Dear Putri Kembang Tanjung
Perempuan itu, hingga kurang lebih dua bulan aku mengenalnya ditambah sepuluh bulan kurang sepuluh hari bersama dalam tim, aku belum menemukan sesuatu yang membuatku dekat secara emosional. Tak ada yang mampu menemukan kesamaan di antara kami. Kecuali kami sama-sama berkaca mata. Tidak lebih dari itu.
Banyak pemikiran yang tak pernah menemukan titik kompromi. Juga terkait hobi dan kebiasaan. Padahal kami sama-sama bergelar sarjana ilmu komunikasi. Dia banyak menyukai perfilman, sedang aku sedikit saja. Dia mahir mengoperasikan kamera, dan aku sedikit bisa melakukan itu. Aku hanya sedikit lebih unggul jika bicara hijau, mungkin.
Ia suka sekali bernyanyi di mana saja yang disukainya. Mulai dari tempat karaoke yang lumayan terkenal sekelas Inul Vista, kafe-kafe yang menyediakan karaoke gratisan, kamar tidur, hingga kamar mandi. Jarang sekali menangis, atau sekadar matanya berkaca-kaca. Setidaknya itu yang nampak olehku. Hampir segala yang dirasa ia ceritakan pada rekan-rekan dekatnya. Dan itu bukan aku. Sebab memang, aku tidak dekat dengannya. Kami bicara seperlunya. Seputar pekerjaan, seputar anak-anak desa, dan seputar tim. Itu saja. Tidak ada pembicaraan karaoke, film, apalagi musik. Aku tidak hobi. Kami tidak pernah bicara dari hati ke hati. Tetapi ia paling sering memergokiku jika sedang berkhayal di tengah-tengah diskusi santai yang serius dengan tim.
Sekali lagi tak ada benang merah di antara kami. Kecuali di atas sajadah. Kami berjamaah, menjamak salat zuhur dan asar di tengah hutan saat survival masa pelatihan sebelum bertugas. Bagiku, itu hal ter-so sweet sepanjang masa dengannya.
***
Pagi ini ia berkabar lewat SMS group. Ayahnya masuk ICU, dan mengharuskannya pulang ke Malang. Aku menyikapi biasa saja. Mengikutsesrtakan harap dan doa, agar segalanya baik-baik saja. Seratus tiga puluh empat menit dari ia berkabar, telah kudengar kabar kepergian ayahnya. Tubuhku melemas, disusul bergetar. Aku tidak percaya. Murid-murid sibuk bertanya ini-itu padaku, namun hanya mendapat kode. Bahwa ibu gurunya sedang tidak bisa ditanyai.
Aku tahu perasaannya. Sebab pernah di posisinya hampir dua tahun yang lalu. Kehilangan ayah saat di rantau. Memang, beginilah risiko perantau. Bahkan kehilangan ini sudah lebih dulu dirasakan rekan-rekanku yang sedang bertugas di kabupaten lain. Ucapan bela sungkawa pun menjadi kewajiban dari simpati. Tetapi tidak kali ini.
Dari jauh, kudengar ia masih lemas. Pasti sedang berusaha kuat sekuat-kuatnya untuk tegar. Tetapi pasti pula air matanya telah jatuh berkali-kali. Suaranya serak, tidak lantang dan tegas seperti biasa. Ia membuka mushaf, lalu membacanya. Lagi, air matanya jatuh.
Pada penerbangannya dari Lubuklinggau menuju Surabaya pukul dua siang, ia masih mengkondisikan dirinya. Tidak perlu untuk nampak kuat, setidaknya mampu untuk melakukan perjalanan itu.
Aku tahu kamu kuat, Ver. Lebih dari yang aku tahu.
Cuma itu kalimat yang mampu kusampaikan lewat WhatsApp setelah aku bisa mengumpulkan kembali kekuatan. Tak ada balasan darinya. Aku tahu, ini tidak mudah. Nomor ponselnya sedang sibuk saat kucoba menelponnya. Sejurus kemudian, suaranya terdengar dari seberang.
“Halo.”
“Ver?”
“Iya.”
“Gimana keadaanmu? Kuat yah,” aku tahu ini pertanyaan basa basi. Tapi aku tidak tahu harus berkata apa. “Aku juga lemes denger kabar ini.”
“Iya,” suaranya terdengar lemas, tak bertenaga. “Aku gak nyangka. Ini cepet banget.” Ada tarikan napas yang dalam di sela-sela kata yang ia ucapkan. “Mohon doanya.”
“Iya, Ver. Pasti. Aku ngerti banget perasaan dan kondisimu. Aku pernah ada di posisimu. Yang sabar. Kamu kuat!”
“Iya.”
“Banyakin zikir. Insya Allah akan lebih membuatmu tenang dan bertambah kuat.”
“Iya. Makasih support-nya.”
“Berkabar yah kalau udah nyampe Malang. Berkabar pula kalau ada apa-apa.”
“Iya.”
Telepon itu kumatikan. Itu kali pertama ia lemah. Hingga selemah itu, meski tidak melihatnya langsung. Sebab aku tahu, kalaupun ia sedang sakit, pasti suaranya masih segar ketika menjawab teleponku. Tawanya masih renyah, menyapa dari bantaran Sungai Musi. Rabbi, lindungi dia. Kuatkan ia lebih dari saat ini. Mataku sembab. Murid-murid kelas satu yang memergokiku selama menelpon, juga mendapatiku menghapus air mata.
Ah, perempuan itu. Kali ini aku merasa aku adalah bagian darinya. Bagian dari hidup perempuan yang sering kali kupergoki melirik Inul Vista demi sedikit memenuhi hasratnya berkaraoke. Karena ia tahu, aku hanya akan menggelengkan kepala setiap kali tawaran karaoke ia tujukan padaku. Paling maksimal dari bujuk rayunya, aku hanya duduk di sampingnya. Membiarkannya karaoke semaunya. Perempuan itu, yang selalu saja mengalah untuk memboncengku jika kami berpergian dengan sepeda motor berdua. Perempuan itu, Ade Putri Verlita Maharani namanya. Tapi kerap kali kupanggil Putri Kembang Tanjung.
Lalu aku tak punya keberanian untuk berkata-kata lagi, selain memintanya berzikir dan menyampaikan ini:
“Dear Putri Kembang Tanjung, aku merasa lebih dekat dari urat nadimu sendiri.”(*)
Ikerniaty Sandili, perempuan asal Sulawesi yang jatuh cinta pada kopi dan menyukai hijau. Buku pertamanya berjudul di Ujung Desember (penerbit Yamiba, 2017). Ia bisa dihubungi melalui akun ig @ikerniatysandili, fb: Ikerniaty Sandili II.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita