“Dari Mana Datang dan Perginya Cinta.”

“Dari Mana Datang dan Perginya Cinta.”

“Dari Mana Datang dan Perginya Cinta?”
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Saya tidak tahu, apakah ia datang dari sepasang mata yang mampu memindai seraut wajah dengan sempurna. Kemudian otak mampu menyimpannya ke dalam sebuah citra yang utuh. Entah bagaimana caranya, ia bisa terhubung dengan jantung, dan membuat gemuruh yang lebih cepat dalam setiap degupan.

Ia adalah cinta pada pandangan pertama. Tahun demi tahun terlewati, namun rasanya begitu kuat meski waktu telah berlari dan meninggalkannya. Ia bersemayam kekal di palung hati. Tak pernah luruh apalagi larut, atau melemah seperti ingatan-ingatan lainnya yang biasanya selalu surut.

***

Ia datang kembali beberapa waktu setelahnya. Tentunya menjelma ke dalam sosok perempuan yang berbeda. Tanpa perkenalan, jabat tangan atau basa-basi. Dia yang memiliki wajah tirus, dengan bulu matanya yang lentik dan menarik. Tatapan matanya mempunyai daya magnet yang kuat. Gadis itu bahkan mampu membuat bibir saya mengatup tak bergerak jika saya tidak segera buru-buru mengalihkan pandangan. Tuhan memang sering memperlihatkan keajaibannya, namun baru saat itu saya melihat keajaibannya yang berbeda. Seorang perempuan yang memiliki pesona begitu hebat. Saya benci, sekaligus suka, sebab perasaan itu membuat jiwa saya melambung ke atas awan. Melamunkan beberapa hal tentang dia atau menghidupkan mimpi-mimpi yang saya ciptakan sendiri. Semua tentang dia!

Saya tahu, perempuan pendiam itu lebih sering mengacuhkan saya. Bergeming setia dengan pilihannya: lelaki entah yang sering kali diceritakan dari bibir tipisnya. Namun sikap acuhnya justru menimbulkan rasa penasaran yang begitu nikmat. Lalu seorang teman mengatakan sesuatu: “Mencoba belum tentu berhasil. Tidak berhasil, jika tidak mencoba.”

Ah! Kalimat apa ini … rasanya saya pernah mendengar di sebuah telenovela. Meskipun akhirnya saya mencoba untuk mengeksekusinya ke dalam sebuah rencana dan tindakan-tindakan nyata. Barangkali kalimat-kalimat tadi mengandung kebenaran.

Benar saja. Hingga di suatu hari, kami menjadi dekat (dengan kesabaran saya yang luar biasa, dan beberapa rekayasa yang cenderung membuat saya harus kuat malu). Dia mulai tak berjarak dengan saya. Dia juga mulai percaya kepada saya. Dan akhirnya, tak ada hari tanpa bersamanya, seperti berlama-lama di atas sambungan telepon, bercengkerama di kantin kampus dan kafe-kafe yang berlampu temaram, dan mengakhirinya dengan sangat mengesankan di atas bangku nyaman bioskop yang dinginnya menggigilkan tubuh. Kami berpegangan tangan, memindahkan kehangatan. Setelahnya, kami mencari sesuatu yang lebih hangat (atau sesuatu yang lebih panas). Kami lalu berpelukan. Tak ada lagi sekat yang memisahkan napas-napas kami. Wangi mulutnya tidak lagi sekadar membaui akrab lubang hidung saya, melainkan menyemburkan keintiman. Bibir kami saling mengimpit erat. Saling memagut dan saling menautkan lidah.

“Saya suka kamu,” ucap dia lirih.

“Saya juga,” balas saya penuh semangat sambil buru-buru menutup bibirnya dengan bibir saya. Tidak ada perempuan lain yang saya inginkan, kecuali dia. Hanya dia.

Sejak saat itu, saya tidak lagi sekadar menyukainya, melainkan mencintainya. Kami bukanlah bulan dan matahari yang saling merindu, tetapi malu-malu dan hanya berani memandang dari kejauhan.

Saya dan dia bermimpi, kelak menjadi Saturnus dengan cincin bulatnya yang melingkar benderang, selalu bersama.

Tapi itu cinta yang ke dua. Cinta yang membuat penderitaan dan kesepian sesudahnya. Sebab ketika kami terpisah oleh nasib, menjadi bulan dan matahari yang sesungguhnya adalah keniscayaan. Mencintai dan dicintai tidak memiliki makna jika dua sejoli tak bersama. Kemudian saya menyimpan kesunyian dalam sebuah kotak kayu yang berwarna suram. Bahkan isinya telah bercampur aduk: cinta, kenangan, kekaguman, dan kepedihan. Saat itu saya mulai menyukai lagu-lagu sendu yang dinyanyikan angin malam yang bertiup sepoi-sepoi. Merdu tetapi terdengar pilu.

***

Tak ada lagi yang aneh dan berbeda setelahnya. Sesekali ia menampakkan diri dengan cita rasa yang sama, namun ia tak pernah mau menampakkan wujudnya. Barangkali ia mengerti bahwa saya sedang kecewa. Saya merindukan ia, bagaimana ia dulu menepuk-nepuk jantung saya hingga detaknya menjadi menggelora. Saya tidak pernah mengalami lagi yang namanya mabuk kepayang seperti sebelumnya, sebelumnya. Beragam perempuan datang silih berganti ke dalam pelukan saya, tapi saya tidak pernah terperosok ke dalam kisah-kisah menyedihkan seperti yang lalu-lalu. Saya sudah melupakan ia (atau saya memang sengaja ingin melupakan?). Sebenarnya ia sering datang bersama perempuan-perempuan berikutnya. Saya tahu itu … tetapi saya berlagak naif, sebab saya tidak pernah mencintai mereka. Sering kali saya melihat beberapa perempuan yang pernah merasa kecewa kepada saya. Air matanya mengumpul di kedua ujung kelopak mata, lalu menuruni lembah pipi dan jatuh membasahi permukaan ubin. Bukankah ia sedang berada di sana?

Seringkali juga, saya mendengar ucapan-ucapan lirih, “Aku jangan kau tinggalkan, berjanjilah untuk menjadi kekasih yang setia, bla-bla-bla.” Saya sebal dan muak dengan kalimat-kalimat seperti itu. Cobalah sesekali menyatakan kesedihan dan kerinduan dengan cara saya: bernyanyi atau mengirimkan selembar puisi yang indah. Itu jauh lebih bernilai, meskipun belum tentu mengubah kekakuan sikap saya. Namun satu hal yang pasti, saya selalu menikmati bagaimana mencium bibir seseorang perempuan tanpa perlu memakai perasaan, tanpa merasa memiliki, tanpa merasa perlunya sebuah ikatan. Buat apa lagi … toh, berpelukan tidak lagi membuat jantung saya berdebar-debar. Jadi apa yang hendak saya cari?

***

Ia. Ia yang bisa membuat seorang anak manusia menjadi murung gelisah, sepasang kekasih yang akhirnya saling membenci. Namun ia juga mampu menyatukan dua orang berbeda menjadi saling merindukan, membuat seorang gadis bermimpi dan tersenyum sendiri. Buat saya, cinta adalah impian semusim. Impian semu. Ia yang begitu pandai menipu orang-orang yang sedang kasmaran. Musim bercinta yang sering didengung-dengungkan para pemuja cinta adalah harapan hampa, bahkan tidak pernah tertulis dalam kamus tebal kosakata. Mungkin ia mampu berdusta kepada orang lain, atau saya yang dahulu. Tetapi tidak sekarang dan selamanya. Basi. Itu sebabnya ia mulai menjauhi saya, sebab saya tahu: rahasia terbesar cinta adalah “muslihat terbesarnya” kepada dua anak manusia. Mungkin ia malu. Ya, sudah … setahun, dua-tiga tahun, dan tahun-tahun yang entah. Saya pun mulai malas menghitungnya, meski kadang masih berharap ia masih mau menemui saya dengan kejujurannya. Entahlah ….

Baiklah, jika itu sebuah permainan baginya. Toh, saya hanya ingin bercinta, dan saya bisa melakukan dengan siapa saja. Tanpa ia atau dengan kehadirannya, tidak membuat perbedaan. Cinta hanya membuat sebuah hal sederhana menjadi rumit. Sesuatu yang menyenangkan menjadi tidak menyenangkan. Begitukah ….

***

Hari-hari terus berganti. Seperti siang dan malam, seperti terang dan gelap. Semua adalah tentang kepastian. Tetapi cinta adalah keraguan, ketidakpastian. Sampai di suatu sore, tak sengaja saya melihat seorang teman yang telah menikah. Ia sedang bersama anak dan istrinya berada di sebuah taman bermain. Dari jauh saya melihat, bagaimana dua orang yang mencinta saling bersitatap sambil sesekali mengalihkan pandangan, mengawasi si kecil; buah cinta mereka berdua yang sedang asyik bermain pasir.

***

Apakah itu cinta? Saya mulai berusaha mendefinisikan kembali apa sebenarnya c-i-n-t-a. Sebuah kebetulan, kebenaran, keyakinan, atau … saya mendadak sakit kepala. Kenapa saya mulai merindukan ia kembali? Betapa menyenangkan apa saja yang pernah disentuh oleh tangannya. Rasa itu … ya, saya ingat, seperti yang kalian juga pernah rasakan. Melayang dan terbang, hanyut dan tenggelam, dan kemudian merangkak dan bangun lalu berdiri. Tapi bagaimana saya menginginkannya kehadirannya, jika saya tidak tahu di mana harus menemuinya. Apakah ia berada di atas gunung tertinggi, bersembunyi di dasar samudra yang paling dalam, atau sedang tidur pulas di balik gumpalan awan? Jika ia tidak pernah bisa disentuh, diraba, atau digenggam, dan disembunyikan di balik saku celana agar orang lain tidak mencurinya ….

Di suatu malam saya menatap langit dan mencari ia di antara pendar bintang-bintang yang berkilauan. Mungkin saja ia sedang bersembunyi di balik satu yang kerlipnya paling indah. Ah, ini teka-teki yang membuat pusing. Lalu saya mulai menitikkan air mata. Saya ingin cinta terindah dalam hidup saya.

Sebuah bintang melesat jatuh di sebelah sana. Sialnya, saya lupa mengajukan permohonan saya.

Ia pergi tanpa meninggalkan jejak …. ©

 

Karna Jaya Tarigan, seorang penulis pemula.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply