Dark Choco in Love

Dark Choco in Love

Dark Choco in Love
Oleh : Musyrifatun

Peluh dan lelah yang mendera sekujur tubuh, kalah dominan oleh nyaman yang masih terasa saat aku membuka mata. Ragaku menggelepar sebab dentuman hangat yang dia berikan. Rasa candu nan memukau juga masih bertengger dalam sanubari. Terbayang wajah mantan istriku yang menemani dalam mimpi indah yang baru saja terlewati. Ah, Aarunya, bahkan dalam tidur pun kau tetap memikat.

Rindu yang mati-matian berusaha aku lenyapkan, nyatanya malah kian bersemi layaknya kuntum bunga di musim hujan.

Aarunya, tidakkah kau sadari betapa merindunya raga ini pada sentuhan lembutmu, tawamu, manjamu.

Pesonamu begitu memikat, hingga sulit bagiku untuk sekadar lepas sejenak dari candu yang terus mencekik.

Satu-satunya pelampiasan hasratku ketika telah sampai pada puncaknya adalah memilih bercumbu bersama secangkir hot poppy choco avocado. Aroma dan rasanya benar-benar membuat para jomlo kesepian seperti diriku bagai ditemani seorang bidadari. Entah formula apa yang mereka campurkan dalam komposisi cokelat yang membuat ketagihan ini. Benar-benar membuat candu.

Just like nicotine, heroin, morphine
Suddenly, I’m fiend and you’re all I need
All I need
Yeah, you’re all I need

It’s you, babe.
And I’m sucker
For the way that you move, babe
And I could try to run,
But it would be useless
You’re to blam
Just one hit, you’ll know
I’ll never be the same

***

Malam kian larut, saat lagi-lagi bayangan dan aroma tubuh Aarunya berkelebat dalam benak. Sial, sampai kapan aku akan terus terjebak dalam pesonanya?

Hot poppy choco! Aku membutuhkannya sekarang juga atau malam ini kembali tak tidur nyenyak, sedangkan esok pagi setumpuk pekerjaan sudah menanti untuk segera diselesaikan.

Sial, dobel sial! Kenapa aku sampai tidak tahu stok barang kegemaranku itu sudah habis? Seandainya masih ada Aarunya di sini, pasti dia bisa menjadi alarm hidup bagi diriku yang ceroboh ini.

Baiklah, semoga kafe tempat biasa aku membeli cokelat fantastis itu masih buka. Walaupun aku sendiri tak yakin saat melihat angka di jam digital yang melekat pada pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

Hot poppy choco avocado tidak mudah didapatkan. Cokelat yang diproduksi oleh Dolly Choco Factory itu hanya dijual untuk kalangan terbatas dan hanya kafe-kafe tertentu yang menjualnya.

Shit! Tulisan CLOSE terpampang pada pintu kaca. Artinya aku harus mencari kafe lain. Tapi di mana?

Tak kehabisan akal, segera kuketik di layar sebuah nama yang bernasib sama denganku, jomlo kesepian.

“Ganggu orang tidur aja, lo! Paan?” Suara berat Kendra, sahabatku, terdengar di ujung telepon.

“HPC gue abis. Kafe Renggali udah tutup. Lo tahu nggak, di mana kafe yang jual cokelat itu yang masih buka?” tanyaku kemudian.

“Yaelah, cuma mau nanyain itu doang? Di kafe Bitter Smooth, noh. Tapi awas, hati-hati kalau ketemu sama owner-nya, bisa pingsan, lo!”

“Kenapa emang ….”

Belum selesai kalimatku, Kendra sudah memutuskan sambungan telepon. Ah, yang penting sekarang aku sudah tahu harus ke mana.

Kuarahkan kemudi roda empat ke sebuah alamat yang diinfokan oleh Kendra. Tampak sebuah bangunan kafe bernuansa vintage.

Beberapa mobil tampak berjejer rapi di halaman yang lumayan luas. Sepertinya kafe ini punya banyak pelanggan.

Saat pintu utama terbuka, tampak sebuah bar dari kayu jati belanda, dengan sentuhan warna dasar dan mengandalkan vernis menghiasi ruangan kafe.

“Selamat malam, Pak. Mau pesan apa?” tanya seorang pramusaji wanita yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat tempat dudukku.

“Eh … milk shake with hot poppy choco avocado,” jawabku.

“Baik, tunggu sebentar.” Pramusaji itu segera berlalu.

Kata-kata Kendra tiba-tiba terngiang, memunculkan tanda tanya dalam benak tentang siapa pemilik kafe ini. Ah, nanti-nanti saja aku cari tahu, sekarang waktunya menikmati secangkir cokelat panas yang benar-benar membuat rindu.

Sekitar sepuluh menit berlalu, pramusaji itu akhirnya datang membawa pesananku. Segera kuhirup aroma dan mencecap rasanya yang manis dan gurih. Benar-benar nikmat.

Aarunya, kemarilah, Sayang. Menarilah bersamaku, kita habiskan malam ini berdua lagi, seperti waktu itu.

“Aarunya ….” Nama itu terus terucap tanpa bisa dikendalikan. Kurasakan tubuhku limbung.

Dalam keadaan antara sadar dan tidak, aku melihat dua orang karyawan kafe tengah berbisik-bisik sambil menatap ke arahku. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak peduli.

“Marvin ….”

Itu seperti suara … Aarunya?

Aku menoleh ke sumber suara, seketika mataku terbelalak mendapati sosok yang selama ini aku rindukan, keluar dari ruangan yang bertuliskan Owner Room di atas pintunya.

“Aarunya? Benarkah itu kamu, Sayang?” Kedua tanganku refleks terbuka hendak memeluknya. Namun, Aarunya menolak dengan menepis menggunakan satu tangannya.

“Jangan gila, Marvin! Aku bukan istrimu lagi!”

“Aku rindu, Sayang ….” Kuraih pundak Aarunya, tapi dia lagi-lagi menepis tanganku.

Mantan istriku itu lantas memanggil sekuriti kafe, tak lama datang dua orang laki-laki, mereka menarik paksa lenganku dan membawaku ke dalam sebuah mobil.

“Antarkan dia pulang.” Salah satu sekuriti itu lantas mengemudikan mobil menuju alamat yang disebutkan Aarunya.

Aku yang dalam kondisi setengah sadar, tak kuasa menolak. Akhirnya di dalam mobil yang meluncur dengan kecepatan sedang, aku terlelap.

***

Sinar matahari pagi masuk menerobos kaca jendela kamar. Mataku menyipit karena silau. Hendak bangun dari tempat tidur, tapi kepalaku terasa berat. Ah, ini pasti efek dari minuman tadi malam.

Tak lama, alarm di atas nakas berdering, suara bisingnya memaksa raga ini untuk bergegas bangkit dari atas tilam.

Sepanjang hari, bayangan Aarunya terus membayang di pelupuk mata. Membuat susah berkonsentrasi hingga mengganggu pekerjaanku.

“Sial!” Umpatan itu keluar begitu saja dari mulutku.

Sakit hati atas perlakuan Aarunya yang memutuskan ikatan pernikahan kami secara sepihak, meninggalkan jejak luka yang menganga. Aku memang mencintai Aarunya, sekaligus membencinya. Membenci dirinya yang tak bisa lepas dari bayang-bayang cinta pertama di masa lalu.

Malam ini aku bertekad menemui Aarunya lagi. Setelah sekian lama mencari keberadaannya di kota metropolitan ini dan tak membuahkan hasil, takdir justru mempertemukan kami dalam situasi yang tidak terduga.

“Awas, kau, Aarunya!”

***

Lewat tengah malam, kendaraan roda empatku sudah terparkir di halaman Bitter Smooth Cafe. Aku sengaja menunggu kondisi sedikit lengang. Setelah menunggu cukup lama, momen yang kutunggu akhirnya datang juga.

Mengenakan pakaian kasual, aku melangkah masuk ke dalam kafe. Tampak beberapa karyawan tengah bersiap untuk pulang. Kudekati salah seorang di antara mereka, kemudian membisikkan sesuatu, karyawati itu tersenyum dan mengangguk sambil menerima beberapa lembaran merah yang kuselipkan di antara jari-jarinya.

Para karyawan itu bergerak meninggalkan kafe setelah masing-masing mendapat bagian.

“Nona Aarunya masih ada di ruangannya, Pak. Biasanya dia akan pulang setelah selesai memeriksa berkas-berkas laporan harian, tapi tak jarang juga dia menginap di sini,” ucap salah seorang karyawan.

Yes! Akhirnya aku bisa kembali menikmati malam bersama Aarunya, pujaan hatiku.

Lampu kafe sengaja dimatikan, hanya ada satu buah lampu yang dibiarkan tetap menyala, hingga ruangan menjadi temaram. Aku sengaja duduk di sebuah sudut yang gelap, seperti seekor kucing yang menunggu mangsanya lewat.

Lima belas menit menunggu, sosok cantik yang kutunggu akhirnya muncul juga. Hei, Aarunya terlihat berbeda dari biasanya, dia menari meliuk-liukkan badan hingga membuat jiwa lelakiku berkobar.

Apa yang dia lakukan? Apakah dia mabuk?

Perlahan kudekati wanita pujaanku itu, kubisikkan namanya tepat di depan telinganya.

Aarunya tak menolak saat dengan lembut kusentuh pundak mulusnya, wanita itu justru menggumam tak jelas. Satu-satunya kata yang kutahu adalah saat dia menyebutkan satu nama.

“Keenan ….”

Lagi-lagi nama itu! Bahkan sampai saat ini Aarunya masih mencintai lelaki sialan itu. Tanganku seketika terkepal hendak meninjunya, tapi urung karena tiba-tiba saja Aarunya memelukku dengan sangat erat.

Aku tak menyia-nyiakan momen. Kuangkat tubuh Aarunya lalu meletakkannya di atas meja kayu jati yang cukup lebar.

Waktu berputar dalam cecapan yang amat manis dan memikat. Aarunya terus merona oleh setiap sentuhan pada setiap inci kulitnya yang peka. Aku tak peduli meski bibir wanitaku itu terus menyebut satu nama dalam setiap hela napasnya, yang kutahu, rindu ini harus segera terlampiaskan. Aku terus membawanya terbang mengelilingi taman surga, Aarunya hanya bisa melayang, berpegangan erat pada tuntunan jemariku.

Suara dentuman keras terdengar tiba-tiba, seperti suara kembang api saat tahun baru. Aku dan Aarunya terus menikmati waktu, seolah tengah berada di bawah guyuran hujan cokelat yang pekat. []

 

Inhil, 28 Oktober 2020

Musyrifatun, seorang perempuan hujan, bunga, benang, dan pena.

Editor: Imas Hanifah N

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply