Death (part 1)
Oleh : Sinta Dewi S.
Tahun 2000
“Aku tidak mau, Ayah. Aku hanya mencintai Reyhan,” teriak Anita kepada Ayahnya. Tangisnya pecah. Air mata menetes tak terbendung. Degup jantungnya semakin cepat, membuat napas tidak teratur hingga akhirnya ia pingsan di teras rumah.
Ayahnya syok dan berteriak meminta tolong, berlari memandang jauh ke luar rumah. Berharap ada seseorang yang bisa mendengar. Seketika beberapa orang berdatangan mendengar teriakan Pak Salim, mereka bersama membantu membopong Anita masuk ke rumah, meletakkannya di kursi panjang ruang tamu.
Udara panas begitu menyengat, hingga keringat pun tidak berhenti mengucur dari kening Pak Salim yang begitu sabar menunggui putrinya. Beberapa menit kemudian bau minyak kayu putih membuat Anita sadar. Kepalanya masih terasa berat, matanya sakit berkunang-kunang. Bahkan keringat masih mengucur deras di tengkuknya.
Pandangannya suram. Tampak samar seorang lelaki tua yang duduk menjaganya. Menyeka rambut yang menutupi wajah Anita.
“Ayah ….” ucap Anita pelan.
Namun, tiba-tiba tetesan air mata Anita jatuh berlinang bersamaan dengan pemandangan jelas sebuah wajah renta yang tadi dia teriaki, wajah renta seorang Ayah yang meminta anaknya untuk menerima pinangan lelaki pilihannya.
“Maafkan Anita, Ayah. Anita menyesal telah berkata kasar kepada Ayah,” lanjutnya.
Anita pun bangun dan mencium punggung tangan Ayahnya.
“Sudahlah, Anita. Jika memang kamu tidak mau, tidak apa-apa. Ayah mengerti,” balas lelaki tua itu ikhlas, matanya yang sudah mulai menua tidak bisa menutupi rasa kecewa.
Anita memandang sekilas, ada air mata yang menggenang di pelupuk mata Ayahnya, enggan terjatuh hingga hanya membuat ilusi kaca di matanya.
Namun, tiba-tiba dari pintu luar rumah terdengar ketukan pintu yang digedor keras. Membuat daun pintu itu bergetar.
“Pak Salim! Keluar!”
Di luar rumah, terdengar suara orang berteriak.
Rumah yang hanya terbuat dari kayu itu pun seolah-olah menangis mendapati dirinya dipukuli oleh orang asing.
Sontak Anita dan ayahnya yang bernama Pak Salim pun keluar dengan hati cemas. Disekanya air mata yang menggenang di mata, lalu berjalan pelan.
“Iya, Juragan!”
Pak Salim membalas, masih dalam keadaan kaget dan cemas. Tangannya sedikit gemetar menghadapi sosok tinggi gempal, berkumis di depan rumahnya.
“Bagaimana? Apa Anita siap menikah dengan Fahmi putraku?” tanya Juragan Tarso, orang kaya di kampung Rejoso kota Bandung.
“Ma … maaf, Juragan. Anita ….”
“Anita siap, Ayah!”
Anita menghentikan ayunan tangan Ayahnya yang hendak mengapit seperti akan meminta maaf, dia memotong pembicaraan Ayahnya dan menyatakan siap untuk menikah dengan Fahmi.
“Tapi, Nak ….”
Anita menggeleng, menyiratkan senyum tipis untuk meyakinkan Ayahnya.
“Sudahlah, Yah. Anita tidak apa-apa. Asalkan Ayah bisa bahagia, Anita rela menikah dengan Fahmi.”
Jawaban Anita sungguh membuat senang Juragan Tarso. Namun, tidak dengan Pak Salim. Beliau tercengang, ditelannya ludah yang menggenang di tenggorokan. Pak Salim sadar betul jika putrinya sebenarnya terpaksa menerima lamaran itu demi dirinya. Tergambar jelas raut wajah lelaki tua itu yang khawatir dan ragu.
“Baiklah. Jika kamu sudah siap. Tiga hari lagi pernikahan itu akan dilaksanakan,” ucap Juragan Tarso.
Sambil tersenyum puas, lelaki gemuk itu pergi meninggalkan Anita dan Pak Salim yang masih mematung di depan rumah.
Jantung Anita seakan berhenti berdetak. Secepat itukah Juragan Tarso memutuskan pernikahannya dan Fahmi akan di laksanakan? Bahkan Reyhan pun belum diberitahu akan hal ini.
Anita pun lemas seketika. Namun, Anita segera sadar, tidak mau mengecewakan Ayahnya dengan memasang muka ragu dan kecewa. Hanya Ayah satu-satunya orang tua yang dia punya. Dia hanya ingin melihat Ayahnya bahagia di usia senja. Dia rela meskipun harus merenggut kebahagiaannya sendiri.
***
Tiga hari kemudian pernikahan Anita dan Fahmi digelar. Tenda berwarna putih biru menghiasi dekorasi pelaminan. Bunga warna-warni dan lampu dekorasi menambah nuansa bahagia kedua keluarga. Ya! Kedua keluarga, bukan kedua mempelai. Karena sejatinya, hati Anita teriris dengan adanya pernikahan itu. Ijab kabul dan janji suci pernikahan yang di dambakannya akan diucapkan oleh Reyhan, nyatanya Fahmi lah yang mengikrarkan. Miris memang, momen yang seharusnya membuatnya tertawa bahagia harus diwarnai air mata kesedihan.
Pak Salim pun tampak sama, meskipun dia masih bisa menyuguhkan senyuman kepada para tamu, tapi hatinya juga teriris melihat anak semata wayangnya menikah dengan orang yang tidak dia cintai.
Di mata Fahmi pun hanya ada senyum dan rona bahagia, dia tampak gagah mengenakan jas pengantin bernuansa hitam putih. Begitu pun dengan Anita yang seolah-olah menjadi ratu, tampak begitu memesona. Polesan make-up yang natural tapi tetap elegan menjadikannya sempurna.
Malam hari setelah resepsi itu dilakukan. Anita memutuskan meninggalkan pelaminan. Fahmi suaminya masih bersama teman-temannya, tertawa dan mengobrol menghabiskan dua hingga tiga botol miras. Anita tidak peduli dengan hal itu, dia lebih memilih sendiri meratapi nasib yang kini telah ia terima.
Tangis menderai tanpa henti, sesekali dia mengumpat dan memaki nasibnya yang dianggap sial. Hingga lelah dan puas menangis, Anita pun tertidur pulas di malam pengantinnya.
Dalam mimpi, samar-samar Anita mendengar suara Reyhan. Meskipun gelap dan tidak terlihat, Anita tahu jika sosok yang menyapanya adalah Reyhan. Anita pun tak kuasa menahan tangis dan mencurahkan semua di hadapan Reyhan.
Seolah-olah tahu apa yang telah di rasakan oleh kekasihnya, Reyhan pun menenangkan Anita.
“Rey … bantu aku. Aku tersiksa menjalani pernikahan ini,” ucap Anita.
“Aku tahu, An. Memang seharusnya aku yang menjadi suamimu, bukan Fahmi. Aku yang berhak atas dirimu. Ayo, An! Ikutlah bersamaku. Akan kubuat kau menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini, hingga kau tidak bisa melupakan aku,” rayu Reyhan.
Mereka pun saling berpelukan di dalam ilusi mimpi, kian nyata terasa, mereka bahkan bisa merasakan hangat dan damainya pelukan itu. Dia tidak ingin melepaskan pelukan Reyhan yang telah dia rengkuh sekarang. Matanya hanya bisa terpejam melingkarkan kedua tangannya di pundak Reyhan.
Namun, tiba-tiba angin berembus, menyibak tirai jendela kamar yang masih terbuka. Deru angin menyapu tubuh Anita dan membuatnya tersadar dari tidur. Dia menyadari jika pertemuannya dengan Reyhan hanyalah mimpi.
Gelap, entah bagaimana kamar itu kini tiba-tiba menjadi gelap. Dia meraba raba samping tempat tidurnya. Ternyata Fahmi sudah tertidur pulas, bau alkohol menyeruak dari napasnya. Membuat Anita sedikit ingin muntah. Saat hendak menutup jendela dirasakan tubuhnya sedikit sakit. Dirabanya tubuhnya sendiri. Anita terkejut mendapati tidak ada sehelai benang pun yang menempel di tubuhnya. Sontak ia menangis. Mengetahui mahkota yang selama ini telah ia jaga di renggut tanpa seizinnya, walaupun itu oleh suaminya sendiri, Fahmi. Dengan berat, Anita melangkah menutup jendela kamar. Di luar masih tampak terang, sisa-sisa dekorasi pelaminan masih belum diturunkan. Sampah berserakan di mana-mana. Anita menghela napas lalu kembali ke tempat tidurnya. Pasrah.
Pagi harinya, Anita tampak masih merasa kesakitan, dia meringis menahan sakit di daerah kewanitaannya, nyeri dan ngilu. Mungkin disebabkan malam pertamanya dengan Fahmi yang tidak ia ingat sama sekali. Apalah daya, kini dia sudah menjadi istri Fahmi, mau tidak mau dia harus menghormati Fahmi sebagai suaminya.
Saat Fahmi bangun, Anita berusaha menjadi istri yang baik, dia menyapa dan melayani Fahmi selayaknya seorang istri yang patuh, membuatkannya secangkir kopi panas dan menyiapkan keperluan Fahmi sebelum bekerja. Dia berusaha menyembunyikan sakit hatinya, agar Fahmi pun tidak curiga dengan keadaan hatinya yang sebenarnya.
“An …,” panggil Fahmi kepada Anita yang tengah menyiapkan baju untuknya.
“Ya, Mas?” sahut Anita datar. Wajahnya tidak beranjak dari isi lemari. Terus mencari sesuatu.
“Apa kamu mencintaiku?” tanya Fahmi, masih dengan secangkir kopi di tangannya.
Anita tercengang mendengar pertanyaan Fahmi. Dia pun menghentikan gerakan tangannya, berbalik kemudian mendekat menghampiri Fahmi.
“Apa jika aku mengatakan kalau aku tidak mencintaimu, kamu akan menceraikanku, Mas?”
Fahmi pun meletakkan secangkir kopi yang tinggal setengah itu kembali ke meja, lalu berdiri menatap Anita. Dia meletakkan kedua tangannya di pundak Anita.
“Tentu tidak, An. Aku tidak akan melepaskanmu walaupun kamu tidak mencintaiku!” ucap Fahmi.
“Lalu apa gunanya kau menanyakan hal itu kepadaku, Mas?” Anita menepis kedua tangan Fahmi yang bertengger santai di pundaknya.
“Apa gunanya jika akhirnya sama saja, kamu tidak akan melepaskanku?”
“Mengertilah, An. Aku sangat mencintaimu. Maafkan aku jika harus memaksamu menikah denganku,” ucap Fahmi.
Suasana hening sejenak.
“Aku yakin, suatu hari nanti kau akan bisa mencintaiku An,” lanjut Fahmi lalu memeluk Anita.
Anita terdiam, dia ingin sekali melepaskan pelukan Fahmi. Tangannya pun sudah bersiap di pinggang Fahmi untuk mendorongnya.
“Izinkan aku menjadi suamimu, An. Berikan aku kesempatan untuk bisa membuatmu mencintaiku. Apa salahnya jika aku yang menjadi suamimu?” tanya Fahmi.
Anita pun mengurungkan niatnya. Dia membiarkan Fahmi memeluknya. Bukan karena luluh. Anita hanya ingin Ayahnya.
“Mas, hari ini aku mau menengok Ayah. Aku izin mau ke sana!” ucap Anita sambil melepaskan pelukan Fahmi.
“Baiklah. Perlu aku antar?”
“Tidak usah. Oh iya, Mas. Aku mau minta sesuatu dari kamu. Aku ingin, setiap hari Ayah mendapatkan makan seperti apa yang kita makan. Kamu tahu, kan, beliau tinggal sendiri, jadi aku izin untuk tetap bisa menjaga dan merawatnya di usia tuanya,” ucap Anita.
Fahmi tersenyum. “Terserah kamu saja. Pak Salim kini juga sudah menjadi Ayahku. Kamu berhak membahagiakan orang yang sudah menjadi Ayahku juga,” jawabnya datar lalu pergi.
Anita memandang kepergian Fahmi, dia sempat berpikir, inikah laki-laki yang dia tolak? Yang dia umpat berkali-kali dan menjadi penyebab hancurnya kehidupan yang kini ia jalani?
Sampai di rumah Ayahnya, Anita membawakan sarapan, hidangan yang jarang sekali dimakan oleh ayahnya. Tumis jamur brokoli, jengkol rendang, serta telur kentang bumbu bali.
“Ayo, Ayah! Dimakan. Anita sengaja membawakan sarapan banyak untuk Ayah, ini juga nanti bisa disimpan untuk makan siang dan sore,” ucap Anita seraya menyiapkan nasi ke piring Ayahnya.
“An ….”
Tiba-tiba Pak Salim menghentikan tangan Anita yang sedang menyiapkan makanan.
“Iya, Ayah?” tanya Anita.
“Apa kamu bahagia menikah dengan Fahmi?” tanya Pak Salim.
“Apa Ayah bahagia melihat Anita menikah dengan Fahmi?”
Pak Salim mengangguk. Anita pun menggenggam kedua tangan Ayahnya.
“Anita bahagia jika Ayah bahagia,” jawab Anita lagi. Membuat senyum Pak Salim mekar. Dia yakin putrinya akan bahagia.
***
Beberapa bulan berlalu, tapi Anita tidak bisa membohongi diri sendiri jika Reyhan masih menjadi raja di dalam hatinya. Kesabaran dan kebaikan Fahmi tak mampu membuatnya melupakan Reyhan.
Diam-diam, Anita bahkan masih bertemu dengan Reyhan. Memang sudah berjarak, tapi apa daya, cinta yang sudah tumbuh sejak SMA tidak mudah mereka hilangkan.
Di sela-sela kesibukan Fahmi, menjadi alasan Anita berani menemui Reyhan, dengan dalih menemui Ayahnya.
Seperti malam itu, sepulang dari rumah Pak Salim, Anita bertemu dengan Reyhan di tempat gelap. Jauh di pekarangan belakang rumah Pak Salim. Tidak ada yang tahu jika mereka bertemu. Sinar rembulan yang menjadi satu-satunya penerang pertemuan mereka.
“An, mulai besok aku harus bekerja di Surabaya,” ucap Reyhan.
“Surabaya?”
Anita kaget bukan kepalang, mendapati lelaki pujaan hatinya akan pergi merantau ke Surabaya.
“Iya. Lupakan aku, An. Jalani hidup barumu bersama Fahmi. Belajarlah untuk mencintainya,” pinta Reyhan.
“Ta … tapi ….”
“Tidak seharusnya kita begini, bermain api di belakang Fahmi. Kembalilah, An. Kembalilah pada Fahmi. Dia begitu mencintaimu!” Reyhan menegaskan.
Anita pun tidak bisa berkata-kata lagi. Dia terpaksa menuruti keputusan Reyhan yang ingin pindah ke Surabaya, menjauhi dirinya.
Bersambung ….
Sinta Dewi, seorang ibu rumah tangga yang sejak kecil memimpikan menjadi seorang penulis. Lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di Probolinggo. Penyuka warna pink dan dance ini sejak kelas 5 SD sudah menyukai dunia menulis, meski bukan hobi. Namun separuh waktunya dimanfaatkan untuk mengasah kejeliannya memainkan kata-kata.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata