Dalam Sambungan Telepon

Dalam Sambungan Telepon

Dalam Sambungan Telepon
Oleh: Ning Kurniati

Meraih mimpi. Setiap orang memiliki impian. Menjadi sesuatu yang dianggapnya terbaik untuk kehidupan yang kelak akan dijalani. Untuk meraihnya selalu ada harga sebagai bayaran, dan itu ditentukan oleh pemilik mimpi itu sendiri. Tidak ada yang gratis, benar-benar tidak ada. Bahkan kebaikan sekecil apa pun mendapat balasan, paling tidak Tuhan yang akan membalasnya. Kelak di akhirat. Siapa pun tidak akan ada yang bisa menebak hal itu. Surga-neraka, manusia biasa hanya tahu namanya. Seorang pun tidak ada yang mengetahui detail pastinya. Lazimnya, manusia hanya tahu tentang sungai susu yang mengalir, bangunan istana dan keindahan-keindahan lain.

Sama seperti meraih mimpi, ini juga berlaku dalam hal cinta-mencintai. Yah, aku seseorang dengan mimpi yang setiap harinya terus bertambah-tambah. Maksudku, aku punya banyak mimpi yang ingin kuraih. Serupa dengan yang lain, aku juga mencintai seseorang. Mencintai seorang lelaki yang aku memegangnya dengan sebuah janji.

Sebuah janji yang mengikatkan kami pada komitmen tentang takdir. Hanya itu sebagai ikatan, tidak ada cerita lain. Pun sebelum mengawali kisah ini kami hanya sempat berkomunikasi dalam sambungan telepon. Kami bertemu dalam dunia nyata. Duduk bersama dalam forum-forum,  tetapi mulut bungkam untuk membahas tentang rasa.

Tidak ada yang istimewa dari dia, selain keberaniannya menyatakan untuk menjalin komitmen sesuai syariat denganku. Dia laki-laki biasa, tampan biasa, dari keluarga biasa.

Tiga tahun berlalu, hingga sebuah kabar mengejutkanku.

Seorang teman di sosial media, mem-posting pasangan menikah. Iya, dia menikah. Jangan pikir aku menangis atau bersedih. Aku tertawa melihatnya, tetapi entah kenapa ada juga air mata yang keluar, sedikit. Jadi, sebut saja aku sedikit menangis. Tidak benar-benar menangis.

Beberapa hari tidak ada tindakanku menanggapi hal tersebut. Aku baik-baik saja. Yah, baik-baik saja. Masih bernapas, bisa makan. Aku baik-baik saja. Mulutku terus merapal. Kalimat itu sudah melebihi jumlah zikir yang kuucap setiap harinya.

Hingga di sore hari, tanganku gatal juga untuk mengetik sesuatu. Akunnya sudah berulang kali aku buka-tutup. Buka, tutup lagi. Sampai ke percobaan sekian. Maksudku ini percobaan untuk meyakinkan hati oleh otakku bahwa setidaknya ada alasan yang harus aku tahu.

Hei, tidakkah kamu merasa berhutang alasan kepadaku. Send.

Entah kenapa aku jadi sekaku itu menulis kalimat. Perubahan yang miris. Mengiris.

Lima menit, sepuluh, lima belas hingga menit keenam puluh tidak ada balasan. Aku kalah. Ah, iya dia sudah punya istri. Mungkin mereka lagi sibuk. Aku siapa, sih?

Maaf. Satu kata balasan yang kubaca keesokan harinya. Hanya itu. Aku harus balas apa. Maaf. Seharusnya dia membalasku dengan kalimat bukan kata. Ah, dia memang tidak tahu cara membalas.

Bukannya menjadi tenang, aku malah bingung. Aku harus apa. Memaafkan? Oh, betapa mudahnya mengucapkan.

Kalau tidak memaafkan, memangnya apa yang terjadi. Tidak ada. Aku dengan diriku sendiri. Dia dengan istrinya. Miris.

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Aku tidak menanggapi apa-apa. Hingga pada suatu hari aku menemukan kata-kata yang cocok sebagai balasan satu katanya itu.

Jadi, kelak, jawaban apa yang akan kamu berikan ketika anakmu bertanya kenapa bukan aku ibunya? Send.

Bukankah seorang laki-laki bertanggung jawab memilihkan perempuan yang terbaik sebagai ibu dari calon anak-anaknya. Send.

Kamu tahu bagaimana aku. Aku, aku lebih baik ketimbang perempuan itu. Send.

Hanya saja … kamu tidak sungguh-sungguh memperjuangkanku. Ah salah, kamu tidak memilihku. Send.

Selamat tinggal. Send

Plong. Aku merasa baru saja merdeka dari perbudakan. Perbudakan rasa sendiri, sedih sendiri … eh. Dan semuanya berawal dan berakhir dalam sambungan telepon. (*)

 

Ning Kurniati, seorang perempuan dengan sejuta mimpi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata