Darah Bahari

Darah Bahari

Penulis: De-Nara

Purnama membiru, bercak hijau bak lumut merayapi khatulistiwa

Negeri serupa pecahan permata, terburai di bentang biru yang dalam

 

Ditiupkan-Nya ruh dalam rahim kerontang

Kurengguk sebagian napas Ibu

Arus sungai baru mengairi pipi merona tubuh mungil–aku

Tak lebih deras dari riak yang relakan jutaan linang tumpah

Tak kalah ramai dari demoan bulir yang merobek paksa kulit surgaku

Ujung jarum menjadi jeda, pun saksi atas tumpahan darah bahari

Detik berikutnya, kuhembuskan napas dengan titah Ibu

 

Kurenda sepanjang senja di pucuk-pucuk karet sebelah rumah

Dengan rengkuh Ibu tanpa spasi, juga aroma hangat kopi di bawah kanopi

Serta riak Musi yang mempertualangkan ikan-ikan sepanjang hari

Bermuara pada kepul asap dapur, liur tercekat, juga bunyian yang tak terelakkan

Kusambangi Wak-Wak, Umak-Umak, serta Budak-Budak

Kami seduh detik berikutnya dengan kemelayuan yang menggantung di ujung lidah

 

Dari sudut-sudut yang tak terjamah

Lekat tatap tak lepas, pada rupa-rupa siratkan makna

Dengan radar seadanya, sayup kudengar dari seberang

Memayu Hayuning Bawana? Tuah Sakato?

Sang Bumi Ruwa Jurai? Gemah Ripah Repeh Rapih? Akcaya?

Nosarara Nosabatutu? Marimoi Ngome Futuru?

Tiap ranah berdiri diatas kata-kata tak senada

 

Kukerjap mata, atas detik bersimbah darah

Kemana pucuk karet? Hangat Kopi? Dapur kami?

Belati jadi hakim atas ketidaksamaan

Tebasan yang menjadi penutup konser bertajuk keakuan

Benar ribuan buih lautan serta debur beranjak menjadi jarak panjang?

Jadi sekat kokoh antara ragam rupa-rupa?

Pemisah tiap permata yang terburai?

 

Kukerjap mata sekali lagi,

Ada linang sunyi yang merenggut setegah lesungku

Sepasang tangan Ibu kembali merengkuh

Dalam keabu-abuan yang kerap membuatku rapuh

 

Ini masih senja yang sama, giliran debur ombak membentuk sepasang lesung baru

Darah bahari tak kan berkhianat pada rahim.

Untuk rahim-rahim penitah anak Negeri

Yogyakarta, 19 April 2017

De-Nara

De-Nara, pecinta kopi, jazz, vintage, dan senang berjalan di pasar tradisional,  bukan untuk berbelanja, namun untuk mengamati ragam rupa-rupa yang dia rasa itu unik. Kumcer terakhirnya adalah Jeramba-Jeramba Malam (bennyistitute, 2016).
Pengurus dan Kontributor
Cara mengirim tulisan di Loker Kita