku tidak kuasa untuk berkata tidak. Melihatnya duduk sedekat ini sambil tersenyum, membuat lubang besar berdarah-darah di hatiku itu seakan-akan tidak pernah ada.

 

Aku pun lalu mengiakan ajakan Bayu, dengan menganggukkan kepala dan menyunggingkan senyum termanis, meski mungkin tidak semanis senyum Dian Sastro.

 

Mungkin Asti akan marah kepadaku, tetapi hatiku terlalu bahagia untuk bisa mencemaskan hal itu. []

 

Ciawi, 14 Juli 2021

Bionarasi:

Ika Mulyani, emak tiga anak, lahir dan besar di Kota Hujan Bogor; lulusan Teknologi Pangan yang “tersesat” ke dunia literasi sejak dua tahun lalu. Alih-alih beranjak pergi, ia berniat menyelami dunia itu lebih dalam dengan terus “belajar membaca” agar bisa menulis dengan lebih baik.

 

Editor: Erlyna

Leave a Reply