Terbaik Ke-19 TL 20
Genre Folklore
Curi Batuah
Oleh: Whed
Lelaki juga menggosip. Mereka duduk di batang kayu yang teronggok di tepi jalan, termasuk Sarmin yang juga sedang sambil menggulung kertas setelah mengisinya dengan tembakau kering dan potongan cengkeh. Wajah lelah mereka sekusut kain serbet.
“Hancur sudah! Kayu habis ditebang. Uang pun habis.” Si juragan kayu mengeluh.
Yang lainnya diam, meratapi nasib masing-masing.
“Lama-lama aku bisa sinting seperti Mbah Ras,” lanjut si juragan.
Pikiran orang-orang itu pun semrawut memikirkan besok makan apa danutang-utang mereka. Ada lagi yang memikirkan akan mencuri ke rumah siapa lagi sebab kebanyakan warga dusun itu miskin.
Sebelum hujan badai melongsorkan tanah-tanah di Curi Batuah—bukit kecil yang berdiri sekitar satu kilometer dari Dusun Plasan—orang-orang memanjat ke puncak bukit itu untuk duduk di batu serupa tempurung kura-kura, tidak peduli risiko tergelincir, lalu menggelinding dan berakhir terkapar di sungai kecil yang berada di dasar bukit. Lain halnya dengan Sarmin, mantan napi yang pernah dijuluki si Pencabut Nyawa itu belum pernah merasakan duduk di Curi Batuah. Sekian lama Sarmin menjadi penyimak cerita-cerita tentang keajaiban batu itu.
Kabarnya, batu itu jelmaan kura-kura raksasa yang pernah mengabulkan keinginan seekor singa, raja hutan. Orang-orang percaya, siapa pun yang duduk di batu itu pada tengah hari, saat matahari tepat di atas ubun-ubun, keinginan orang itu akan terkabulkan. Namun, mereka hanya boleh meminta satu kali. Seandainya punya permohonan lagi, mereka meminta orang lain yang belum pernah duduk di batu di Curi Batuah.
Akan tetapi, tanah-tanah di Curi Batuah telah longsor, menumbangkan beberapa pohon dan melengserkan bebatuan yang biasa digunakan sebagai pijakan. Semakin sulit orang-orang mencapai puncak bukit yang tingginya hampir 800 meter itu.
Tepat di seberang bukit itu, berdiri jurang yang menghubungkan jalan utama dan Curi Batuah. Biasanya, dari jalan utama orang-orang akan menuruni jurang, lalu menyeberangi sungai kecil, sebelum mendaki puncak bukit.
Beberapa hari setelah longsornya tanah yang menjorok ke sungai, Curi Batuah kesepian. Akses menuju puncak sukar dilalui. Sisi bukit berdiri lurus sehingga orang yang hendak menaikinya harus merangkak dan mencengkeram tanah supaya tidak melorot.
Sebagian orang barangkali sudah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya sehingga tidak perlu lagi memohon kepada sebongkah batu. Beberapa lagi merasa tidak pernah ada puasnya. Dan ada yang pernah kecewa sebab keinginannya tidak kunjung terpenuhi.
“Itu karena niatmu jelek, Tong!”
“Ah, mana mungkin? Aku cuma minta Pardi dan istrinya bercerai.”
“Nyatanya aku dua kali minta, terkabul semua. Yang kedua aku suruh anakku yang duduk di batu. Tapi aku yang tetap mengantarnya.”
“Kalau dipikir-pikir, niatmu, kan, juga jelek, Lek. Masa minta pencerahan nomor togel.”
“Eh, jangan salah. Aku beli togel juga demi anak istri.”
Begitulah hidup orang-orang Plasan. Mereka seakan menyerahkan nasib kepada sebongkah batu.
***
Setelah bukit sulit dijamah, dengar-dengar ada yang ingin memindahkan sang batu. Sekitar selusin pemuda berusaha mendorong batu itu ke arah sungai. Apabila batu itu jatuh, orang tidak perlu lagi memanjat bukit. Meskipun mereka mengeluarkan tenaga sekuat-kuatnya untuk mendorong sang batu, tidak sedikit pun benda keras penuh lubang kecil itu bergerak.
“Batu keramat.” Sarmin menggumam. Ia membayangkan betapa gagahnya batu itu berdiri di pucuk bukit. Pantaslah batu itu diberi keistimewaan, pikir Sarmin.
Kadangkala Sarmin ingin sekali menemui batu itu, seperti halnya kebanyakan orang di Dusun Plasan. Ia akan memejamkan mata dan memikirkan keinginannya dengan khidmat. Sayangnya, setelah istrinya meninggal belasan tahun lalu, mantan napi itu sama sekali tidak lagi bermimpi. Untuk apa, katanya. Toh, hidupnya sebatang kara. Meminta istri baru pun rasanya tidak akan membahagiakannya. Maka, ia terus menjadi saksi bagi para peminta.
Sarmin hafal keinginan siapa saja yang terkabul dan bagaimana cara orang tersebut berjuang menanjak bukit. Pak Hamdan berhasil dipilih sebagai lurah lagi setelah berhasil duduk di Curi Batuah. Pak Hamdan harus melarang empat pemuda yang kebetulan akan memulai perjalanan ke puncak bukit dan memberi upah supaya mereka mau turun. Sesampainya di bawah, Pak Hamdan benar-benar memberi uang seratus ribu rupiah kepada masing-masing pemuda itu.
Sarmin juga ingat permohonan Badrun yang ngebet memperistri Tumini. Badrun adalah pemuda yang tidak disukai gadis-gadis sebab giginya tonggos. Namun siapa sangka, Tumini, gadis menik-menik itu, mengangguk saja saat Badrun menyatakan cintanya. Akan tetapi, satu bulan setelah pernikahan mereka, kakak Tumini memanjat bukit lalu duduk di Curi Batuah, menginginkan adiknya berpisah dengan Badrun. Sehari setelahnya, Tumini meninggalkan Badrun yang belum sempat menyentuhnya. Badrun pasrah, uang hasil menjual sawah telah ludes digondol Tumini, dan istrinya itu pun minggat entah ke mana.
Perceraian, maling, bahkan perampokan makin kerap terjadi setelah banyak orang yang mendatangi Curi Batuah. Suatu waktu, seorang lelaki dari kampung sebelah datang ke puncak Curi Batuah. Kabarnya, lelaki itu diperintah oleh seseorang dari Dusun Plasan. Beberapa hari selanjutnya, terjadi perampokan di salah satu rumah warga Dusun Plasan.
“Ambil semuanya!” teriak lelaki dari kampung sebelah itu.
“Itu akibat ulahmu yang tak bisa menepati janji. Kalau kau benar-benar memberi upah setimpal kepadaku, tak akan aku menyuruh anak buahku mengambil milikmu!” Lelaki dari kampung sebelah itu mengacungkan pisau.
***
Curi Batuah kembali didatangi orang-orang, bukan hanya warga Dusun Plasan. Bahkan, warga Plasan tidak lagi memiliki kesempatan ke sana. Orang-orang itu datang dan mendirikan tenda, menginap di atas bukit. Mereka merangkak naik ketika sore hari, membuat jalan serupa tangga dengan mencangkul tanahnya sedikit demi sedikit.
Hingga suatu hari, seorang wanita tua menemui Sarmin. Wanita itu mengetuk pintu rumah berdinding kayu kediaman Sarmin setelah magrib, saat langit telah menggelap sempurna dan orang-orang sudah masuk ke sarang masing-masing. Sarmin membukakan pintu lalu mempersilakan wanita itu masuk.
“Kau belum pernah mendaki Curi Batuah, ‘kan?” tanya wanita itu tanpa basa-basi setelah duduk.
“Memang kenapa, Mbah?”
“Aku ingin minta tolong, Min.”
Mbah Ras. Orang-orang memanggilnya Mbah Ras, wanita yang terkenal sinting karena suka bicara sendiri. Ketiga anaknya merantau dan tidak pernah pulang. Suaminya meninggal tertimpa batu di Curi Batuah.
Mbah Ras terlalu tua untuk pergi ke Curi Batuah, tentulah tidak akan kuat untuk memanjat dan memohon hajat, pikir Sarmin. Ia mulai mendengarkan Mbah Ras dengan lebih cermat, saat wanita tua itu bertutur, “Plasan dalam bahaya jika orang-orang dibiarkan terus mengerubungi Curi Batuah.”
Sarmin mengernyit. Ia tidak paham ucapan Mbah Ras. Selama ini, ia merasakan hidupnya di Plasan tenteram-tenteram saja. Orang-orang Plasan juga hidup sebagaimana biasanya: bangun di pagi hari, berangkat ke ladang atau sawah, mencari dedaunan untuk makanan ternak, dan pulang saat tengah hari. Terkadang, sore harinya mereka yang memiliki sapi mencari tambahan rumput. Di luar musim penghujan, wanita-wanita di Dusun Plasan disibukkan oleh kegiatan membuat keranjang pindang dari bambu. Selalu seperti itu. Dusun Plasan aman dan tenteram.
Mungkin yang dimaksud Mbah Ras adalah maling dan perampokan, pikir Sarmin. Namun menurutnya, itu merupakan hal lumrah, orang-orang bebas berbuat semau mereka, sebab dosa ditanggung masing-masing. Lalu, apa yang diresahkan Mbah Ras?
“Orang-orang mulai tersesat. Kemarin Bejo kesetanan gara-gara tak bisa menunaikan keinginan anaknya. Dia teriak-teriak, ‘Orang-orang kurang ajar itu mesti diberi pelajaran supaya tak semaunya sendiri menguasai Curi Batuah!’. Beberapa orang ngutang tetangga, tapi tak lekas dikembalikan. Orang-orang bermusuhan. Curi Batuah tak bisa diandalkan, Min. Ngeri!”
“Terus Mbah Ras mau minta tolong apa?”
“Begini, Min,” Mbah Ras mencondongkan badannya ke arah Sarmin. “Kau pergilah ke Curi Batuah. Dengar-dengar yang menginap di atas bukit tinggal tiga orang, yang lain sudah pulang. Tiga orang itu paling akan pergi dua hari lagi. Kau duduklah di batu sebelum salah satu dari mereka mendudukinya. Atau bila perlu ….”
“Bahaya, Mbah, bahaya!” cepat-cepat Sarmin memotong ucapan Mbah Ras.
“Kenapa Mbah Ras tak menyuruh orang lain saja? Aku tak mau ambil risiko dikebiri orang-orang yang katanya sangar itu. Tiga lawan satu, aku pasti langsung KO, Mbah!” lanjut Sarmin.
Mbah Ras diam. Bahunya melorot. Ia merasa kecewa. “Kau tau sendiri, Min, orang-orang menganggapku sinting. Mana mau mereka mendengarku?”
Sarmin bergeming, sedangkan pikirannya melanglang ke mana-mana. “Kenapa tak tunggu mereka pergi, Mbah?”
“Tak bisa, Min. Firasatku, akan semakin banyak yang datang ke sana.”
Sarmin tak berkutik.
“Kau punya cangkul, Min?”
Sarmin baru akan menjawab pertanyaan Mbah Ras, tetapi wanita tua itu sudah lebih dulu berdiri dan berbisik, “Bawa kain mori dan cangkul. Akan aku ambilkan kain mori di rumahku.”
Mbah Ras lalu pulang. Tidak lama kemudian, ia kembali dengan membawa tumpukan kain mori yang sudah dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam kantung keresek hitam. “Untuk tiga orang, sepertinya cukup.”
Susah payah Sarmin menelan ludah. Diterimanya kain mori dari Mbah Ras dengan tangan gemetaran.
Berangkatlah Sarmin saat dini hari, saat orang-orang masih terlelap. Ia memanggul cangkul sambil menenteng kantung keresek hitam itu dan juga mencangklong sebuah parang. Ia menempuh perjalanan sekitar satu kilometer, hanya ditemani oleh bayangannya yang tercipta dari sorot lampu jalanan. Belum satu pun kendaraan, yang biasanya membawa penumpang menuju pasar, melintas.
Sarmin tiba di dekat Curi Batuah sebelum subuh. Ia mengeluarkan senter, sebelum akhirnya menapaki jalan menanjak serupa undakan yang telah dicangkul oleh para pendaki bukit.
Dada Sarmin berdebar. Kening dan punggungnya berkeringat. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, Sarmin telah menginjak pucuk bukit. Dadanya kian berdentum-dentum.
Ia melangkah dengan gemetar, saat dalam jarak beberapa meter melihat dua tenda berdiri, tidak jauh dari batu berbentuk tempurung kura-kura itu.
Sarmin mematikan senter, lalu mulai menghitung sembari mencengkeram gagang parang dengan erat. Napasnya memburu. Matanya terpejam sesaat, menyusun langkah yang harus ia lakukan. Seperti dulu, pikir Sarmin. Ia hanya harus melakukannya seperti bertahun-tahun lalu. Seperti memotong ikan, ya, seperti memotong ikan.
Di balik semak-semak, Sarmin menunggu dan mencoba menajamkan penglihatan. Tidak lama kemudian, salah satu penghuni tenda keluar, lalu berjalan ke arah Sarmin sambil membuka resleting celana.
Sarmin siaga. Dalam hitungan ketiga, parangnya mendarat di leher lelaki itu. Darah mengucur.
Sisa dua lagi, pikir Sarmin.
Setelah menghabisi ketiga orang itu, Sarmin bergegas mencangkul, membuat lubang untuk mengubur mereka.
Napas Sarmin nyaris habis. Tubuhnya terlentang di rerumputan, matanya terpejam, dadanya naik turun. Ia mengumpulkan lagi energi yang sebelumnya terkuras.
Selanjutnya hanya tinggal menuntaskan semuanya. Ia mengelap parang dengan ujung kaus, lalu duduk di batu sakti itu, menunggu hingga tengah hari. Ia akan bersiap menodongkan parang jika sewaktu-waktu seseorang datang. Namun beruntung, tidak ada satu pun sosok orang lain yang datang, sebab orang-orang mungkin mengira hari ini masih giliran si tiga pemuda untuk menduduki batu keramat.
Sarmin duduk bersila. Matanya awas menatap sekitar. Tepat saat matahari berada di atas ubun-ubunnya, saat keringatnya mengucur membasahi wajah, Sarmin menunaikan permintaan Mbah Ras. Perempuan tua itu satu-satunya orang yang pernah menganggap Sarmin sebaik malaikat.
Maka, dituntaskanlah hajat Sarmin. Dengan lirih ia berucap, “Wahai batu keramat, aku ingin seluruh orang melupakan kemampuanmu.”
Batu itu berguncang-guncang, kemudian membelah dan menelan Sarmin. Darah merembes di lubang-lubang batu dan mengubah benda keras itu menjadi merah pekat, lalu menguarkan aroma besi.***
Sltg, 24 Maret 2023
Whed, nama pena dari seseorang yang berzodiak Aries.
Komentar Juri:
Pesan moral cerpen ini bagus, cukup jelas. Ini tentang ketamakan, dengki, dan sumber kekuatan yang berubah menjadi sumber kehancuran. Akan tetapi, ada sedikit cacat logika pada bagian akhir cerita. Mengapa Sarmin bersedia melakukan sesuatu yang sangat berisiko? Walaupun laki-laki itu pernah mendapat julukan si Pencabut Nyawa, tetapi orang-orang yang ia bunuh di dekat batu itu bukanlah musuh-musuhnya dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia. Tidak ada juga motivasi balas budi atau balas dendam, seperti yang biasanya dilakukan oleh seorang pembunuh.
—Ika Mulyani