Dari Balik Jendela

Dari Balik Jendela

DARI BALIK JENDELA
Oleh: Ika Mulyani

Hatiku sedih sekali, tidak ada lagi yang mau bermain denganku. Aku selalu tidak diacuhkan. Sering sekali saat aku menghampiri kerumunan anak-anak di tanah lapang tempat mereka biasa bermain, maka satu per satu akan beranjak meninggalkanku, hingga hanya aku sendiri yang ada di sana.

Dua hari lalu, Paman Rahman–ayah Husna–membuat ayunan, tiga sekaligus. Tempat duduknya terbuat dari potongan kayu yang dikaitkan menggunakan tali tambang. Ketiganya dipasang berjajar pada sebilah bambu besar yang panjang, lalu bambu itu diselipkan di cabang dua pohon yang berdekatan.

Tanah di bawah kedua pohon yang biasanya dipenuhi oleh sampah plastik dan daun kering yang berguguran, kini menjadi bersih. Bibik Ami–istri Paman Rahman–mengajak anak-anak untuk menyapu dan membakar sampah yang terkumpul.

Tidak jauh dari ayunan itu, Paman Rahman juga membuat dipan dari potongan bambu yang dicat merah menyala. Naungan beberapa pohon di dekatnya, membuat dipan itu terlindung dari sinar matahari yang menyengat di siang hari. Sungguh tempat yang nyaman untuk duduk bermalas-malasan.

Dipan itu sering kujadikan tempat untuk duduk mengawasi teman-teman yang sedang asyik bermain. Tampaknya mereka tidak keberatan aku duduk di salah satu sudutnya, sudut yang terdekat dengan pohon nangka yang menaungi dipan itu.

Dengan adanya ayunan dan dipan tersebut, semakin ramai anak yang berdatangan untuk bermain di tempat ini. Selain bermain ayunan, ada juga yang berkeliling naik sepeda, bermain kelereng, kucing-kucingan, atau lompat tali. Beberapa anak ikut duduk bersamaku, bermain boneka dan rumah-rumahan. Ramai sekali celotehan mereka, persis ibu-ibu sungguhan. Aku tidak berminat untuk ikut karena aku sudah cukup besar, sudah tidak pantas lagi bermain boneka.

Sepanjang hari, ketiga ayunan itu tidak pernah kosong. Saat kulihat salah satunya ditinggalkan seseorang, aku segera turun dari dipan. Namun, selalu saja ada yang berhasil mendahuluiku.

Beberapa kali ada satu dua bocah yang bertengkar, meributkan giliran dalam memainkannya.

“Sandi, gantian, dong! Dari tadi kamu terus yang pake ayunannya!” seru Ramdan dengan sengit. “Ayunan yang itu aja udah tiga kali ganti orang!”

Memang, aku pun melihatnya, membuatku gemas. Untung Ramdan yang berbadan bongsor datang, hingga Nasti yang sudah lama sekali menunggu giliran dengan mata berkaca-kaca bisa menaikinya. Gadis kecil itu tertawa senang saat Ramdan membantunya duduk lalu berulang kali mendorong, hingga tubuh mungilnya mengayun.

Ramdan memang teman yang baik, tetapi entah mengapa–seperti juga teman-teman yang lain–sekarang dia tidak mengacuhkanku. Padahal, aku sudah berulang kali minta maaf atas kesalahanku beberapa waktu lalu. Namun, sepertinya kesalahanku terlalu besar untuk dimaafkan, hingga Ayah Ibu turut pula tidak mengacuhkanku.

Hari sudah mulai sore. Satu per satu teman-teman mulai meninggalkan tempat ini. Ketika ada satu ayunan yang kosong–ayunan paling kiri–aku segera turun dari dipan, menaikinya dan mulai mengentakkan kedua kaki hingga tubuhku mengayun. Rasanya asyik sekali. Rambut sebahuku jadi berkibar-kibar dibuatnya.

Dua orang anak laki-laki yang sedang menaiki ayunan yang lain–aku tidak tahu nama mereka–melihat ke arahku dengan tatapan heran. Wajah mereka terlihat pucat. Keduanya lalu menghentikan gerakan ayunan dan bergegas turun lalu meninggalkanku sendiri dengan setengah berlari.

Aku melihat berkeliling. Apa yang membuat mereka seperti ketakutan? Tidak ada hal yang aneh atau menakutkan. Sambil mengangkat bahu tidak peduli, aku kembali mengayunkan tubuhku sendiri.

Posisiku di ayunan ini menghadap ke deretan rumah kontrakan dengan satu pintu dan dua jendela di setiap rumah. Dari salah satu jendela yang terbuka, aku melihat wajah seorang anak perempuan. Dia tersenyum padaku, tangannya melambai.

Siapa dia? Rasanya aku baru melihatnya hari ini. Mungkin penghuni baru.

Aku balas tersenyum dan melambai, lalu menunjuk ayunan yang kosong, mengajaknya bermain.

Anak perempuan itu menggeleng, dia malah semakin kencang melambaikan tangan, memintaku menghampiri.

Kini aku yang menggeleng. Aku belum puas bermain ayunan.

“Anggi, tutup jendelanya! Udah sore, nanti banyak nyamuk!” Seruan seorang ibu membuat anak perempuan itu kembali tersenyum dan melambai–kali ini tanda perpisahan–lalu menutup jendela.

Aku sendiri lagi. Bermain ayunan hingga puas dan bosan, sampai hari mulai gelap.

***

Ternyata bukan saat itu saja aku bisa puas bermain ayunan. Sejak hari itu, tempat ini sepi sekali. Tidak ada satu pun anak yang datang dan bermain. Masih lama hingga waktu matahari terbenam, tetapi jendela dan pintu di semua rumah kontrakan sudah tertutup rapat. Kecuali jendela milik Anggi. Dia masih saja hanya melihat dari balik jendela, tidak mau bergabung denganku.

Di hari ketiga aku mengenalnya, akhirnya kuhampiri saja dia. Aku berdiri di depan jendela yang dia ada di baliknya.

“Hai, Anggi. Aku Rina.”

“Aku tahu,” sahutnya sambil tersenyum.

“Ayo main ayunan. Seru, lho!”

Anggi menggeleng. Aku melayangkan tatapan yang berarti kenapa? Anggi mundur, aku tersentak. Rupanya dia duduk di atas kursi roda!

“Yuk, masuk!” ajak Anggi sambil memutar kursi rodanya, bergerak ke arah pintu dan membukanya untukku.

“Anggi, mau ke mana?” tanya ibunya yang sedang duduk sambil membaca.

Anggi tidak menjawab pertanyaan ibunya. Dia mengajakku masuk dengan isyarat mata. Aku memberi salam pada ibu Anggi, tetapi sepertinya dia terlalu asyik membaca dan tidak mendengarku.

Anggi mengajakku masuk ke dalam kamar, dan memintaku untuk duduk di tempat tidur. Dia lalu mengeluarkan papan congklak, dan kami pun asyik bermain. Sambil bermain, Anggi memintaku bercerita tentang teman-teman yang sering terlihat bermain di depan rumahnya. Anggi pendengar yang baik, dia tidak menyela ceritaku sampai selesai.

“Anggi, kamu tahu enggak, kenapa tempat main di depan situ sekarang jadi sepi, ya? Senang, sih, jadi enggak perlu nunggu giliran lama-lama untuk naik ayunan. Tapi, jadi enggak seru kalau sepi begitu!”

“Kayaknya karena takut.”

“Takut?” Aku mengernyitkan dahi. “Takut apa?”

“Tadi pagi, sih, aku dengar dari cerita ibu-ibu waktu lagi pada belanja sayur. Katanya kapan hari, ada yang lihat ayunannya bergerak sendiri.”

Aku melongo, sementara Anggi tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, “Padahal, karena ayunannya kamu naikin.”

Aku semakin melongo.

“Enggak apa-apa. Aku enggak takut, kok.” Anggi berucap sambil kembali tersenyum dan menepuk lembut bahuku. (*)

Ciawi, 13 November 2020.

***

Ika Mulyani, Emak penakut yang mencoba menulis cerita misteri.

 

Editor: Erlyna

Leave a Reply