Dari Bawah Pohon Itu Kau Melihat Thun Menjadi Ladang Es (Terbaik 14, TL-21)

Dari Bawah Pohon Itu Kau Melihat Thun Menjadi Ladang Es (Terbaik 14, TL-21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik ke-14

Dari Bawah Pohon Itu Kau Melihat Thun Menjadi Ladang Es

Oleh : Vianda Alshafaq

Kau tahu persis bahwa tak ada cara yang bisa kau lakukan untuk memperpanjang waktumu yang bakal berakhir tiga hari lagi. Sebenarnya, kau pun tahu bahwa kehidupanmu selalu menuju kepada sebuah akhir, persis seperti kau yang selalu menuju ke arah ibumu saat belajar berjalan ketika kecil. Sebenarnya, bisa berada di tempat ini pun adalah sebuah keberuntungan bagimu setelah nyaris mati hampir dua tahun yang lalu.

Waktu itu kau mendaki Pegunungan Alpen seorang diri setelah mengakhiri hubunganmu yang cukup lama dengan kekasihmu, si Lelaki Jerman itu. Kau berpikir kalau berada di alam terbuka akan membuatmu merasa lebih baik—paling tidak kau tidak akan menangis untuk sementara. Tetapi, sayangnya kehidupan memang terlalu sering mengecewakanmu. Kau memang tak menangis sebab kau terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya agar berhasil sampai ke puncak gunung yang waktu itu diselimuti salju yang cukup tebal. Patah hati sepertinya memang bisa membuat orang menjadi gila—kau misalnya. Manusia mana yang bakal mendaki gunung yang penuh bebatuan dan jurang-jurang curam karena patah hati padahal sebelumnya tak pernah sekali pun mendaki? Apalagi waktu itu sedang musim dingin. Seharusnya kau tahu, kalau tidak mati karena terjatuh, maka pilihan lainnya hanyalah mati kedinginan.

Kakimu salah memilih pijakan. Batuan di bawahnya runtuh, membuat tubuhmu terlepas begitu saja dari jalur. Kau tergelincir, lalu terguling, terus menubruk batu demi batu seperti bola salju yang dipaksa jatuh dengan cepat. Dentuman pertama menghantam punggungmu, lalu bunyi retakan di lehermu terdengar seperti kayu kering yang patah. Sakitnya seperti disiram air mendidih yang masih mengepul. Napasmu terputus-putus, darah yang panas dan kental mengalir dari pelipis, dari dagu, dari entah berapa titik lain yang tak sanggup kau hitung. Bau anyir menempel di hidungmu, serupa bau daging mentah yang biasa kau beli di pasar, hanya saja kali ini daging itu adalah tubuhmu sendiri. Kau tak lagi bisa menggerakkan tangan dan kakimu. Tubuhmu seolah menyatu menjadi batu di dasar tebing.

Selang beberapa menit—atau barangkali hanya beberapa detik yang terasa memanjang—dingin mulai merayap dari ujung kakimu. Dingin itu menjalar perlahan, seperti seekor ular pucuk yang merayap di ranting pohon, menuju tenggorokan. Napasmu semakin pendek. Matamu menatap langit biru tanpa berkedip. Entah kau sedang mengumpati takdirmu yang buruk, atau sekadar menghitung sisa detak jantung yang masih bisa kau rasakan.

Seharusnya saat itu kau bertemu malaikat maut. Tetapi, tiba-tiba angin puyuh datang dari sisi barat. Angin itu berputar-putar seperti gasing, makin lama makin mendekat menuju tubuhmu yang terkulai di atas batu. Tepat ketika angin puyuh itu sampai di tempatmu, kau melayang seperti debu yang berterbangan diembus angin. Lalu, angin puyuh itu menelanmu dan terus bergerak ke sisi timur menuju Danau Thun. 

Kau tak tahu berapa lama terjebak di dalamnya—barangkali hitungan jam, atau hanya sekejap mata. Ketika pusaran itu reda, kau sudah berada di bawah sebuah pohon beech besar yang terpisah dari barisan pohon beech lain di sisi kanan. Di depannya, Danau Thun terbentang luas dan tenang. Di seberangnya, puncak-puncak gunung berdiri runcing seperti barisan piramid. Pemandangan itu pernah menjadi tempatmu bersembunyi dari dunia ketika semuanya terasa terlalu berat.

Selepas mengamati keadaan di sekeliling, kau baru menyadari bahwa tubuhmu tak lagi hancur. Cucuran darah merah gelap yang tadi membuatmu berbau amis sudah menghilang tanpa jejak. Lehermu yang patah kini sudah tegak seperti biasa. Begitu juga kaki dan tanganmu. Semua bagian tubuhmu kembali seperti semula. Seketika kau membelalak. Tanganmu meraba-raba tubuhmu sendiri, memastikan bahwa semuanya benar-benar baik-baik saja. Jam di pergelangan tanganmu menunjukkan pukul 15.50. Kau ingat betul, sesaat sebelum jatuh jarum jam itu sudah menunjukkan pukul 17.25.

Keningmu makin berkerut ketika melihat Danau Thun seketika berubah menjadi hamparan ladang es yang berkilau. Rumput-rumput di tepiannya yang semula berwarna hijau telah mengering dan menguning. Pohon-pohon beech di sekitarnya pun telah berubah menjadi pohon-pohon kuning kecokelatan, seolah-olah musim gugur baru saja jatuh di tempat itu.

Kau berpikir ini mimpi. Atau ilusi terakhir sebelum kematian. Tetapi nyeri yang tak kau rasakan, dingin yang menusuk tulang, dan napas yang begitu nyata membuatmu tak berani menganggapnya halusinasi.

Kau mencoba mengesampingkan semuanya, lalu menyusuri jalan setapak di belakangmu. Namun, belum lima langkah, kau melihat secarik kertas menguning tergeletak di tanah dengan angka 1 di sudut kanan atas.

“Selamat datang. Selamat bertualang hingga dua tahun ke depan.”

Kau menatap kertas itu lamat-lamat seolah-olah tulisannya bakal berubah bila kau tak berkedip. Kemudian, tanpa alasan kau menyelipkan kertas itu ke dalam saku dan mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke dalam hutan beech. Hutan itu begitu dingin dan sunyi seperti tak ada kehidupan di sana. Akar-akarnya mencuat di tanah menyerupai urat-urat yang muncul di tangan ibumu ketika ia telah tua renta. Dahan-dahan pohon itu merupa kanopi yang membuatmu terlindungi dari butiran-butiran salju yang jatuh dari langit. 

Nyaris sepuluh menit berjalan, akhirnya kau mulai mendengar suara kaki orang-orang yang terdengar terburu-buru, tawa anak-anak yang sepertinya sedang saling melempar salju, dan juga suara-suara lain. Dan, benar saja, di ujung jalan setapak yang kau lalui itu, ada sebuah desa yang tampak ramai dan indah. Rumah-rumah berdiri dengan atap yang berlapis salju tipis. Beberapa di antaranya memiliki jendela kaca, sedang yang lain memiliki jendela yang terbuat dari kayu atau papan. Lalu, dalam barisan itu, bangunan kelima dari ujung jalan, ada sebuah toko roti. Asap mengepul dari cerobong di atapnya. Lampunya yang kuning hangat membuat tempat itu terlihat mencolok dari bangunan lain. Sebab itu kau memilih untuk mendatangi tempat itu. Barangkali di sana kau dapat menanyakan sesuatu, tentang hal-hal aneh yang tadi kau pendam di kepalamu.

Setelah sampai di pintu toko roti itu, alih-alih kau mendapatkan jawaban atau keanehan-keanehan yang kau alami, kau malah kembali dikejutkan oleh sepasang manusia yang ada di dalam: seorang lelaki paruh baya yang memakai celemek usang, rambut sedikit panjang, dan tubuh yang sedikit berisi; seorang wanita empat puluhan berambut sepinggang dan sedang membungkus roti. Kau mengenali wajah mereka. Wajah mereka persis seperti wajah ibu dan ayahmu ketika kau berusia lima belas tahun. Tetapi bagaimana mungkin ayah dan ibumu bangkit dari kematian yang mereka hadapi sepuluh tahun yang lalu?

“Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?” Laki-laki yang mirip ayahmu itu menyapamu hangat, seperti yang ia lakukan pada pelanggan lain yang datang beberapa menit sebelum kau masuk. 

“Tidak …. Maaf, saya salah tempat.” Air matamu mendesak keluar saat tubuhmu berbalik. 

Kau tetap saja berjalan menyusuri jalan yang membelah desa itu. Jalan itu diapit oleh barisan rumah yang tersusun rapi. Hingga kau sampai di sebuah perpustakaan, sekitar tujuh bangunan dari toko roti. Persis seperti yang terjadi di toko roti, kau juga bergeming ketika melihat penjaga perpustakaan. Kau mengenali wajahnya yang sama persis seperti si Lelaki Jerman yang kau putuskan sebelum mendaki. Ia juga menyambutmu dengan senyum yang ramah, persis seperti penjaga perpustakaan yang dulu sering kau kunjungi bersama kekasihmu. Lagi-lagi, kau tidak dikenali. 

Malam mulai merayap di seluruh desa. Kau bingung harus menghabiskan malam ini di mana. Tak ada rumah yang bisa kau tempati, tak ada uang receh yang bisa kau gunakan untuk menyewa tempat. Tak ada pilihan lain selain menumpang di teras sebuah toko kelontong yang telah tutup. Kau menghabiskan malam yang dingin di sana sembari terus saja mengusap tubuhmu sendiri, kemudian meniup kedua telapak tangan hingga sedikit hangat, lalu melekatkannya ke kedua pipimu yang rasanya membeku. Malam itu terasa lebih panjang, dan dinginnya lebih menusuk—mungkin karena tempat itu terasa begitu asing. 

Keesokan hari, kau kembali ke toko roti. Kali ini kau memberanikan. Tetapi, sepertinya kekecewaan memanglah teman sejatimu, Elin. Mereka hanya mengerutkan kening, menyapamu dan berkata, “Ada yang bisa kami bantu?”

Kekecewaan kembali menggerogoti hatimu. Begitu juga ketika kau mencoba menyapa si Penjaga Perpustakaan. Kau hanya mengembuskan napas atas semua hal itu dan mengawasi mereka dari jauh seraya berpikir mungkin mereka hanya berpura-pura tak ingat. 

***

Hari-harimu menjadi waktu untuk menonton kejadian yang berulang-ulang. Setiap pukul 15.50, Danau Thun membeku dari tengah, pusaran angin naik dari dasar air, dan semua kembali seperti semula. Meja di toko roti dipenuhi roti yang sama, halaman buku di perpustakaan terbuka di bab yang sama, bahkan anak-anak di jalan melontarkan lelucon yang sama persis. Hal ini membuat daftar hal aneh yang kau jumpai bertambah panjang. 

Satu-satunya yang tak berulang di tempat ini adalah apa yang kau lalui. Kau tak pernah melakukan kegiatan yang sama persis seperti kemarin. Tidak ada ucapan yang sama persis dengan apa yang kau ucapkan beberapa hari lalu. Entah bagaimana, tapi kau menjadi satu-satunya orang yang tak mengulangi hari-harimu. Barangkali karena kau berasal dari suatu tempat yang lain. 

Pernah suatu kali, di hari keseratus, kau mencoba membantu seorang anak yang nyaris terjatuh di jalanan bersalju. Ia hanya bingung, dan mengucapkan terima kasih. Tetapi keesokan harinya, di jam dan tempat yang sama, ia kembali terjatuh. Sejak itulah kau mengerti bahwa hari esok dan kemarin tak berlaku di tempat ini. Semuanya selalu sama, hari yang sama, kegiatan yang sama, dan ingatan yang itu-itu saja. 

Nyaris dua tahun kau menyaksikan hal-hal itu. Tak ada yang bisa kau lakukan selain menunggu waktumu habis di tempat ini—karena tak ada yang bisa kau tanyai bagaimana caranya kembali ke tempatmu sebelumnya. Kau hanya mengawasi perempuan dan lelaki yang seperti ibu dan ayahmu dari kejauhan sambil sesekali menangis. Sesekali kau mencuri pandang pada si Penjaga Perpustakaan sambil berpikir bahwa ia adalah si Lelaki Jerman yang mengkhianatimu. Hingga sampailah kau pada hari ini, hari terakhir kau berada di tempat ini. 

Sebenarnya kau cukup penasaran bagaimana hari terakhirmu akan berlalu. Apakah masih akan menonton kejadian-kejadian seperti sebelum-sebelumnya ataukah ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang mungkin mengembalikanmu ke tempatmu sebelumnya: desa nyaman di Swis dekat Danau Thun yang tak pernah menjadi ladang Es. Atau barangkali kau hanya akan menghilang begitu saja seperti tak pernah berada di tempat ini. 

Pukul 15.45. Lima menit sebelum waktumu habis di tempat itu. Kau melihat ke arah toko roti sekali lagi, dan menghabiskan detik-detik terakhir itu untuk memuaskan rindu yang menyesak di dadamu. Hingga akhirnya pusaran angin puyuh datang dari arah danau ketika jam tanganmu tepat menunjuk 15.50. Kau kembali terjerumus ke dalamnya. Dan, semuanya menjadi gelap. Tak ada cahaya. Kau hanya merasakan ada sebuah energi besar yang menelan tubuhmu di dalam pusaran itu. 

Saat angin itu reda, kau telah berada di bawah sebuah pohon raksasa yang terpisah dari sekumpulan pohon sejenis di sisi kiri. Di hadapanmu terbentang lautan rumput hijau yang sedang diterpa angin. Lalu, tak sampai lima langkah dari tempatmu duduk, kau melihat secarik kertas menguning, dengan angka 2 di sudut kanan atas. 

“Selamat datang. Selamat bertualang hingga dua tahun ke depan.” []

Agam, 05 Agustus 2025

Vianda Alshafaq, perempuan penyuka kopi da kenangan.