DALAM KERINDUAN
Oleh : Ika Mulyani
Suara tawa Rahmi yang renyah selalu terdengar merdu di telingaku. Aku mengintip dari tirai jendela kamar yang daunnya terbuka. Tampak wanita terkasih itu tengah berbincang dengan salah satu tetangga kami, seraya berdiri dipisahkan oleh pagar setinggi pinggang.
Ah, bila melihat pagar tak berpintu itu, aku jadi ingat perdebatan kami puluhan tahun lalu.
“Enggak usah pake pagar, lah, Pak. Biar kesannya lapang, gitu, lho! Tetangga kita juga enggak ada yang pageran rumahnya. Ngobrol sama tetangga, kan, jadi enak,” tukas Rahmi menanggapi rencanaku untuk memasang pagar di sekeliling rumah yang baru saja selesai dibangun.
“Ish, enggak ada kerjaan apa? Ngobrol-ngobrol sama tetangga. Pasti ujung-ujungnya jadi ngegosip!”
Aku menyahut, sedikit sewot. “Lagian, Sandi sama Sinta, kan, masih pada kecil, Bu. Ngeri kalo pas lagi main di luar, terus ada mobil atau motor lewat.”
Rahmi membantah argumenku. Ngobrol dengan tetangga itu sekali-kali tetap perlu, katanya. Selain itu, jalan di depan rumah kami bukan jalan raya, hanya gang yang cukup lebar. Jarang sekali ada kendaraan melintas, begitu kata istriku, yang menghabiskan seluruh waktunya mengurus rumah tangga.
Memang aku akui, di siang hari, aku tidak pernah ada di rumah, sibuk dengan pekerjaan kantor di tengah ibu kota. Setiap hari, aku berangkat saat mentari belum muncul, dan pulang ketika sang surya sudah lama tenggelam. Bahkan tidak jarang, di hari libur pun aku tetap berangkat ke kantor.
Namun, aku tetap bersikeras untuk memasang pembatas di sekeliling halaman yang tidak terlalu luas, setidaknya untuk memberi sedikit ruang privasi bila kami bercengkerama di teras rumah.
Akhirnya disepakati, pagar tetap dipasang dengan tinggi sekitar satu meter, dan bagian gerbang masuk dibiarkan terbuka tanpa pintu.
Saat ini, Rahmi baru saja selesai berbelanja dari gerobak sayur yang belum lama berlalu. Perbincangannya dengan tetangga yang tinggal di seberang rumah kami, terdengar jelas dari tempatku berdiri.
“Kalo beli belum tentu bersih, Bu Sofyan. Biar repot sedikit enggak apa-apa.” Rahmi menanggapi pertanyaan wanita paruh baya itu, mengapa istriku itu masih mau repot memasak, saat anak-anak sudah tidak lagi tinggal di sini.
Sandi, Sinta, dan Deni si bungsu sudah berkeluarga. Mereka tinggal cukup jauh dari sini. Sinta bahkan menetap di Negeri Kincir Angin, mengikuti suaminya yang bekerja di kantor kedutaan.
Hanya ada Sari–salah satu keponakan Rahmi–yang ikut tinggal di sini, menemani keseharian istriku saat aku tidak di rumah. Gadis yatim itu melanjutkan pendidikannya di kota ini, setelah lulus SMA di kampung, setahun lalu.
Tak lama, terlihat Bu Hamid–tetangga samping kiri rumah–menghampiri Rahmi dan Bu Sofyan, sambil membawa piring dan mangkok.
“Hari ini enggak usah masak, Bu Rahmat. Belanjaannya diolah besok aja. Ini saya bikin soto ayam sama perkedel,” kata wanita bertubuh gemuk itu seraya menyodorkan bawaannya pada Rahmi. “Hari ini ada syukuran wisudanya Si Bungsu. Nanti setelah Asar ke rumah, ya. Bu Sofyan juga. Soto buat Bu Sofyan saya anterin abis ini, ya,” lanjutnya sambil tersenyum.
Menurut cerita Rahmi, ia dan para tetangga memang sering saling mengirim makanan. Tidak jarang mereka berkumpul di salah satu rumah dan bersantap bersama.
“Mereka sudah kayak saudara, Pak. Enggak usah pake diminta, mereka siap nolong kalo kita lagi kesusahan,” ucap Rahmi dan ia kembali menceritakan, saat semua tetangga dekat sibuk menolong, ketika Deni kecil harus dilarikan ke rumah sakit, saat aku sedang tidak ada di rumah.
Kedua tetangga tadi lantas berpamitan dan masuk ke rumah mereka masing-masing. Rahmi menyimpan makanan itu di meja yang ada di teras, lalu ia menduduki kursi di sebelahnya.
Aneh, bukannya terlihat senang karena tidak perlu memasak, Rahmi malah tampak murung. Ia menatap masakan yang harumnya tercium hingga ke dalam kamar tempatku berdiri, dengan lekat. Setetes air jatuh dari sudut mata wanita kesayanganku itu. Mungkin karena itu makanan kesukaanku, dan ia sudah lama tidak membuatnya.
Aku pun beranjak keluar dan menghampiri Rahmi. Namun, kulihat ia tengah memejamkan mata dengan punggung bersandar di kursi. Lebih baik aku tidak mengganggu, dan menempatkan diri di lantai di ujung teras, lekat mengamati.
Aku selalu suka melihat Rahmi saat ia sudah tertidur. Wajahnya terlihat damai, menentramkan. Aku sungguh bersaksi, ia adalah seorang istri salihah dan ibu yang baik untuk anak-anak kami.
Lama sekali Rahmi memejam. Mungkinkah ia tertidur? Biasanya, di waktu
seperti ini–sekitar pukul sepuluh pagi–istriku akan menyibukkan diri dengan aneka tanaman yang menghiasi teras dan halaman.
Kulihat daun Philodendron Marble
di sudut kanan sudah harus diganti potnya. Akarnya mulai muncul dari permukaan tanah, sudah waktunya pula untuk memecah anakan. Euphorbia di sebelah si marble ….
“Bapak lagi ngapain di sini?”
Aku berbalik cepat saat mendengar sapaan lembut Rahmi dari arah belakang. Tampak wanitaku itu tersenyum manis sekali. Ragu, aku membalas senyumannya. Bagaimana mungkin ia bisa berbicara padaku?
Segera aku berbalik kembali, di kursi terlihat sosok Rahmi masih dengan posisi yang belum berubah, bersandar dengan mata terpejam.
“R-rah-mi?’ Aku tergagap.
Sosok Rahmi yang berdiri di belakangku meraih lengan ini. Aku terkesiap. Rahmi bisa menyentuhku!
Ia–Rahmi yang bisa menyentuhku–berucap lembut, “Ayo kita pergi! Biar nanti para tetangga yang mengurus semuanya.”
Ah, rupanya inilah ujung dari masa penantianku. Akhirnya, Rahmat dan Rahmi dapat bersama kembali, setelah sekian purnama terpisah dalam dunia yang berbeda.
***
Ika Mulyani, seorang ibu dua anak kelahiran kota Bogor, 44 tahun lalu, yang juga menjadi tenaga pengajar freelance di sebuah bimbel. Hobi membaca membuatnya mencoba untuk menulis, dengan harapan bisa berbagi sedikit ilmu dan memberi inspirasi.
Sumber gambar: Pinterest.com
Editor: Erlyna