Deil
Oleh: Uzwah Anna
Beker meraung layaknya seorang perempuan yang sedang mengomel. Atau semacam pantat panci yang dipukul berkali-kali. Berisik sekali. Menyipit, kujulurkan tangan menggapai benda berbentuk kotak mungil berwarna biru tersebut. Dapat! Langsung kutekan tombol off. Masih ada waktu beberapa jam lagi. Kutarik selimut lantas kembali terpejam.
Baru saja, hampir kembali melayang ke alam mimpi, tapi alarm handphone sudah berbunyi layaknya bom yang tinggal beberapa detik lagi meledak. Melenguh, kupaksa badanku berdiri. Mendekat pada benda itu yang semalam sengaja kuletakkan di atas meja. Tujuannya jelas, supaya jauh dari tempat tidur, agar aku bisa terjaga untuk mematikannya. Sebenarnya ingin kembali ke pelukan selimut. Namun, jika dipikir lagi, sayang. Lebih baik aku segera bergegas ke kamar mandi.
Handphone berbunyi menyerupai suara koin jatuh. Ada notifikasi. Kulihat layar benda pipih tersebut. Dari Deil. Ada apa sepagi ini dia sudah kirim pesan. Kuabaikan.
06:00.
Kalau di kampungku, di jam seperti ini bumi sudah terang. Banyak orang berseliweran. Entah berangkat ke sawah, pasar, atau para bocah yang ke sekolah. Namun, di sini masih gelap. Orang-orang juga masih takut keluar rumah. Jika tak mendesak lebih baik tinggal di apartemen saja. Menikmati pelukan selimut, mendengar buaian musik klasik atau sekadar menyesap cokelat panas.
Di luar badai masih mengamuk. Menumbangkan banyak pohon dan beberapa billboard roboh. Di televisi, wartawan sedang menerangkan perkiraan cuaca. Intinya cuaca sedang buruk. Penduduk diharapkan waspada.
07:30.
Aku keluar rumah. Mengenakan sejumlah pakaian hangat, sarung tangan, dan sepatu boot setinggi kaki. Gulungan syal kembali kurapatkan di leher. Tak rela jika udara musim dingin yang menggigit, menyentuh kulit. Jas hujan sudah kuselipkan di dalam ransel hitam. Berjaga-jaga jika nanti turun hujan saat bertugas di lapangan. Kubuka pintu. Hujan sudah mereda. Namun, rintik dari langit masih jatuh satu-satu. Ekor mataku tertuju pada benda putih di samping pintu, payung. Payung ini cukup bersejarah. Sebab telah lama menemaniku, tepatnya sejak pertama kali diriku menjejakkan kaki di sini. Sekitar hampir tiga tahun. Awet, bukan? Tentu saja karena aku selalu hati-hati saat menggunakannya.
“Morning, Ann,” sapa seorang lelaki bertubuh tegap, Deil.
Deil merupakan blasteran Prancis-Indonesia. Keseluruhan bentuk fisiknya lebih ke Eropa. Hanya satu yang menandakan bahwa dia masih memiliki darah Jawa, matanya. Matanya lebar dan bernetra kelam, “Ini adalah mata ibuku,” katanya menerangkan padaku, waktu itu.
Aku mengenalnya ketika musim semi tahun lalu. Kala itu dia sedang duduk di taman dekat tempat tinggal kami, menikmati siraman mentari. Di sini beda dengan Indonesia. Di negara kelahiranku, adanya matahari dianggap biasa saja. Namun, lain halnya dengan di sini. Sebab seperti negara Eropa lainnya, Jerman sangat dingin. Jadi ketika matahari bersinar cerah, hal ini serupa anugerah. Orang-orang di sini benar-benar menikmatinya. Mereka biasanya lebih memilih outdoor untuk menikmati libur musim semi. Sekadar berjemur atau jalan santai. Bagi yang suka berkebun, terutama kaum hawa, ini merupakan waktu yang tepat untuk menyalurkan hobinya. Karena udara hangat dan langit biru cerah.
Di sore itu aku pulang lebih awal. Namun, tak ingin segera masuk apartemen. Jadi kubelokkan kaki ke taman. Aku melihat banyak anak kecil bermain di sana. Berlarian dengan bocah lain seusianya. Para orang tua duduk sambil bercengkerama dengan sesamanya. Ada juga sepasang suami istri yang masih muda berkeliling taman mendorong stroller, bayinya tertidur nyenyak seraya ngemut dot susu yang tinggal setengah.
Aku memandang sekeliling, lantas duduk, menyelonjorkan kaki di atas rumput hijau, tanpa alas. Sesekali memeriksa handphone.
“Udaranya hangat. Menyenangkan sekali,” ucap seorang lelaki di sebelahku menggunakan bahasa Inggris.
“Iya, sayang jika dilewatkan begitu saja,” jawabku menggunakan bahasa Inggris juga seraya melempar senyum.
Lantas terjadi obrolan ringan di antara kami. Mengalir begitu saja. Mulai dari cuaca, transportasi, hewan peliharaan hingga menyebutkan nama. Di sini, perkenalan tak langsung dimulai dengan menyebutkan nama. Biasanya nama disebut ketika di antara dua orang yang berbincang saling merasa nyaman.
“Deil. Om Deil,” ucapnya seraya mengulurkan tangan kanan.
Em, nama yang cukup unik dan aneh buatku. Sebab baru pertama kali ini telingaku mendengar nama yang baru saja diucapkannya.
“Are you Indian?” Sengaja aku bertanya seperti itu. Karena namanya hampir nyerempet nama-nama orang India, menurutku. Namun, jujur saja aku agak menyangsikan pertanyaanku sendiri. Sebab dia memiliki wajah sangat Eropa.
“I’m French,” jawabnya.
“Oh, really? I think you’re German.” Aku salah tebak.
“My Dad is French and my Mom is Indonesian.”
Oh, ternyata dia blasteran.
“And you?”
“Me? Ann,” jawabku seraya menjabat tangannya.
“Indonesian?” tebaknya.
“How do you know?” Jujur aku sedikit terkejut. Wajah dan perawakanku memang sangat Asia. Namun, kebanyakan orang mengira bahwa aku kaum pendatang dari Thailand. Entah apa yang membuat mereka menganggapku sebagai penduduk dari negara gajah putih tersebut.
“Your accent.”
Ah, benar juga. Ibunya kan orang Indonesia. Jadi pahamlah sedikit tentang negaraku, ya, termasuk logat.
“I guess you’re Javanesse, right?
“Your Mom is Javanesse?”
Dia mengangguk, “She is Malang Person.”
“Really?!”
“Why?”
“I’m Malang, too.”
“Seriuosly?!” Kini giliran dia yang terkejut.
“Absolutly.”
Lantas kami tertawa bersama. Tak menyangka bahwa dunia begitu sempit. Bagaimana mungkin dua orang yang tak pernah saling mengenal tiba-tiba bisa merasa sangat dekat ketika kami mengetahui memiliki darah yang sama. Ya, meskipun darah dia sudah tak semurni darahku.
Sejak saat itu pertemuan kami semakin intens. Kami sering menghabiskan waktu bersama di teras kafe menikmati secangkir cokelat hangat. Ngobrol ngalor-ngidul. Bahkan beberapa kali aku pernah video call dengan ibunya di Prancis sana, menggunakan handphone dia tentunya. Ibunya sangat hangat, khas orang Indonesia. Kami mengobrol dengan menggunakan bahasa Jawa. Tiba-tiba aku merasa rindu dengan ibuku sendiri di Malang sana.
“Apa kau pernah ke Indonesia?” tanyaku suatu ketika. Dia baru saja meletakkan cangkir keramik putih ke meja dari kayu, isinya tinggal separuh. Dia melempar pandang ke jalanan. Orang-orang masih lalu lalang di sana.
“Pernah waktu aku kecil.”
“Oh, ya?” aku tertarik dengan kisahnya. Lantas kusanggahkan dagu pada tangan kanan. Dia paham maksudku: tell me more.
Mengesah, akhirnya dia mulai berkisah.
Dulu dia sering ke Indonesia, tepatnya di tanah kelahiran ibunya di Malang sana. Namun, karena ada beberapa sebab tertentu, maka sejak dia berumur sebelas tahun orangtuanya tak pernah lagi membawanya berkunjung ke Indonesia.
Sebenarnya aku penasaran alasan apa yang menyebabkan mereka tak mau berkunjung lagi ke tanah kelahiran ibunya. Namun, sepertinya dia tak berkenan melanjutkan. Jadi aku tak menuntutnya bercerita lebih banyak.
“Aku tak mau suasana hatiku menjadi buruk karena menceritakan hal itu. Jika kelak waktunya tepat, i will tell you more,” ucapnya menggunakan bahasa campuran Inggris dan Indonesia.
Selama ini memang begitu cara kami berkomunikasi, menggunakan bahasa campuran. Kami menyebutnya bahasa gado-gado. Dia sangat tertarik dengan bahasa ibunya. Makanya setiap kali mengobrol denganku sebisa mungkin menggunakan bahasa Indonesia meski terbata-bata. Kadang juga terselip bahasa Jawa. Aku sering terpingkal-pingkal ketika lelaki berkulit putih ini mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Jawa. Sebab aksen Prancisnya sangat kental. Orang perancis biasanya kalau berbicara agak sengau. Ketika mengucapkan kata Maurence jadi Mourong. Saat bilang Joko jadi Joukou. Kardi jadi Karredie. Nama lokal kedengarannya jadi asing jika dia yang mengucapkannya.
“Are you not interested with Indonesian girls?”
“Dating?“
Aku mengangguk.
“Of course, yeah …”
“Oh, yeah …? How is she?“
“You!”
Aku mendelik!
Dia paham maksudku. Lantas lelaki berambut pirang kecokelatan ini tersenyum. Kembali mengambil cangkirnya dan menempelkan di mulutnya. Dia melempar pandang pada jalanan yang lengang. Senyumnya masih mengembang. Sepertinya dia puas meledekku dengan sebuah ucapan ‘you’ yang baru saja ditodongkan padaku.
“Uhuk!” Tubuhnya sedikit terguncang ke depan. Mungkin cokelat hangat yang baru saja diseruput tak melewati tenggorokannya dengan sempurna.
Rasain loe …. Siapa suruh ngeledek gua?
“Kualat!” lirihku penuh penekanan.
“I’m really sorry,” ucapnya dengan raut wajah memerah sebab sesekali masih batuk-batuk.
Ketika napasnya kembali terkontrol, Deil bercerita. Dulu dia pernah menjalin sebuah hubungan dengan perempuan Indonesia, tepatnya gadis Kediri, Mirasih. Mirasih kuliah di Jerman mengambil jurusan kimia murni. Cuma hubungan mereka kandas sebab orangtua sang gadis tak memberi restu. Mereka tak rela jika putri tunggalnya mesti hidup jauh di Eropa mengikuti jejak suaminya, kelak.
Padahal Deil sangat berharap jalinan kisahnya dengan gadis itu kelak bisa memperbaiki hubungan orangtuanya dengan kakek, nenek, berikut dengan paman, dan bibinya di Indonesia sana. Malang dan Kediri tidak terlalu jauh. Setidaknya mereka bisa sekalian berkunjung ke kampung halaman ibunya meski hanya semalam. Yang penting bisa bertatap muka agar ketegangan yang selama ini terjadi sedikit mencair. Karena dia yakin permasalahan yang sebenarnya terletak pada komunikasi yang kurang lancar antara pihak orangtuanya dengan kakek, nenek, serta saudara ibunya di Malang. Deil yakin kelak jika menikah dengan Mirasih hubungan keluarganya yang kaku, akan meleleh ketika bapak ibunya semakin sering ke Indonesia ketika memiliki cucu kelak. Deil berencana akan tinggal di Indonesia. Dia telah menabung untuk waktu yang lama.
Namun apa mau dikata, orangtua si gadis pujaannya tetap tak merelakan putrinya menikah dengan lelaki luar negeri. Maka kandaslah hubungan dua sejoli itu.
Menghela napas, kemudian Deil berkata, “Mungkin Tuhan memang tak menakdirkan kami untuk berjodoh.” Dia menjetik-jentikkan telunjuknya pada cangkir yang isinya telah tandas.
***
“Morning, Deil,” jawabku seraya melangkah cepat. Sepertinya dia sengaja menungguku di luar gedung. Wajahnya kusut. Pasti semalam dia begadang lagi. Aku sudah sering mengingatkannya agar segera mencari pendamping supaya ada yang mengurusnya.
Angin kembali mendesau. Mengibarkan rambut kelamku yang sengaja tak kuikat.
“Udah sarapan?”
Aku menggeleng.
Deil lantas meraih pergelangan tangan kananku dan menyeretku menujuku toko roti yang cukup besar. Dia mendudukkanku di sebuah bangku sebelah dinding kaca. Jadi bisa melihat semua aktivitas di luar toko: orang-orang lalu lalang seraya berjalan cepat, seorang lelaki usia tiga puluhan yang mendekap gadis mungil, dua wanita paruh baya yang asyik bercengkerama di toko roti seberang jalan, serta lalu lintas yang lumayan lengang. Lengkap!
Aku melihat penanda waktu yang melingkar di pergelangan tangan. Masih ada waktu sejam sebelum aku kembali berkutat di tempat kerja. Deil masih memilih beberapa roti untuk sarapan kami hari ini. Sesekali dia melempar pandang ke arahku. Mungkin dia takut aku melarikan diri seperti biasanya.
Lelaki berjambang tipis itu beberapa kali sempat kesal bahkan ngambek sebab sering kutinggal begitu saja saat dia memilih beberapa roti untuk menu sarapan kami, seperti sekarang. Bukan apa-apa, hanya saja waktunya kurang tepat. Tahu sendiri toh bahwa orang-orang Eropa sangat disiplin waktu. Jadi aku tak mau dianggap sebagai orang Indonesia kesekian yang sering teledor waktu. No, big no!
Deil kembali melihat ke arahku. Memastikan bahwa aku masih ada atau sudah lenyap.
Kukirim pesan singkat padanya.
Kenapa, kamu takut aku ngilang begitu saja, eh?
Dia membalas, cepat.
Bagus jika kau paham.
Tenang saja. Hari ini aku tak buru-buru. Masih cukup waktu untuk sekadar breakfast.
Really?
Asal makan roti, bukan batu.
Dia tersenyum membaca pesan terakhirku. Lantas kembali memandangku dengan sorot gemas.
“Hurry up,” ucapku tanpa suara. Tapi dia paham sebab aku sengaja memainkan mimik muka dan melambai dengan telapak tangan ke arah dalam.
“Ok.” Dia mengacungkan jempol.
Empat buah roti telah berada dalam satu piring besar. Dua gelas susu juga sudah tersedia di meja kayu berwarna cokelat natural.
“Hari ini beres kerja jam berapa?” tanyanya seraya menyelipkan roti di antara dua bibirnya yang cukup tebal, merah, dan sexy.
Mungkin dia tak sadar bahwa aku sering memperhatikan wajah sekaligus penampilanya pada saat kami berhadapan seperti ini. Namun kali ini matanya kuyu. Wajahnya sedikit pucat. Mungkin dia kelelehan setelah berhari-hari digempur deadline.
“Mungkin sore aku sudah ada di rumah. Hari ini tak terlalu sibuk. Deadline sudah kubereskan kemarin. Why?“
“Nothing.” Pria di depanku ini mengendikkan bahu.
“Really?” Aku sengaja mencondongkan badan sedikit ke depan. Sehingga wajah kami semakin dekat.
Deil menarik badan ke belakang. Menyodorkan segelas susu padaku, “Not really.”
Aku menyeruput cairan putus dari gelas yang baru saja digeser untukku, “Why? What happen? Any something wrong?“
Sepertinya dia menyimpan sesuatu yang berat.
“Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting.”
“Apa?” Aku penasaran. Mungkinkah lelaki ini akan bilang bahwa dia telah menemukan gadis yang tepat untuk segera dibawa ke hadapan orangtuanya? Ah, Deil … sepertinya baru kemarin aku mengenalmu lantas membawelimu agar segera menikah. Namun, sekarang kau sudah menemukan gadis itu dan secepatnya ingin menjalin hubungan serius dengannya. Waktu begitu cepat berlalu, bukan?
“A—aku ….”
Aku mengangkat alis. Antusias dengan kata-kata yang akan segera meluncur dari dari dua garis bibirnya.
“A—aku ….”
Tiba-tiba temanku ini gugup. Wajahnya semakin pucat. Tak biasanya dia seperti ini.
“Deil? Are you, ok?“ Kuletakkan tanganku di atas tangannya. Mencoba menetralisir agar dia segera menguasai diri. “Why are you nerveous? Any something wrong?“
Dia semakin tak terkendali, gugup dan ketakutan.
Tanganku semakin merekat pada tangannya yang gemetar. Kami telah melupakan roti dan susu yang baru beberapa saat dinikmati. Entah mengapa perasaanku tiba-tiba menjadi was-was.
“Deil, ada apa?” Aku medekatkan wajah ke arahnya. “Kau melakukan sesuatu.”
Deil memeriksa sekitar. Memastikan tidak akan ada orang yang mendengar percakapan kami. Lantas mencondongkan badannya ke depan
Dia menatapku lekat, “Help me, please ….”
“Iya, apa?” Aku semakin dicekam penasaran.
Dia berbisik, “Bantu aku melarikan diri dari sini.”
“Kenapa?” Aku ikut berbisik.
“Di apartemenku ada sekantung plastik hitam berisi potongan tubuh manusia. Mirasih semalam datang ke apatemenku. Kami ribut besar. Aku geram, aku kalap, aku membunuh lantas memutilasinya.”
“Oh, my, God!”
“What are you saying, Deil?”
Seketika aku melepaskan genggamanku pada tangannya. Dua telapak tanganku langsung menutup mulut yang memekik begitu saja karena kaget. Bagai tersetrum listrik berkekuatan penuh. Aku gugup. Tak tahu mesti bagaimana.
Deil ….
Malang, 1 Februari 2019
Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata