Daisy
Oleh: Freky Mudjiono
Pilihan Gambar: Gambar 1
Terbaik ke-5 Lomba Cermin Lokit
#Menerjemahkan_Gambar
Seekor kucing betina dengan warna putih dan jingga yang saling bersaing dalam mencetak pola di tubuhnya, tidur tanpa rasa sungkan di atas meja. Terlindungi oleh mesin kas dan tiga buah vas yang berisi kuntum-kuntum bunga berbeda warna, ia mendengkur dengan nyaman. Namun suara dengkurannya terkalahkan oleh denting piano yang berasal dari pelantang suara berbentuk piramida yang tersimpan di rak bawah lemari pajang. Melodi lagu ‘Can You Feel the Love Tonight’ mengalun, mengisi setiap inci ruangan toko bunga, bahkan menyeruak keluar melalui pintunya yang terbuka lebar.
Rose, seorang wanita muda berjongkok di emperan toko bunga. Mengerahkan seluruh tenaganya, ia masih kepayahan menggeser sebuah pot besar berisi tanaman. Meskipun begitu, ia terus berusaha menarik pot besar itu ke dalam toko. Pada suatu titik, di mana lantai sebelah dalam lebih rendah daripada sebelah luar, ia pun terjengkang.
“Oh, Tuhan!” seru Rose sambil menahan rasa sakit di bokongnya. Dengan wajah meringis, ia melihat sekitar, baik sisi kiri maupun kanannya terlihat lengang. Amid Street memang selalu lebih sepi di malam hari. “Kenapa aku selalu lupa!” ucap Rose kesal sambil berusaha berdiri.
Sejak delapan bulan yang lalu toko ini dibuka, sudah terhitung puluhan kali ia terjatuh di tempat yang sama. Rose kemudian melakukan peregangan kecil, berharap agar sendinya yang masih terasa nyeri akan menjadi sedikit lebih nyaman.
Keributan yang dibuat oleh Rose ternyata mengusik ketenangan kucing yang berada di atas meja kasir. Ia membuka matanya, menguap, lalu perlahan beranjak turun dari meja. Ia menghampiri Rose sambil mengeong manja.
“Eits, Daisy! Berhenti!” Rose membelalakkan mata dengan satu tangan yang masih berada di pinggang.
Daisy, nama kucing betina yang telah menemani Rose sejak tujuh bulan yang lalu itu menghentikan langkahnya. Ia terdiam, seolah-olah dengan mata bulatnya, ia tengah mengumpulkan informasi dan menganalisa arti ekspresi wajah wanita yang tengah berbicara kepadanya dengan kepangan rambutnya mulai berantakan itu.
Rose mempertahankan posisinya. Bila ia meladeni Daisy, maka pekerjaannya bisa tertunda. Masih banyak pot bunga yang harus ia pindahkan ke dalam sebelum malam menjadi benar-benar larut dan tokonya menjadi satu-satunya yang masih buka di antara deretan bangunan yang sebagian besar dijadikan perkantoran.
“Kau tahu kalau kita sudah mau tutup, kan, Daisy?” Rose berbicara dengan nada tegas. “Aku tidak bisa bermain denganmu sebelum semua ini selesai.”
Daisy mengeong. Ia sepertinya tidak mengerti, bahwa Rose bukan tengah ingin mengobrol dengannya seperti biasa. Fakta bahwa Rose berbicara padanya, bagi Daisy, itu terlihat seperti sebuah undangan agar ia lebih mendekat, sebagaimana biasanya saat mereka berdua menghabiskan waktu selama ini.
“Tidak, Daisy! Jangan sekarang! Pekerjaanku banyak sekali.” Rose sedikit mendorong Daisy dengan kakinya sambil melangkah. Kali ini, alih-alih pot besar yang berat tadi, Rose memilih memindahkan lebih dahulu pot-pot yang lebih kecil. Tidak terlalu sulit baginya untuk melakukan itu. Rose menuju sebuah pot bunga berisi bunga bakung.
Penolakan Rose sia-sia. Tanpa bersuara, Daisy mengekorinya dari belakang. Tentu saja saat Rose berbalik dengan pot bunga di tangannya, ia tidak melihat Daisy dan tanpa sengaja memijak ekor Daisy. Meooww! Suara Daisy melengking.
“A–ada apa? Apa aku menginjak ekormu, Daisy? Karena itu, tadi sudah kubilang, jangan mendekat!” Rose buru-buru meletakkan pot bunga yang tengah ia bawa. Dengan wajah panik, ia berusaha memeriksa keadaan Daisy.
Daisy tidak menghiraukan perhatian Rose, ia pergi ke sudut toko. Di sana, ia lalu duduk dan menjilati ekornya.
“Maaf, Daisy. Tapi kau harus mengerti. Semua ini harus kukerjakan sendiri. Dia tidak akan da–.” Ucapan Rose terhenti, tiba-tiba menyadari apa yang ia pikirkan sedari tadi.
Dengan lesu, Rose melangkah ke bangunan di sebelah toko bunganya. Ia menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding sebelum kembali melemparkan pandangannya ke sisi kiri. Dia melirik jam di pergelangan tangannya, sudah lewat satu jam dari jam tutup toko seharusnya. Tatapannya lalu beralih ke arah pot-pot bunga yang masih berada di sisi luar. Tarikan dan helaan napasnya menjadi lebih dalam dan lebih panjang.
Daisy yang sepertinya telah melupakan rasa sakitnya, beranjak mendekati Rose. Ia kembali mengeong.
“Maafkan aku, Daisy. Aku sungguh tidak sengaja.” Merasa bersalah pada Daisy, Rose bersuara lebih lembut.
Daisy menengadah. Rose yang menatapnya sedari tadi, bisa merasakan bahwa Daisy sudah tidak mempermasalahkan kejadian barusan. Daisy kembali mengeong.
“Ada apa? Apa kau khawatir padaku?” tanya Rose setelah mereka saling menautkan pandang selama beberapa detik. “Tidak apa-apa. Aku bisa menyelesaikan ini.” Rose berusaha keras mengulas senyum. “Bukankah dari dulu juga begitu?” gumam Rose selanjutnya dengan nada yang sangat pelan seolah kata-kata itu hanya ia peruntukkan kepada dirinya sendiri.
Dari kejauhan–di mana ruas jalan terlihat lebih gelap karena tidak ada lampu jalan, ditambah lagi padamnya lampu luar deretan bangunan kosong yang belum ditempati lagi setelah beberapa minggu yang lalu toko-toko yang ada di sana tutup karena bangkrut di waktu yang nyaris bersamaan, dan kemarin, sebuah perusahaan yang berkantor di sana pindah ke gedung lain yang lebih besar–sebuah sosok melangkah mendekat. Rose yang menyadarinya seketika tersentak.
Daisy kembali mengeong, tetapi Rose tidak menjawabnya. Perhatian Rose tersita pada sosok yang belum bisa ia lihat jelas wajahnya. Dari posturnya, ia jelas seorang pria, tingginya juga pas, tapi .… Rose mengernyit, menurutnya pria itu berjalan terlalu lambat. Rose menggeleng. Wajahnya terlihat kecewa. “Daisy. Itu bukan dia. Bagaimana ini? Pot bunga itu terlalu berat,” gumam Rose bimbang sambil memandang Daisy. Binar yang sesaat tadi hadir di mata Rose, meredup lalu sirna seolah-olah tidak pernah ada sebelumnya. “Dia tidak akan datang lagi.”
Daisy mengeong.
“Tadi saat kau tidur. Aku terjatuh. Rasanya sakit sekali.” Rose tiba-tiba mengadu pada Daisy yang masih menatapnya intens. “Seharusnya kau menemaniku, Daisy. Tadi sepi sekali. Kalau aku tidak sendirian, aku pasti tidak akan terjatuh,” Rose menggigit bibirnya. “Besok kau jangan tidur saja, ya?”
Daisy menjawab dengan mengeong beberapa kali. Rose menganggap Daisy menyetujui perkataannya. Rose mendekati Daisy dengan senyum yang terukir tanpa harus ia paksa. Daisy menyambut dengan mengeluskan kepalanya ke kaki Rose.
“Kita berdua pasti bisa melakukannya, Daisy.” Rose berjongkok, mengulurkan tangannya untuk balas mengelus kepala Daisy.
Daisy semakin merapatkan dirinya kepada Rose. Sementara itu, alunan denting piano yang berasal dari pelantang suara berbentuk piramida terus menghadirkan melodi lagu yang berbeda, mengusik sepi malam di Amid Street.
Medan, 21 September 2022
Freky Mudjiono, penulis yang sangat menyukai karya-karya Alm, Budi Darma dan sangat menikmati proses belajar untuk bisa menjadi seperti idolanya tersebut.
Komentar juri, Lutfi Rosidah:
Ide yang sederhana akan menjadi menarik jika disajikan dengan teknik yang bagus. Inilah yang telah dilakukan oleh Freky. Sepenggal kisah dari interaksi seorang gadis dan kucingnya bisa mewakili kegalauan tokoh utamanya.
Sepanjang cerita saya ikut merasa khawatir, resah, berharap, dan seandainya bisa, saya ingin masuk ke dalam cerita untuk sekadar ngobrol dengan Rose dan membagi kesepiannya.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)