Darah Bukan Air
Penulis: Nur Khotimah
Hari ini sebenarnya aku ingin menulis cerpen humor untuk sebuah event kepenulisan, tetapi bagaimana aku bisa melucu bila bayangan perempuan terkutuk itu terus bersemayam di otak. Menggerogoti lobus frontal. Sehingga, jangankan untuk memikirkan narasi komedi, bahkan untuk sekadar waras pun tersiksa.
“Aku tidak mengambil milikmu, aku hanya ingin kamu mau berbagi sedikit denganku,” ucapnya waktu itu. Di suatu hari yang terik, ketika tiba-tiba ia mengajakku bertemu di sebuah restoran. Dengan santai dan tanpa rasa bersalah ia menunjukkan alat tes penguji kehamilan dengan dua garis merah di sana, yang katanya itu adalah buah cintanya dengan suamiku.
Darahku terasa mendidih. Ingin rasanya aku menumpahkan segelas es jeruk di depanku ke kepalanya. Es jeruk yang sudah ia pesankan untukku bahkan sebelum aku sampai ke tempat ini. Sempat terlintas di kepalaku, jangan-jangan ia sudah membubuhkan bubuk sianida atau setidaknya racun tikus di sana, karena itu aku tak mencicipinya barang setetes meski tenggorokan terasa begitu kering setelah menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor.
Aku hanya diam dengan gigi gemeletuk menahan geram dan tangan yang gatal ingin menjambak rambutnya, atau paling tidak mencakar wajah yang sok polos itu. Aku diam bukan karena tak berani. Ini jam makan siang, ada banyak pengunjung di restoran itu. Aku tak mau merendahkan diriku sendiri dengan melakukan perbuatan tercela, sekalipun aku merasa itu memang pantas untuknya. Aku diam, menahan kecamuk di dada.
Mengenai hubungannya dengan Mas Bayu, aku sebenarnya sudah lama curiga. Kerap kali aku mendapati chat—yang menurutku cuma basa-basi tak penting–perempuan itu di ponsel Mas Bayu. Namun, tak pernah menemukan bukti perselingkuhan mereka. Dan kini, perempuan yang tak lain adalah sepupuku itu terang-terangan menunjukkan bukti perselingkuhan mereka. Sedangkan Mas Bayu, entah di mana lelaki itu. Sudah tiga malam ia tak pulang, ponselnya pun tak bisa dihubungi. Apa ia menginap di indekos perempuan binal ini?
“Kami mau menikah, dengan atau tanpa persetujuanmu.”
“Belum tentu Mas Bayu mau menikahimu,” sanggahku. Perempuan itu tersenyum sinis mendengar ucapanku, mengaduk lemon tea di depannya dengan sedotan, lalu menyedotnya hingga hampir setengah gelas.
“Kami sedang mengurus surat-suratnya,” ucapnya, sembari menyesap lemon tea-nya lagi. Kemudian bangkit meninggalkanku yang duduk mematung menahan genangan air mata yang sebentar lagi jebol. Alat penguji kehamilan yang tergeletak di meja itu seakan menertawaiku.
Hari ini, mereka benar-benar menikah, meski tanpa persetujuanku. Parahnya, keluarga besar menyetujui dengan alasan kandungannya, dan aku yang tak juga mengandung di usia pernikahanku yang keenam.
Aku masih memandangi layar monitor. Kosong. Mungkin seperti itulah hatiku saat ini. Perempuan laknat itu telah mencuri sesuatu di dalamnya hingga meninggalkan luka merah menganga.
“Bangsat!!” Sebuah umpatan disertai gebrakan yang membuat kopi di cangkir–yang bahkan belum tersentuh hingga dingin–tertumpah mengenai papan keyboard. Aku tak peduli, karena semua kini samar tertutup kabut mata. Aku menangis lagi. Entah untuk berapa kalinya dalam hari ini. Meratapi nasib diri, juga menyesalkan tindakan perempuan yang tak berhati itu.
Dia merebut milikku, kekasih hatiku. Tak peduli pada ikatan darah yang telah menyatukan kami. Mungkinkah hatinya sudah mati? Atau malah tak ada? Hanya seonggok raga yang dipenuhi dahaga semata? Entahlah.
Aku juga benci Mas Bayu. Ke mana janji manis yang ia ucapkan dulu? Besama hingga maut memisahkan? Bullshit!
Mengingatnya membuatku pening. Nyeri merajam seumpama tertusuk jutaan duri. Sakit. Sangat sakit! Bahkan tiada kata yang mampu untuk mengungkapkannya.
“Argggghhh.” Aku menjerit sekuat tenaga, menarik dengan kasar kain penutup meja hingga membuat semua yang di atasnya berhamburan ke lantai. Berharap semua itu bisa memberi sedikit kelegaan. Namun, hingga semua barang di kamar ini hancur berantakan, tak jua kutemui ketenangan.
Aku terduduk di lantai, menangis memeluk lutut, hingga sebuah benda mengilat yang tergeletak di ujung ruangan seakan memanggil. Aku bangkit, berjalan gontai meraihnya. Mungkin ini akan terasa menyakitkan, tapi paling tidak, aku tak perlu melihat mereka lagi esok hari. Dan yang pasti, takkan ada rasa sakit lagi.
Tamat.
Cikarang, 26 Oktober 2020
Nur Khotimah, seorang ibu biasa yang ingin menjadi yang terbaik untuk keluarganya. Menulis adalah dunia keduanya. Jejaknya bisa dilihat di akun Facebook dengan nama yang sama.