Dawai
Oleh: Leenaahanwoo
Sebuah taman terletak di antara gedung-gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dahulu digunakan sebagai taman bermain anak bagi para penghuni apartemen, taman tersebut mulai kehilangan fungsi saat para anak-anak mulai beranjak dewasa. Sebuah taman bermain air dibangun oleh pengembang apartemen tepat di sebelahnya, membuat orang-orang makin melupakan keberadaan taman indah itu.
Sesosok gadis berambut hitam sekelam malam melewati taman terbengkalai, dengan mantel putih gading dan topi berwarna biru tua yang menutup kepala. Dia baru saja pulang dari tempatnya bekerja—sebuah rumah sakit swasta yang baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Bekerja sebagai seorang suster mengharuskan gadis itu untuk bekerja dalam tiga giliran jaga, dan hari ini gilirannya berakhir pukul sebelas malam. Mendesah lelah, dia berjalan melalui jalan setapak di taman tersebut. Berjalan melewati taman adalah jalan pintas tercepat menuju apartemen yang dia tempati, yang letaknya berada di ujung kawasan. Sedikit gentar dengan suasana yang sepi, tetapi si gadis mengabaikan perasaan. Dia hanya ingin segera sampai di rumah.
Baru kali ini dia melewati area tersebut di atas pukul sepuluh malam. Sepanjang mata memandang, gadis itu menemukan beberapa orang gelandangan tidur di kursi-kursi yang tersebar di taman itu. Bahkan ada ibu berbaju lusuh, memeluk anak perempuan berusia tiga tahunan. Mungkin penyebabnya karena taman tersebut adalah taman tak terurus, sehingga para gelandangan memanfaatkannya sebagai tempat beristirahat. Pemandangan itu menyayat hati si gadis. Apakah dinas sosial kota tidak mengetahui perihal orang-orang ini? pikirnya miris. Dalam hati dia berjanji untuk kembali mengunjungi taman, jika giliran jaganya berakhir di sore hari. Membuatkan makanan untuk para gelandangan tentu bukanlah tindakan yang buruk.
Meneruskan langkah, di bagian ujung taman tepat sebelum pintu keluar, matanya yang berwarna kecokelatan menangkap sebuah siluet, duduk di bangku taman terakhir dengan sebuah gitar di atas pangkuan. Lamat-lamat gadis itu bisa mendengar suara petikan indah, juga gumam lembut dari bibirnya. Didorong oleh keingintahuan yang mendadak menguar di hati, dia berjalan pelan dan memutuskan untuk duduk di bangku taman lain, tak jauh dari tempat sosok itu berada, ingin mengamati.
Cahaya dari bulan purnama dan lampu jalan yang bersinar remang-remang membantu menerangi di malam yang berangsur tinggi. Si gadis berambut kelam dapat melihat sosok itu walau tak sepenuhnya jelas; seorang pria berambut panjang, warnanya pirang kekuningan. Ditilik dari posisi duduknya yang tegak, pria itu pastilah jauh lebih tinggi darinya. Gitar yang dia pegang tampak lusuh, selusuh pakaian dan mantel yang dia pakai. Dalam diam, gadis itu dapat mendengar alunan musik samar dari petikan gitar, juga lirik-lirik lagu yang terlontar.
“… dan walau mentari telah bersinar
Mengapa aku tetap menggigil kedinginan?
Tak seorang pun yang melihat
Tak seorang pun merasakan
Aku yang menangis di tengah hujan.”
Lirik indah bernada sedih, membuat si gadis mendongak. Hatinya ikut teriris mendengar bagaimana laki-laki itu menyenandungkan lagu itu sepenuh jiwa. Suaranya lembut dan dalam; gadis itu pun terbuai oleh alunan nada yang teruntai. Jemarinya bergerak lincah, memetik dawai-dawai terjalin pada gitar yang dia dekap. Di tengah-tengah pemandangan yang memprihatinkan, pria ini seakan menyampaikan kepedihan dengan caranya sendiri.
***
“Pen, mengapa kau membawa banyak sekali kotak makanan di tasmu?” tanya seorang gadis bersurai kecokelatan kepada si gadis berambut kelam yang baru saja berganti pakaian di ruang loker. Tak sengaja dia melirik tas ransel milik sahabatnya yang terbuka di atas kursi.
Pen, gadis itu, tersenyum lalu berkata, “Ini makanan untuk para gelandangan yang kutemui di taman terbengkalai tak jauh dari apartemenku.”
“Kau terlalu baik!” seru si gadis bersurai kecokelatan seraya mengganti pakaian susternya dengan baju santai, menandakan bahwa giliran jaga mereka telah berakhir. “Tidakkah cukupkah kau menelepon dinas sosial dan membiarkan mereka yang mengurus para gelandangan itu?”
“Aku sudah merencanakan hal itu, Sara.” Pen menutup ritsleting tas, memakainya di punggung, lalu memasang topi kesayangan di atas kepala. “Tetapi sebelum aku melapor, paling tidak aku harus mengetahui situasi yang mereka alami secara pasti.”
Sara memutar bola mata. “Semoga dinas sosial segera mengurus para gelandangan itu, atau mereka akan memanfaatkan kebaikanmu terus-menerus.”
Pen mengangguk paham. Sara memang selalu mengingatkannya untuk tidak terlalu bersikap baik, terutama kepada orang asing yang tak dikenal. “Aku tahu, Sara. Aku berjanji akan membatasi diriku.”
Setelahnya, Pen melangkah ke pintu dan meninggalkan ruang loker.
…
Taman itu tak tampak seseram ketika Pen melewatinya malam itu. Di sore hari, hampir semua para gelandangan itu menyebar di seluruh area taman; menyulitkan gadis itu untuk memberikan kotak-kotak makanan yang telah dia siapkan. Untunglah, Pen dapat melihat keadaan mereka dengan lebih jelas, untuk nantinya dia laporkan ke dinas sosial kota. Sebagian besar dari mereka adalah para orang tua yang tak mampu bekerja, beberapa merupakan penyandang cacat, serta dua orang ibu sakit-sakitan beserta anak-anak mereka. Begitu memprihatinkan; Pen berjanji akan menelepon dinas sosial besok pagi.
Ketika hampir sampai di pintu keluar taman, mata gadis itu kembali menangkap sosok berambut pirang yang menarik perhatiannya. Pria itu masih duduk di bangku yang sama. Dia memegang gitar, dan kali ini bernyanyi dengan nada riang. Beberapa anak kecil menjadi penonton dadakan, beserta orang tua yang mendampingi.
“… Dengan hasrat yang menggebu di dalam dada, aku akan pergi ke mana pun, mencari cahaya yang belum terlihat, di sisi dunia yang lain.”
Anak-anak itu bertepuk tangan setelah si pria selesai melantunkan bait terakhir. Mereka begitu antusias mendengar suaranya yang lembut. Orang tua dari anak-anak tersebut berniat memberikan uang sekadarnya, sebagai imbalan atas hiburan yang dia berikan. Namun dia menolaknya dengan halus, hingga mereka pergi meninggalkan pria itu tanpa berhasil memberikan uang yang telah mereka persiapkan. Pen mengernyit dalam-dalam kala melihat adegan yang tersaji di hadapannya.
Memantapkan langkah, gadis itu mendekati si pria bersurai pirang, dengan sebuah kotak makanan yang tersisa. Entah mengapa, Pen merasa gugup ketika jarak mereka makin terkikis. Tepat ketika dia berdiri di sampingnya, pria itu mendongak, menatap Pen dari balik poninya yang memanjang hingga menutupi setengah dari wajahnya.
“Urm …,” mendadak lidah Pen kelu, bingung harus berucap apa, “saya sedang … membagikan kotak makanan ini. Terimalah, Tuan.”
Dengan sikap canggung, gadis itu mengulurkan kotak makanan di dalam genggaman. Pria itu masih menatapnya dengan heran, namun dia segera menanggapi.
“Anda tidak perlu repot-repot, Nona.”
“Sama sekali tidak, saya memang menyiapkan semua ini untuk ….” Lagi-lagi Pen tak menyelesaikan kalimatnya, tak tega memanggil orang-orang di sana sebagai gelandangan, walau sesungguhnya semua itu benar adanya. “Aku mohon, terimalah.”
Si pria bersurai pirang itu tersenyum, dan gadis itu merasa terpesona oleh senyumnya yang semanis madu. “Anda seorang pemaksa, Nona?”
Pen ikut tersenyum karenanya. “Katakanlah begitu.”
Tangan pria itu akhirnya terulur, menyambut kotak makanan di genggaman si gadis. “Terima kasih.”
***
Setelah gadis itu memastikan kondisi semua gelandangan yang mendiami taman tersebut, dia segera menghubungi dinas sosial kota dan melaporkan secara detail. Berselang dua hari, mereka telah diambil oleh petugas dinas dan dikirimkan ke tempat-tempat penampungan sosial. Terkecuali si pria bersurai pirang. Pen cukup heran ketika masih melihatnya berada di taman terbengkalai, mendorongnya untuk kembali berbincang dengan pria itu. Dia mengaku bukanlah gelandangan, dan memiliki tempat tinggal sendiri di daerah pinggiran kota; oleh sebab itu, dinas sosial tak ikut menampungnya.
“Benarkah itu?” tanya Pen sekali lagi.
Pria itu mengangguk. “Apa Anda memerlukan bukti konkrit, Nona?” Dia mengambil dompet dari saku mantel, mengeluarkan kartu tanda pengenal dari dalam dompet tersebut dan menyerahkannya kepada gadis itu.
Francis Kira. 27 tahun. Beserta alamat di sebuah gedung apartemen di pinggiran kota.
Pen mengembalikan kartu itu. “Anda lebih muda dari saya.” Bukannya melanjutkan perbincangan mengenai alamat si pria, gadis itu malah memberikan tanggapan mengenai perbedaan usia mereka. Sudah terlanjur berucap; Pen mengabaikan wajahnya yang merona malu.
“Benarkah?”
“Satu tahun.”
Kira, pria itu, kembali menarik bibir, menciptakan senyum yang disukai Pen. “Perbedaan itu indah.”
***
Dua minggu berlalu, dan kedekatan Pen dan Kira terjalin begitu saja. Segala keingintahuan yang dirasakan oleh gadis itu terjawab, ketika si pria menjelaskan apa yang dia lakukan di taman itu. Dia adalah seorang komposer lagu, dan hidup dari royalti yang dia peroleh atas lagu-lagu yang dijualnya. Dia menyukai taman terbengkalai, karena ketenangan tempat itu mengingatkannya pada kampung halaman di daerah pegunungan yang sepi. Sementara baju lusuh beserta mantelnya, dia mengaku bahwa dia menyukai pakaian itu, dan akan memakainya sampai hancur. Sebuah alasan ganjil, yang membuat Pen tersenyum geli.
Anehnya, jam berapa pun gadis itu pulang bekerja, Kira selalu berada di taman tersebut, seolah memang menunggunya tiba. Dan Pen selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan si pirang, seberapa pun lelahnya. Perbincangan itu selalu diisi dengan pertukaran cerita dan keluh kesah; Pen dengan pekerjaannya yang melelahkan, dan Kira dengan komposisi-komposisi lagunya yang tertunda. Gadis itu selalu gembira setelah bertemu dengan si pria, sesingkat apa pun waktunya.
Di akhir minggu keempat, Pen berjanji akan membuatkan makanan spesial untuk Kira—pria itu mengatakan bahwa dia sangat menyukai pasta—sebagai ucapan terima kasih atas pertemanan yang mereka jalin, dan pria itu … dia berkata akan menuliskan lagu yang indah sebagai balasan. Hati si gadis berambut kelam terus berdebar-debar, menanti apa yang akan Kira torehkan untuknya.
…
Pen tertegun ketika mendatangi taman terbengkalai di hari perjanjian. Kira di sana, berdiri dengan gagah, berbalut jas dan kemeja bermerek mahal. Rambut pirangnya tertata rapi, walau poni yang menutup hingga hidung tetap tergerai indah. Gitar kesayangannya disandarkan di bangku taman, selayaknya menunggu sang pemilik memetik dawai. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata.
“Mengapa …?”
Dia menoleh, memandang Pen dengan senyumnya yang manis bak madu. “Undangan ajang penghargaan tahunan,” jelasnya singkat.
Si gadis mengingat acara itu akan disiarkan secara langsung di televisi malam ini. “Kau dinominasikan?”
“Belum tentu menang. Hanya sekedar memenuhi undangan, tetapi …,” dia menarik lengan Pen yang berisi sebuah kotak bekal berwarna biru laut, “janji kita tak boleh teringkari.”
Perkataan si pria pirang membuat Pen tersipu, entah karena Kira yang tampak gagah, atau karena kalimatnya melelehkan hati. Dia pun menyerahkan kotak bekal berisi pasta itu.
“Apa yang kau buat?” tanyanya.
“Cacio e pepe,” jawab Pen. “Aku hanya bisa membuat pasta dengan bahan yang mudah didapatkan di minimarket, jadi …”
“Aku suka ini. Terima kasih.”
Gadis itu ikut tersenyum.
“Duduklah,” pinta Kira seraya membawa Pen untuk duduk di kursi taman. Sebelah tangan dia gunakan untuk mengambil gitar kesayangan.
Pen menatap Kira penuh harap. “Apa ini hadiahku?”
Pria itu mengangguk. Jemari itu mulai menari di atas dawai, memetiknya hingga menghasilkan nada indah yang selalu disukai Pen.
“Aku yang selalu memikirkanmu.
Aku ingin melontarkan rasa terima kasih ini untukmu.
Yang selalu berada di sisiku.”
Pen selalu menyukai suara dalam namun lembut itu, yang membuainya dalam ketenangan.
“Hingga kini, aku masih mengingat senyummu yang lembut.
Kau, yang mengulurkan tangan padaku.
Aku pun kini mengerti arti keberadaanmu.
Terima kasih, terima kasih atas senyum indahmu.”
Tidak, tidak. Pen-lah yang ingin berterima kasih atas senyum yang Kira berikan, atas kesediaannya untuk berbagi suka dan duka. Dialah yang bersyukur atas keberadaan Kira, yang memberikan warna baru dalam kehidupannya.
Memetikkan nada terakhir, gadis itu bangkit dan berhambur ingin memeluk si pria pirang. Dengan sigap Kira melepaskan gitar di dalam dekapan dan menangkap tubuh Pen yang memeluknya erat.
“Bodoh. Akulah yang ingin berterima kasih padamu atas semua kegembiraan yang kau beri.”
Setitik air mata jatuh ke pipi si gadis ketika mendongak, menatap Kira dengan mata menggenang. Tangan Kira membalas pelukan itu, melingkar erat di pinggang Pen, tak berniat untuk melepaskan.
“Kehadiranmu pun adalah kebahagiaan yang selalu kusyukuri, Pen. Terima kasih.”(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita