Death (Part 7)
Oleh : Sinta Dewi S.
Sesampainya Ahtar di tempat kerja ayahnya, dia segera masuk dan mencari keberadaan Danu. Dengan napas yang memburu dan dendam yang menguasai, Ahtar kalap. Kekecewaan serta kemarahan yang membuat dirinya tidak terkontrol.
Beberapa karyawan yang ada di sana bingung mendengar teriakan Ahtar yang menggila mencari sosok Danu.
“Ahtar.” Suara itu sontak membuat Ahtar terdiam. Dia berbalik menghadap seseorang yang tengah memanggilnya.
“Hany …,” ucap Ahtar heran. Dia kaget mengetahui sosok yang telah lama tidak ditemuinya justru dia temui di tempat ini.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Hany heran serta bingung.
“Aku … aku mencari seseorang yang bernama Danu. Kamu sendiri sedang apa di sini?” tanya Ahtar. Dia memperhatikan penampilan Hany, lalu memahami jika Hany bekerja di tempat yang sama dengan ayahnya.
“Aku bekerja di sini. Pak Danu? Ada urusan apa?”
Lalu, tiba-tiba Danu datang karena mendengar ada keributan di luar kantor.
“Ada apa ini?”
“Saya mencari Danu!” jawab Ahtar
“Danu? Saya Danu. Kamu siapa?”
“Jadi, kamu yang telah membunuh ayah saya?”
“Apa?” Danu terkejut mendengar jawaban Ahtar yang tiba-tiba menuduhnya.
Sontak, seluruh karyawan yang mendengar itu langsung kaget. Begitu pun dengan Hany, dia tidak menyangka kalau Ahtar akan menuduh Danu sebagai pembunuh ayahnya.
“Aku tidak membunuh ayahmu.”
“Bohong!” Satu tinjuan mendarat tepat di pipi kiri Danu, membuatnya tersungkur. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar.
“Aku tidak berbohong.”
“Bohong!” Ahtar menarik kerah baju Danu hingga kini mereka berhadapan. “Kamu … kamu adalah orang yang terakhir bertemu dengan Ayah. Kamu tidak bisa mengelak.” Ahtar menghadiahkan sebuah bogem sekali lagi ke perut Danu.
Hany yang melihat pertikaian itu segera melerai dan menghalangi Ahtar untuk berbuat lebih kasar lagi terhadap atasannya.
“Ahtar, hentikan! Kamu keterlaluan!” ucap Hany. Dia dan beberapa karyawan lain berusaha memegangi tubuh Ahtar agar tidak mendekat kepada Danu. Ahtar meronta, meminta dilepaskan. Sampai akhirnya, ponselnya berdering.
“Ya, halo?”
“Pak, saya sudah menangkap pembunuh ayah saya!”
Sejenak Ahtar terdiam, dia mendengar dengan saksama perkataan polisi yang meneleponnya.
“Apa?” Ahtar tampak kaget, dia memandang ke arah Danu dengan gugup. “Nggak mungkin! Jadi, siapa pelakunya?” tanya Ahtar ragu.
“Baik, Pak.” Ahtar menutup sambungan telepon.
Danu mendekat kepadanya, lalu memberanikan diri bertanya.
“Ada apa?” tanya Danu
“Jadi, bukan kamu yang membunuh ayahku?”
“Bukan. Aku sudah bilang padamu. Kemarin lalu polisi juga sudah memeriksaku dan meminta sidik jariku.”
Ahtar terdiam, dia sudah salah sangka kepada Danu. Tapi bagaimana bisa? Jika bukan Danu yang membunuh Fahmi, lalu siapa? Sementara Ahtar mengetahui jika orang yang terakhir ditemui Fahmi adalah Danu.
Hany pun meminta izin kepada Danu untuk membawa Ahtar pulang. Untuk pertama kalinya, Hany bertemu kembali setelah sekian lama berpisah dengan Ahtar. Dia merasa senang bisa bertemu lagi dengan Ahtar.
Mereka menghabiskan waktu sehari ini untuk bicara berdua. Ahtar menceritakan tentang semua yang terjadi sampai akhirnya dia menuduh dan memukul Danu dengan murka di hadapan umum seperti tadi.
“Dua hari lagi, kamu mau menemaniku untuk menemui polisi, kan?” pinta Ahtar kepada Hany. Hany pun mengangguk siap menemani Ahtar. Benih cinta yang lama hilang kini telah tumbuh kembali.
***
Dua hari kemudian, di Bandung.
Polisi kembali datang ke rumah Ahtar untuk menjelaskan masalah sidik jari yang ditemukan di TKP. Di sana juga sudah ada Juragan Tarso, istrinya, dan Hany. Di belakang polisi juga ada Danu yang turut mengekor. Ahtar terkejut melihat kehadiran Danu di rumahnya. Jika memang bukan Danu pelakunya, lalu untuk apa dia datang kemari mengikuti polisi?
“Selamat siang, Saudara Ahtar.”
“Siang, Pak.”
Ahtar mempersilakan para polisi duduk, sementara Danu masih tetap berdiri mematung di samping polisi. Sekilas Ahtar menatapnya dengan tatapan ragu. Ingin rasanya dia memaki, tapi untuk apa?
“Begini, Saudara Ahtar. Mengenai kasus kematian Pak Fahmi, ada beberapa fakta baru yang ingin kami ketahui lebih lanjut,” ucap polisi, lalu memandang Danu sekilas.
“Lalu?” tanya Ahtar.
“Saudara Danu bukanlah pembunuhnya.”
“Bagaimana bisa? Sudah jelas di dalam isi pesan WhatsApp itu jika orang yang terakhir ditemui oleh ayah saya adalah dia!” Ahtar membentak.
“Tidak, memang malam itu aku ke rumah ini. Tapi bukan untuk menemui ayahmu. Tapi aku menemui ibumu. Karena dia adalah kekasihku,” jawab Danu.
“Apa?” Ahtar terkejut ketika Danu mengakui ibunya sebagai kekasihnya.
“Bicara apa, kau?” Juragan Tarso bangun dari duduknya dan menghajar Danu di depan polisi.
“Hentikan!” Polisi pun melerai, menarik Juragan Tarso mundur menjauhi Danu.
Ahtar yang juga emosi ditahan oleh Hany, gadis itu mencoba menenangkan Ahtar agar tidak berbuat kasar seperti tempo hari.
“Sabar, jangan gegabah. Kamu ingin tahu yang sebenarnya, kan? Kamu harus siap mendengar semua kebenarannya, bukan emosi,” ucap Hany sembari mengelus dada Ahtar, berharap lelaki yang dia cintai bisa lebih tenang. Ahtar mengangguk paham.
“Tenang,” ucap polisi. “Ada beberapa kebenaran lagi yang harus kalian ketahui. Ini.” Polisi memberikan sebuah surat untuk Ahtar.
Ahtar terkejut, dia menerimanya dengan rasa ragu. Dia menatap Eyang Kakung, Eyang Uti, dan Hany secara bergantian, meminta kekuatan agar bisa menerima kabar dan kenyataan ini dengan hati yang lapang.
Dibukanya surat itu, lalu dibacanya perlahan.
“Surat keterangan DNA?” ucap Ahtar bingung. Dia melanjutkan lagi membaca surat itu. Dengan
dada yang sesak, dia mencoba tegar.
“Jadi?” ucap Ahtar pelan.
“Iya, benar. Saudara Ahtar adalah putra kandung dari Saudara Danu.”
Sontak semua orang yang ada di sana dibuat kaget dengan pernyataan polisi yang mengatakan bahwa Ahtar adalah putra kandung Danu.
“Ini nggak mungkin! Bagaimana bisa?” tanya Ahtar bingung. Kepalanya pusing dipenuhi segala kebenaran yang membuatnya merasa tidak mungkin.
“Beberapa hari yang lalu, ketika kami menerima bukti pesan WhatsApp itu, kami segera melakukan pencarian terhadap Saudara Danu, kami memeriksanya dan melakukan tes sidik jari. Pada saat olah TKP kami juga menemukan cairan kotor di celana Korban dan kami juga memeriksanya, dan diketahui jika Korban sebenarnya mandul. Untuk itu, kami melanjutkan pemeriksaan DNA terhadap helai rambut Saudara Ahtar yang kami temukan di kamar Saudara Ahtar ketika melakukan kunjungan terakhir kemarin saat Saudara Ahtar berada di Surabaya. Dan kami mencocokkan dengan DNA Saudara Danu yang telah mengakui mempunyai hubungan dengan ibu Saudara sejak beliau belum menikah dengan korban.” Polisi menjelaskan panjang-lebar.
Danu diam, dia bingung harus bersikap bagaimana. Di satu sisi dia bahagia mengetahui Ahtar adalah putra kandungnya. Tapi di sisi lain, dia bingung bagaimana hal itu bisa terjadi.
Ahtar sungguh terpukul. Dia benci mengetahui kenyataan yang membuatnya menyesal telah dilahirkan. Dia malu dilahirkan bukan berasal dari sebuah hubungan yang sah. Dia menangis tersedu, Hany yang berada di sampingnya mencoba menguatkan Ahtar, dia berusaha membuat Ahtar tidak stres.
“Dan, satu hal lagi. Soal pembunuh Korban.”
Ahtar mendongak. Dia berusaha tegar mendengar kenyataan yang lebih buruk lagi.
“Yang membunuh Saudara Fahmi tidak lain adalah Ibu Anita,” ucap polisi.
“Ibu?” tanya Ahtar.
“Anita?” tanya Juragan Tarso dan istrinya bersamaan.
“Benar. Sidik jari Ibu Anita persis dengan yang kami temukan di TKP. Dan kancing baju …,” Polisi mengeluarkan kancing baju yang terbungkus di dalam plastik, “kami menemukannya menyangkut di bagian baju Korban, dan ini adalah kancing baju milik Ibu Anita. Serta bekas darah di meja, kami juga menemukan sidik jari Ibu Anita yang bercampur dengan sidik jari Korban.”
Lalu salah satu polisi membawa Anita masuk ke dalam rumah. Ahtar dan seluruh keluarganya kaget, berdiri seketika saat melihat Anita dituntun masuk oleh seorang polwan.
“Ibu.” Ahtar berlari menghampiri ibunya yang masih tampak linglung. “Bagaimana bisa, Pak, ibu saya yang melakukan? Bapak lihat sendiri kondisi mental ibu saya yang terpukul atas kematian ayah saya?” tanya Ahtar tidak percaya
“Tolong, Ibu Anita, jangan berpura-pura lagi. Anda tidak sedang mengalami kondisi gangguan jiwa.”
Anita tidak menjawab, tetap diam. Saat tiba-tiba seorang perawat rumah sakit jiwa datang dan membawa alat kejut listrik, barulah Anita mengakui jika dirinya selama ini tidak gila. Dia hanya berpura-pura agar terhindar dari tuduhan dan jerat hukum.
“Aku tidak percaya jika Ibu tega melakukan ini. Apa kesalahan Ayah?” Tangis Ahtar benar-benar pecah, dia tidak kuat lagi menghadapi kenyataan jika ibunya adalah seorang pembunuh.
“Fahmi bukan ayahmu. Danu adalah ayahmu.” Anita menangis sesenggukan
“Dasar kau menantu kurang ajar. Kurang baik apa selama ini Fahmi kepadamu? Dia berikan segalanya, rumah, kemewahan, cinta, dan kehormatan kepadamu. Jika tidak menikah dengan Fahmi, kamu akan tetap menjadi wanita hina yang dipenuhi utang.” Juragan Tarso pun bersuara, dia benar-benar murka, selama ini menantu yang dia anggap baik ternyata seorang pembunuh.
“Itulah, Ayah, karena kesombongan Ayah dan segala penindasan Ayah di masa lalu yang membuatku menyimpan dendam. Aku sama sekali tidak mencintai Fahmi, aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang istri. Aku hanya mencintai Reyhan,” tunjuk Anita kepada Danu.
“Jadi kamu Reyhan?” ucap Juragan Tarso marah, dia membentak dan menggebrak meja.
“Iya, saya adalah Reyhan, kekasih Anita yang ditinggalkannya untuk menikah dengan Fahmi, anak Bapak. Tapi, saya benar-benar tidak bisa melupakan Anita, sampai hubungan terlarang itu pun tidak bisa kami hindarkan. Setelah Anita menikah dengan Fahmi, kami masih tetap berhubungan,” jelas Danu.
Tiba-tiba Ahtar memukul kembali muka Danu, dia tidak ingin mendengar penjelasan Danu lebih jauh lagi, tidak kuasa mendengar semua kenyataan pahit yang dia alami.
Polisi pun menangkap Anita, sementara Ahtar tidak peduli akan itu.
“Ahtar, maafkan Ibu.” Anita memelas, namun Ahtar enggan memedulikannya. Dia menangis di pelukan Hany. Hany pun mencoba menguatkan Ahtar lagi dan lagi.
“Kenapa semuanya jadi begini, Han?” Ahtar menangis.
“Sabar, Tar, aku ada di sini. Aku akan bantu kamu kuat,” ucap Hany, menepuk-nepuk punggung Ahtar yang bergetar.
“Tar …,” panggil Danu.
“Pergi, kamu! Aku tidak sudi melihatmu di sini. Seharusnya kamu juga harus dipenjara seperti wanita itu!” Ahtar memaki.
Danu pergi. Dia sadar, kali ini bukan waktu yang tepat untuknya berbicara kepada Ahtar maupun keluarganya. Situasi masih sangat sensitif. Dia pun berjalan pergi, mengikuti langkah polisi keluar yang membawa Anita yang masih meronta.
Ahtar duduk bersimpuh, menangis sejadi-jadinya. Eyang Uti mendekat lalu memeluknya.
“Eyang, aku cucu Eyang, kan? Aku cucu Eyang.” Hanya itu yang dikatakan oleh Ahtar, dia sangat menyayangi keluarganya. Dia pun juga memeluk erat eyang utinya.
Juragan Tarso bingung harus berbuat apa, di satu sisi dia sangat menyanyangi Ahtar, tapi di sisi lain, kenyataannya adalah Ahtar bukan cucu kandungnya.
“Eyang …,” ucap Ahtar lirih, melihat ekspresi eyang kakungnya yang tampak kaku terhadapnya.
Namun, dengan segera Juragan Tarso memeluk Ahtar, membuang semua pikiran negatif Ahtar yang menyebutnya berubah karena sebuah kenyataan.
Tamat
Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil memimpikan menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata