Darah Itu Keluar Tanpa Minta Izin

Darah Itu Keluar Tanpa Minta Izin

Itu Keluar Tanpa Darah Minta Izin

Oleh: Erien

Pertama kali aku sadar bahwa tubuhku bocor adalah ketika sedang jongkok di kamar mandi, mencoba keras buang air setelah makan rendang basi dua hari berturut-turut. Bukan, bukan bocor karena buang-buang udara. Memang ada yang keluar dan itu adalah darah. Darah keluar dari hidung. Lalu dari kuping. Lalu, entah bagaimana, dari pusar.

Aku pikir itu biasa saja. Atau mungkin aku terlalu banyak dosa dan Tuhan mencoba membilasnya dari lubang-lubang tubuh yang jarang dipakai. Tapi ketika darah mulai keluar dari bawah kuku, dari sela-sela gigi geraham, dari pori-pori tengkuk, dan sekali waktu dari bagian yang biasa dipakai untuk buang air kecil dan kadang-kadang bercinta (walaupun aku belum pernah menggunakannya untuk yang terakhir), aku mulai berpikir ini bukan sekedar masalah pencernaan. Ini perlawanan tubuh.

Tubuhku bosan. Atau marah. Lalu memutuskan untuk memberontak. Dan ia memilih darah sebagai juru bicaranya.

Sejak saat itu, kehidupan berubah.

Aku tidak bisa naik ojek karena helm penuh darah. Tidak bisa kerja karena keyboard kantor tak punya fungsi tahan rembesan. Aku juga tidak bisa pacaran. Setiap kali aku mencium seseorang, darah menetes dari hidung seperti selang bocor, dan mereka selalu kabur sambil berteriak, “Kau vampir gila!”

Aku bahkan dikeluarkan dari kontrakan karena kasurku jadi kolam.

“Terserah kau tinggal di mana, asal jangan di sini,” kata Ibu Kos sambil berdiri di atas kursi plastik, takut darahku merembet ke kaki.

Aku akhirnya tinggal di sebuah halte tua. Setiap malam, aku nyamuk dan darahku jadi tontonan umum. Ada yang datang membawa sedotan. Ada yang membawa plastik. Ada yang membawa kamera.

Seorang pemuda berjaket denim bahkan berkata, “Kau adalah seni pertunjukan tentang penderitaan proletariat.”

Aku tidak tahu maksudnya. Aku hanya tahu aku kedinginan dan haus. Ditambah lagi risiko saat darah mulai keluar lagi tanpa izin, entah dari bagian tubuhku yang mana.

Aku sempat pergi ke dokter. Dokternya perempuan. Wajahnya bulat. Matanya tajam seperti silet yang baru diasah. Dia melihat tubuhku, mengetik di komputernya.

“Tubuhmu tidak sakit. Kau hanya terlalu penuh.”

“Penuh apa?”

“Penuh kesedihan, dendam, sial, cinta yang tidak sampaian, kerja yang tidak dibayar, tawa yang kau telan sejak kecil, dan berita-berita buruk yang kau simpan dalam lambungmu. Itu semua meledak jadi darah.”

“Jadi, aku harus bagaimana?”

Dia tersenyum, membuka laci, dan mengeluarkan sedotan.

“Habiskan saja. Atau bagikan.”

Sejak itu aku menjual darahku. Kuwadahi dengan botol bekas sirup marjan. Satu, dua, tiga. Lalu setelah sepuluh botol, kususun di bangku halte tua. Di sebelah bawah bangku kupasang spanduk, “Darah Asli Manusia Penuh Masalah – Cocok untuk Dukun, Artis, Performance dan Mahasiswa Semester Tua.” Sebenarnya, aku asal saja menulis spanduk itu karena tidak tahu akan diapakan darahku.

Laris.

Habis.

Pada hari ke dua puluh satu, seorang jurnalis datang. Wajahnya berminyak. Napasnya bau rokok. Jaketnya apalagi. Dia duduk di sebelah dua botol marjan yang tersisa hari ini.

“Kau tidak sadar,” katanya sambil mencatat, “darahmu sedang mengubah pandangan orang tentang tubuh manusia.”

Aku tidak menjawab. Aku sedang sibuk menyumbat puting susu kiri dengan kapas karena darah mulai menyembur dari sana. Lagi pula, manalah aku tahu. Saya hanya menurut dokter wanita itu.

Jurnalis itu pergi setelah mengambil gambar aku yang sedang mengenakan kembali kausku dengan motif bercak merah di dada kiri.

Lambat laun, entah sudah berapa hari, tubuhku lelah. Dia kehabisan stok. Darahnya encer, seperti teh celup basi yang digunakan berulang kali.

Orang-orang mulai berhenti membeli. Seorang dukun marah-marah karena pasiennya malah tambah kerasukan. Dia meminta uangnya kembali. Kutunjuk saja toilet umum di seberang halte karena di sanalah tempat terakhir makanan yang kubeli dengan uangnya.

Sampai akhirnya, suatu pagi, darahku berhenti keluar. Tubuhku kering. Dan aku merasa hampa, mungkin ibarat kehilangan satu-satunya hal yang membuatku berarti.

Malam itu, aku berdoa. Bukan pada Tuhan, karena mengira Tuhan sedang sibuk dengan urusan negara-negara yang sedang perang. Aku berdoa pada tubuhku sendiri.

“Kalau kau mau, keluarkanlah darah lagi. Aku siap. Aku sudah tahu ini bukan penyakit, ini identitas.”

Tapi tubuhku tidak menjawab. Dia diam. Mungkin itu masalahnya. Aku merasa dia hanya ingin dihargai bukan karena darahnya, tapi karena dia bertahan sejauh ini.

Sejak itu aku berhenti menjual dan berhenti berharap darah jadi simbol. Aku hanya ingin hidup. Dengan atau tanpa darah. Tapi setiap kali aku batuk, dan ada warna merah muda yang menodai saputangan, aku tersenyum pelan.

Oh, kamu masih di sana. Masih mencintaiku dalam diam. (*)

Kotabaru, 25 November 2025

 

Erien , perempuan yang kuat.