Dandelion

Dandelion

Dandelion
Oleh: Lanang Irawan

Sungguh pun saya sudah mengenakan jaket tebal serta celana beludru panjang, tetap saja dingin itu terasa menyelimuti sekujur tubuh. Sumbernya mengalir dari dada sebelah kiri. Saya merasakan ada lubang di sana, tapi ketika melihatnya tidak terdapat apa-apa.

Angin pun tak berembus di jalanan yang lengang itu. Cahaya dari sebuah benda besar yang menggantung di langit membuat sekitar saya tampak monokrom. Saya berjalan dengan menutupi lubang khayali pada dada kiri itu, seperti mengempit karung berisi kucing liar yang meronta-ronta.

Malam itu, sebenarnya saya baru keluar dari tetesan lilin angka dua puluh, yang meleleh pelan-pelan di atas kue. Setidaknya, itulah bayangan yang saya percayai saat itu.

Sementara itu, setelah mewujud—kue yang masih bagus itu hancur oleh bobot tubuh saya—saya melihat seorang manusia muda tergeletak di bawah meja. Kepalanya yang berlumuran kue hampir terinjak ketika saya turun dengan tubuh telanjang.

Saya amati orang itu, dan terkejut. Wajah manusia itu mirip saya. Namun, tubuhnya seperti mentega yang menyentuh sendok panas ketika telunjuk saya menyentuhnya.

Dimulai dari kepala, tubuh orang itu terus mencair menjadi darah yang mengalir hingga menggenang, mengaliri ceruk-ceruk keramik, lalu masuk ke retakan-retakan tembok dan celah-celah pintu. Anehnya, tercium aroma telur pecah dari darah itu.

Saat itu, mendadak saya merasakan sesuatu memberontak dalam dada. Dari kepala saya menggema suara saya sendiri, “Aku suara jiwamu, buah dari pikiran dan pengetahuanmu. Lalu, yang ini emosimu. Dan, yang itu, yang tampak seperti tangga yang menuju ke lorong tanpa ujung adalah kenanganmu. Badanmu sedang sekarat, tapi kau masih hidup.”

Saya menuruni tangga di lorong tanpa ujung dengan dipandu oleh suara itu. Setiap saya menginjak satu tangga, sebuah impresi tampil seperti film yang melayang-layang lalu merasuki saya. Dengan cara demikianlah saya mengenali manusia yang telah mencair tadi itu adalah diri saya yang membunuh dirinya dengan membenamkan kepala ke dalam kue.

Saya keluar dari kamar itu, dan dengan tiba-tiba mengenakan jaket dan celana training berbahan beludru. Saya melayang melalui jendela dan menuju jalan yang lengang itu.

Saat saya mengingat itu, tiba-tiba punggung saya terasa ditekuk sesuatu. Saya terjengkang, tertarik ke belakang, lalu mengapung. Sesuatu itu membawa saya kembali ke ruangan pesta ulang tahun. Saya lihat, sesuatu itu muncul dari tubuh saya yang entah mengapa kembali ada dan utuh, lagi tergeletak seperti saat saya pertama melihatnya.

Bedanya, di ruangan itu sekarang ramai. Empat wajah yang saya kenal terdapat di sana. Tubuh saya yang tergeletak dibangunkan dan diletakkan di tengah lingkaran yang ditulis dengan kapur.

Ayah menutupi wajah saya dengan mori berdarah. Ibu, Kakak Pertama, dan Kedua duduk berjarak-jarak. Tangan mereka terentang berpegangan. Mata mereka terpejam seiring bibir mereka bergerak-gerak.

Ruangan itu tiba-tiba bergemuruh. Saya melihat sesuatu melayang dari tubuh mereka, bersatu di udara, lalu mewujud kepala tanpa badan dan menyesaki ruangan itu. Mata pada kepala itu menyala merah, benar-benar merah, dan memandang jiwa saya.

“Jack! Kami mengandalkanmu! Jangan melawan! Jiwamu masih terikat dengan tubuhmu, kami akan melepaskan ikatan itu sekarang. Setelah itu terbanglah ke mulut maut untuk mewakili kematian kami. Buatlah aku, ibu, dan kakak-kakakmu tetap hidup selama ribuan tahun lagi.”

Suara yang terdengar dari kepala itu seperti suara Ayah, Ibu, dan dua kakak ketika berkata secara serempak. Saya terpojok. Seluruh emosi saya terasa panas tatkala mulut patung kepala itu terbuka.

Dalam keadaan demikian, suatu kesadaran menyentak saya dari kesakitan. Kesadaran itu berkelindan dan mengeluarkan sebuah pertanyaan, mungkin sebagai pembelaan terakhir saya terhadap suara dari mulut patung itu, “Semua orang memiliki kematian sendiri, kenapa aku harus mewakili maut orang lain?”

Kemudian, entah bagaimana, sebagian jiwa saya pecah menjadi partikel-partikel subtil dan bergabung dengan partikel-partikel bangunan yang selama itu saya sebut rumah. Dari tiap partikel itu saya melihat bagaimana mereka memperlakukan dan memandang keberadaan saya dari lahir sampai mencapai usia yang pas untuk dikorbankan.

Rupa-rupanya, dari ingatan partikel-partikel bangunan itu, saya adalah anak yang mereka beli saat bayi dari mafia perdagangan manusia. Saya tak ubahnya hewan ternak mereka sekalipun mereka di hadapan orang lain memperlakukan saya sebagai manusia.

Dari ingatan yang diberikan partikel-partikel itu saya mendapatkan informasi bahwa kue ulang tahun kedua puluh saya dibubuhi rempah-rempah yang sudah mereka mantrai agar jiwa saya terpisah dari tubuh dan memori saya kacau. Sayangnya, emosi saya masih mengikat jiwa saya.

Mereka bermaksud menghapus emosi itu. Saya merasakan sakit yang tiada tara, tetapi patung kepala perwujudan jiwa mereka semakin kuat menghisap jiwa saya seperti permen kapas. Saat mulut dari patung kepala itu hampir menghisap seluruh jiwa, kebencian saya membuat emosi saya meledak seperti kembang api yang tersulut sebelum waktunya.

Patung kepala itu meraung dan pecah berhamburan. Keempat tubuh yang duduk melingkar di lantai menggelepar. Darah segar keluar dari mulut tubuh saya yang telentang di tengah lingkaran.

“Sial! Kenapa dia bisa melawan?”

Wanita yang selama itu saya panggil ibu terlihat meradang. Wajah cantiknya secara lambat berubah menjadi tua, begitu juga dengan Ayah dan Kedua Kakak saya. Mereka menjadi Kakek-kakek menjijikan.

“Potong kepalanya! Jangan biarkan dia memasuki tempatnya lagi!”

Saya tercekat, tapi saya tidak bisa menahan mereka atau mencegahnya. Saat itu saya sudah menjadi sesuatu yang lebih halus dan lebih subtil dari udara dan partikelnya. Saya tidak bisa apa-apa ketika melihat kedua saudara saya memisahkan kepala saya dari tubuh dengan pisau besar.

Selama ratusan tahun saya melayang-layang di sela-sela kehidupan manusia seperti dandelion menunggang angin. Dengan mudah saya pun dapat tumbuh di tubuh orang lain. Saya sering meminjam kekuatan tubuh yang saya hinggapi untuk menuliskan kisah saya itu. Namun, jarang berhasil seperti sekarang. Emosi mereka mendorong kesadaran jiwanya menjadi kuat sehingga saya tidak bisa berlama-lama.

Namun, sekarang, bukan saja saya berhasil menuliskan kisah itu, saya pun tidak harus lagi melayang-layang. Tubuh yang kali ini saya hinggapi memiliki emosi yang redup, bahkan kesadaran akan hidupnya setipis kertas.

Curugkembar, 30 Desember 2023.

 

Lanang Irawan, petani muda yang berusaha mencintai membaca dan menulis di sela-sela waktunya.

 

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply