Dadu Cangkir
Oleh: Rosna Deli
Suara mesin diesel meraung setelah salat Magrib. Asap hitam dari saluran pembuangan mesin itu membumbung tinggi seiring berputarnya komedi putar. Aku, Herman, Jojo, dan Nasir telah berada di tengah-tengah keramaian pasar malam.
Langit gelap berganti dengan lampu warna-warni tanda kemeriahan akan segera dimulai. Dentuman musik terdengar mengentak. Dadaku tersentak ketika berdiri di samping pengeras suara ukuran besar.
Kami berjalan mengelilingi lapangan. Menghitung ada berapa permainan dan saling melempar lelucon. Bukan tanpa sebab, diantara kami berempat tak ada satu pun yang membawa uang banyak untuk masuk ke wahana permainan.
Jojo bahkan tak membawa uang sepeser pun. Sementara uangku hanya cukup untuk membeli dua buah kerupuk opak besar yang di atasnya dilumuri kuah sate bercampur mi goreng.
Aku dan Jojo duduk di bangku panjang di pinggir lapangan sambil menikmati kerupuk opak. Lumuran kuah satenya begitu menggugah selera. Jojo bahkan meminta tambahan mi ke ibu penjual kerupuk itu.
“Anak sultan, mah, bebas, Zul,” kelakar Jojo ketika kupukul bahunya saat selesai meminta tambahan mi.
Kami berdua tertawa seraya membiarkan tetesan kuah sate itu di ujung bibir. Cepat kulap kotoran itu ketika melihat tiga orang anak perempuan tengah memandangi kami dengan senyuman ; Nila, Zakiyah, dan, Sari.
Sari bahkan menutup setengah mulutnya sambil menunjuk ke arah mukaku yang belepotan.
Aku belingsatan. Terlebih, anak perempuan berambut sebahu itu adalah idamanku. Senyumnya selalu hadir dikala malam. Sari adalah teman sekelas yang duduknya di depan bangkuku.
“Hai!” Jojo dengan santai melambaikan tangan ke arah mereka dan mengajak untuk duduk bersama.
Aku menepuk bahu Jojo, tak setuju dengan usulannya.
“Santai, Bro. Biar ada tambahan kerupuk gratis,” jawabnya dengan berbisik. Jojo juga sebenarnya tahu, kalau aku ada hati dengan Sari.
Aku menghela napas kasar. Mengutuk diriku sendiri, mengapa tadi tak ikut ajakan Herman dan Nasir saja, berkeliling pasar malam. Uff!
“Daaah!” Ketiga anak perempuan itu membalas ajakan Jojo dengan lambaian tangan dan berlalu dari hadapan.
Aku melihat hingga punggung mereka tak kelihatan. Ada kelegaan dan kekosongan yang secara bersamaan hadir. Sial!
“Enggak rejeki, Zul. Nanti kita cari lagi mereka, mana tahu lagi nongkrong di tempat Pak De Mul, jualan bakso bakar itu.” Jojo berseru lalu melanjutkan kunyahannya.
Makin malam suasana pasar malam semakin ramai. Pedagang dan pengunjung berbaur menjadi satu di lapangan. Lampu petromaks tak mampu untuk menjadi penerang wajah. Beruntung sinar purnama malam ini begitu sempurna sehingga mampu menerka nama di balik wajah.
“Ayo, Cik dan Puan, sila merapat. Yang jauh mendekat, yang dekat merapat. Tak usah ragu, tak usah bimbang.” Seorang lelaki berkumis tebal tengah duduk beralaskan terpal biru seraya berseru dengan pengeras suara.
“Oi! Mari mendekat! Usah ragu. Cukup uang lima ribu perak. Iseng-iseng berhadiah! Bukan sulap bukan sihir! Mari tebak dadu di dalam cangkir!” Berkoar-koar lelaki berambut gondrong itu sambil memainkan tiga buah cangkir yang ditelungkupkan. Suaranya mampu menarik beberapa orang untuk mendekat dan melihat.
Aku menyusup di antara kerumunan orang. Tubuh kecilku mampu dengan cepat berada di baris terdepan.
Permainan dadu cangkir menjadi permainan favorit di arena pasar malam. Dengan uang lima ribu perak lalu memilih cangkir mana yang menyimpan dadu, maka jika tebakan benar, uang taruhan dari semua pemain akan masuk ke kantong.
Aku melihat Herman dan Nasir sudah berada di barisan paling depan. Kedua anak lelaki itu berjongkok dengan pandangan tak lepas dari kelihaian bapak dadu cangkir.
“Sini, Zul!” Herman menarik tanganku untuk jongkok bersamanya beralaskan rumput yang basah.
“Permainan ini mudah saja. Lihat tangan bapak itu dengan benar. Maka, akan dengan mudah, kita tahu di mana letak dadu itu. Aku sudah lima kali menebak dan benar,” jelas Herman dengan gembira. Matanya berbinar disusul anggukan kepala.
Aku tak sepenuhnya mendengar. Riuh kata dari pengunjung yang lain bersatu di lingkaran kecil ini. Terlebih dari tempat aku berada, aku bisa melihat Sari tengah duduk menikmati bakso bakar bersama anak perempuan lainnya.
“Percuma saja, kita tak ada uang,” kilahku lalu mencoba berdiri. Dengan cepat Herman menahan tanganku agar kembali duduk.
“Tak perlu uang. Kita tinggal menebak, lalu tebakan kita, beri ke Pak Cik itu.” Herman menunjuk seorang pria dewasa yang mengenakan topi hitam. Ada kalung besi melingkar di lehernya. Sekilas aku lihat lelaki berkaos hitam ketat itu menyeringai ke arahku.
Benar saja. Herman tengah memberi kode melalui jari kepada Pak Cik itu. Dan, pria bertopi itu memberikan imbalan. Sepuluh ribu rupiah tunai. Tak kurang sedikit pun.
Mataku terbelalak kala Herman mengipas-ngipas kan uang ke arahku dari arah bawah. Luar biasa. Hanya dengan memberi jawaban, maka uang akan ada di tangan.
Aku memerhatikan dengan serius bapak dadu cangkir memindahkan cangkir demi cangkir. Butuh waktu lama untuk aku bisa menebak letak dadu.
Sekali, dua kali, tebakanku benar. Namun, seringkali salah. Kuedarkan pandangan ke arah orang yang berkerumun tetapi tak kutemukan lagi Pak Cik bertopi hitam tadi. Ah, sial!
Percuma saja aku memperhatikan bapak dadu itu. Bila tak ada yang mau memberiku uang.
Aku meluruskan pandangan, mencari kemana temanku yang lain berada.
Dari seberang, kulihat Jojo, Herman, dan Nasir tengah menikmati bakso bakar bersama ketiga anak perempuan tadi.
Dadaku sesak oleh rasa marah. Mengapa mereka membiarkanku sendiri di sini?
“Dasar teman tak punya peripertemanan,” gumamku seraya menatap tajam ke arah mereka.
Tepat saat aku hendak berdiri, sebuah tarikan memaksaku untuk mengikuti arah tangannya.
“Ooo, di sini kau rupanya, ya! Tak tahu jalan pulang, hah!”
Mataku melotot kala melihat emak sudah menarik paksa tangan kananku untuk keluar dari kerumunan. Tubuh kecilku dengan cepat meliuk di antara kerumunan orang.
“Tadi, izin sebentar. Ini sudah jam berapa, Zul!” Emak tak berhenti mengomel tanpa memperhatikan aku yang diseret bak kain pel basah.
Kulihat dari kejauhan Jojo terpingkal-pingkal tertawa.
“Mak … malu … maaf,” ucapku pelan sambil berusaha melepas gengaman tangan kasar emak.
“Tahu pun malu. Kau masih kecil, Zul. Umur baru empat belas tahun. Dah, nak melalak tak tahu pulang.” Emak semakin keras suaranya lalu tanpa memperhatikan sekeliling mencubit dua pipiku dengan jarinya.
Aku tertunduk tak berani untuk melihat kiri dan kanan. Rumput basah ini seolah menebarkan aroma dingin sehingga kakiku ingin cepat-cepat berlalu.
Lagu Gelang Sipaku Gelang mengudara dari pengeras suara berukuran besar. Lirik lagunya benar-benar menyuruh untuk segera berpisah. Sesuai dengan keinginanku saat ini. Terlebih ketika aku mengangkat kepala, kulihat dari arah berlawanan Sari melambaikan tangan seraya tersenyum.
“Kau tahu, dadu cangkir itu judi, Zul! Tak usah pula kau nak belajar cara mengetahui letak dadu itu. Paham!”
Aku tertunduk kembali seiring genggaman tangan Emak yang semakin kuat. Entah mengapa, rasanya malam ini jarak rumahku menjadi kian jauh.
“Tak sudi emak punya anak pandai berjudi. Sekali lagi emak nampak kau duduk dekat dadu cangkir tu ….”
Omelan emak tak berhenti sampai aku tiba di muka pintu rumah. Derit pintu terbuka bertanda emak akan berhenti berbicara.
“Cepat masuk! Ambil wudu langsung salat Isya. Paham!”
Aku mengangguk lemah, pikiranku bercampur antara dadu cangkir, senyum Sari, dan tawa Jojo.
Dumai, 16 Febuari 2022
**
Rosna Deli adalah penyuka kerupuk opak yang diberi mi dan kuah sate.
Editor: Lutfi Rosidah