Debar Rasa Itu Ternyata Masih Sama
Oleh: R Herlina Sari
“Reta hamil. Anakku,” kata Rio.
Mendengar kalimat itu, langkahku terhenti. Aku berdiri mematung.
Bak tersambar petir ribuan volt, aku bergeming. Tak mau lagi aku mendengar segala alasan dari lelaki di belakangku.
Ingatanku berpendar pada setahun silam. Saat Rio kembali hadir dalam hidupku setelah sekian lama kami berpisah. Bukan … bukan perpisahan yang seperti itu. Melainkan kami terpaksa berpisah karena keadaan. Aku harus melanjutkan sekolah ke kota lain, sedangkan Rio memutuskan untuk melanjutkan sekolah di kota kami.
Kami memutuskan untuk bersama seperti dulu, sebelum akhirnya enam bulan yang lalu dia mendapatkan tugas ke Kota Bandung. Hubungan kami pun merenggang walau tak pernah ada kata putus. Kami jarang berhubungan dengan alasan kesibukan.
Sekian lama Rio menghilang dari hidupku, dia lalu datang membawa cerita baru yang tak bisa aku sebut itu sebuah candu. Ternyata debar rasa itu masih tetap sama. Seperti dulu, saat kami masih bersama.
Namun kini, perasaanku hancur, saat Rio datang kembali membawa lara. Walaupun pahit harus kutelan, tetapi aku tak bisa melupakan. Rio hadirkan segenap cerita yang bisa menyempurnakan hidupku, katanya. Namun … sungguh aku tak yakin, jika kami akan baik-baik saja setelah ini.
Rio pernah bilang, dia akan datang kembali untukku. Hanya untukku, saat kapalnya membutuhkan sebuah pelabuhan. Pelabuhan yang nyaman dan menenangkan, itu cerita yang pernah kudengar. Saat kami sedang berjalan santai keliling danau Sentanu sambil bersepeda.
Rio bercerita, selama tak ada aku, dia telah berkelana ke banyak dermaga. Namun, dia tak menemukan dermaga yang indah, lapang, dan menenangkan di mana pun. Dia juga bilang, pernah berada di dermaga yang berombak cukup kencang, hingga kapalnya terombang-ambing hampir karam. Bersyukur, dia bisa bangkit dan berlayar kembali. Ah … mendengar ceritanya saja, hati ini tak kuat. Tak rela jika dia banyak mengalami derita saat tak bersamaku.
Suatu ketika, surat dari Rio datang. Tertulis di sana dia sedang bahagia. Menemukan dermaga baru yang tak kalah indahnya. Aku pun bahagia membacanya, walau air mata tak bisa membohongi semuanya. Ari mata itu mengalir deras tanpa pernah bisa kubendung. Sakit rasanya … inginku segera berlari meraihnya kembali. Namun, aku bukanlah sosok yang mementingkan diri sendiri. Kebahagiaan Rio di atas segalanya. Itu dulu.
Kini, bolehkah aku egois dan berdoa untuk menahan kapalnya di dermagaku saja? Tak bisakah dia hanya melihatku dan bukan ke yang lainnya? Hanya satu pintaku pada malam-malam tak berbintang. Aku hanya ingin menjadi satu bintang paling terang, yang akan menjadi petunjuk arah di lautan lepas. Dengan begitu, aku yakin Rio akan melihatku saja. Walaupun hanya saat malam.
Doaku terkabul, Rio selalu datang saat kegelapan menyelimuti hatinya. Segala kegundahan ada pada dirinya. Rio datang … sekali lagi, dengan membawa secawan madu untuk hatiku yang sedikit demi sedikit telah membeku. Aku pun tak bohong, jika debar rasa itu ternyata masih sama seperti dulu.
Mungkin aku memang perempuan bodoh, yang masih mengharap walau telah disakiti. Namun, aku masih waras untuk tak lagi menerima permintaan laki-laki yang jelas-jelas telah menyakitiku berulang kali. Karena … ada nyawa baru yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya.
“Din … maafkan aku,” ucapnya. Dia berusaha meraih tanganku.
Aku terhenyak. Ucapannya membawaku ke dunia nyata. Kukibaskan tangan yang sempat Rio sentuh. Aku merasa jijik.
“Tak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah terjadi. Namun, luka yang kamu berikan tak akan pernah bisa sembuh dengan sempurna. Aku kecewa padamu, Rio.”
Aku meninggalkan lelaki itu. Semakin lama berhadapan dengannya semakin tak kuasa aku menahan sesak di dalam dada. Aku kecewa. Benar-benar kecewa. Tak mengapa jika dia lebih memilih sahabatku untuk menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, bukan dengan cara hina seperti ini.
***
“Bukan cuma kamu yang kecewa, aku pun sama.”
Aku menoleh. Itu Reza, temanku.
“Tak kusangka keputusan untuk ikut reuni kali ini bersama kalian malah membuatku terluka.” Aku menghela napas.
“Andai aku tahu lebih awal. Aku pun tak akan membiarkan kamu datang, Din, aku sendiri juga tak akan datang untuk melihat kemesraan mereka,” ucapnya.
“Za … apa aku memang seburuk itu ya? Hingga sahabatku sendiri menusukku dari belakang?”
“Tak ada yang benar-benar menjadi sahabat kita di dunia ini. Tak ada yang benar-benar di percaya. Pun dengan bayangan diri sendiri terkadang juga berhkianat.” Reza berkata. Sorot matanya tajam penuh rasa kecewa. Karena aku tahu … di balik tatapan matanya dia pun mengalami luka yang dalam. Aku paham benar bagaimana rasanya. Ditikung oleh sahabat sendiri itu terlalu menyakitkan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Kami harus menelannya dan berusaha bersama untuk segera move on. [*]
Surabaya, 18 Desember 2021 (Revisi)
RHS, gadis penyuka senja, lumba-lumba, dan warna ungu yang sedang belajar menulis.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay