Oleh: Srie Rahmawati
Judul Buku : Rapijali
Nama Penulis : Dee Lestari
Penerbit : Bentang
Cetakan : Maret 2021
Tebal : 350 halaman
Setelah sukses dengan Supernova, Rapijali bertengger di rak best seller toko besar Gramedia hingga berbulan-bulan sejak cetakan pertama, yaitu Februari 2021. Buku yang saya foto ini merupakan cetakan ketiga, yaitu Maret 2021. Artinya, dalam dua bulan saja, novel ini sudah cetak ulang tiga kali. Nama Dee Lestari seakan-akan menjadi jaminan bahwa buku-buku yang ditulisnya merupakan karya yang istimewa.
Saya tertarik Rapijali justru setelah membaca “Save The Cat!Writes The Novel” yang ditulis Jessica Broody berdasarkan karya Blake Snyder. Dalam buku itu, Dee memberi pengantar dan bercerita, bahwa trilogi Rapijali memakai teori struktur beat sheet sebagai acuan. “Acuan beat sheet, lewat perhentian-perhentian plot yang tepat dan akurat, memungkinkan atensi dan kepedulian pembaca berhasil diikat rapat sepanjang cerita. Struktur yang kuat adalah kunci dari storytelling yang jitu.”(Save The Cat!Writes A Novel; hal 10)
Pernyataan Dee ternyata terbukti, Rapijali 1 saya habiskan hanya dalam waktu sehari saja. Saya seakan-akan tidak bisa berhenti membacanya, bahkan ke dapur pun saya bawa-bawa sambil memasak, untungnya masakan saya tidak gosong.
Opening novel ini diawali dengan menceritakan tentang Yuda Alexander, seorang seniman berumur tujuh puluhan yang ke Jakarta mencari Guntur.
Kejutan pertama dimulai ketika Yuda dengan terpaksa meminta Guntur mengambil alih cucunya yang bernama Ping. Guntur yang saat itu menjabat sebagai walikota sekaligus juga calon gubernur terkejut dengan kehadiran Yuda. Masa lalunya dengan seorang gadis bernama Kinari pun kembali ke permukaan, mengombang-ambingkan nuraninya sekaligus mengancam posisinya sebagai pejabat publik. Yuda terpaksa mendatangi Guntur karena Yuda menyadari bahwa usianya sudah tak lama lagi, kanker yang menggerogotinya perlahan memakannya. Jika bukan permintaan Kinari sebelum ajalnya, Yuda pun tak sudi mendatangi Guntur.
Kekhawatiran Yuda bahwa usianya tak lama lagi, menjadi kenyataan. Maut menjemputnya di konsernya yang terakhir bersama kawan-kawan band dan juga Ping. Di panggung yang sama dengan Ping, gadis 17 tahun itu menyaksikan sendiri bagaimana kakeknya pergi meninggalkannya selama-lamanya.
Petualangan Ping dimulai setelah Yuda tiada. Sepeninggal Yuda, tetangga Ping yaitu keluarga Oding hendak menawarkan Ping untuk tinggal bersama mereka. Oding adalah sahabat rasa saudara bagi Ping. Sejak Ping lahir, ibu Oding lah yang merawat Ping bersamaan dengan Oding. Namun tawaran itu Ping tolak. Ping kesal sekaligus merasa tak berguna, karena di lingkungan yang ia sudah anggap seperti keluarga sendiri itu, hanya ia yang tak tahu menahu mengenai penyakit Yuda. Yuda menyembunyikannya begitu sempurna.
Tak lama setelah kematian Yuda, mendadak seseorang dari Jakarta menemui Ping. Dahlia –kuasa hukum Yuda- menyampaikan bahwa Ping akan tinggal di Jakarta sebagai anak asuh Guntur. Yuda disebut memiliki hutang pada Guntur. Hal itu semakin mengejutkan Ping hingga mau tak mau ia pun hijrah dari Batu Karas, Jawa Barat, ke Jakarta. Tak banyak yang Ping ketahui, termasuk bahwa Guntur adalah ayah kandungnya. Hal yang paling jelas Ping ketahui dan rasakan ketika pindah ke rumah besar Guntur adalah bahwa kehadirannya tak disambut hangat oleh istri dan anak lelaki Guntur. Meski begitu, Ping harus menyesuaikan diri dengan keadaan barunya; dari keluarga yatim piatu menjadi anak asuh pejabat, dari sekolah kampung ke sekolah bergengsi di Jakarta. Diam-diam Ping menyimpan kegelisahan tentang masa depannya. Bakat musiknya entah ke mana harus mencari penyaluran. Ping pun tak berani bercita-cita.
Berbeda dengan Supernova, bahasa dan plot yang digunakan Dee dalam Rapijali begitu mudah untuk dipahami dan dinikmati. Bila di Supernova Dee bermain-main dengan filsafat, di Rapijali Dee bermain-main dengan karakter dan konflik. Bahasa yang digunakan seperti genre teenlit, tapi melihat konfliknya yang cukup kompleks dan bertingkat, genrenya lebih ke arah young adult. Anyway, apa pun genrenya, paparan Dee kali ini begitu mengikat pembaca. Dialognya segar dan natural. Saya bahkan jadi ingin belajar bahasa Sunda. Tak hanya segar, Dee bisa menyelipkan humor jitu dan elegan sekaligus konyol dalam dialog-dialognya. Melalui lirik lagu, pembaca dibawa ke beberapa tahun yang berbeda. Mungkin saya masih asing pada lirik lagu tahun 80’an, tetapi saat lagu-lagu tahun 90’an disebut, saya pun bernostalgia. Begitu juga setting tempat Ping berasal, Dee membawa pembaca menikmati keindahan alam Batu Karas, Jawa Barat. Saya jadi membayangkan betapa nikmatnya bisa meluncur di antara debur ombak dengan papan seluncur, menikmati segarnya angin pantai, dan banyak hal lain yang membuat pencinta pantai seperti saya jadi sangat merindukan untuk bisa kembali ke pantai.
Pov yang dipakai dalam novel ini menggunakan sudut pandang ketiga, tapi pembaca bisa mendalami feel para tokohnya seperti layaknya pov satu. Hal ini dikarenakan Dee menggunakan Pov tiga terbatas pada banyak partnya. Pada part-part awal, Dee membawa pembaca memahami pola pikir Yuda Alexander, baru kemudian saat menceritakan Ping, pembaca seolah-olah diajak menjadi Ping. Saya pun terlempar ke masa putih abu-abu dengan segala pernak-perniknya.
Hal yang paling saya suka dengan novel Rapijali 1 ini selain dialog dan narasi yang mengalir, yaitu pesan-pesan yang Dee sampaikan. Dan itu sangat natural, pembaca diberi kejutan-kejutan yang menarik. Tokoh-tokoh yang tadi saya kira akan menjadi pihak antagonis, justru secara perlahan menjadi sahabat-sahabat Ping. Rapijali 1 ini bukan hanya menghibur, tapi juga saya seakan-akan mendapat pencerahan akan dunia parenting, bagaimana memahami pola pikir anak remaja seperti Ping dan kawan-kawannya. Melalui Ping, semangat untuk terus berjalan ke depan meskipun jalannya tak mudah, menjadi energi tersendiri untuk saya.
Novel ini sarat pesan disajikan dengan alur dan narasi yang “easy going”, menghibur sekaligus menggemaskan. Kalaupun ada yang sedikit mengganjal di novel ini, ialah pada bagian akhir. Pemenggalan cerita terkesan dipaksakan. Meski begitu, saya tetap penasaran untuk membaca Rapijali 2 dan 3.
Selain yang saya sebutkan di atas, karya Dee ini mendapat penghargaan di International Excellence Award 2019. Karenanya, sangat pantaslah kiranya novel ini menjadi salah satu koleksi yang akan menjadi favorit Anda.[*]
Tangsel, Juli 2022
Srie Rahmawati, ibu dari tiga orang anak, tinggal di Tangerang Selatan.
Editor: Nuke Nadputri