Copet

Copet

Copet

Oleh: Ina Agustin

Hari ini adalah hari Senin. Seperti biasa, Adi berangkat kerja pukul tujuh pagi dan pulang pukul lima sore. Ia pergi dan pulang dengan angkutan umum. Maklum, gaji buruh pabrik sepertinya tidaklah seberapa. Terlebih sekarang adalah tanggal tua. Hanya ada selembar uang berwarna merah di dompetnya. Dan itu harus ia hemat untuk tujuh hari ke depan sampai waktunya gajian berikutnya datang. Riuh suara pengamen dan bau asap rokok para penumpang bercampur jadi satu. Walaupun Adi tidak merokok, namun ia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Untuk menyiasatinya, ia mungkin akan mengenakan masker saat di kendaraan umum. Ya, mau bagaimana lagi. Gaji yang ia peroleh belum cukup untuk mencicil sepeda motor. Setiap bulan selalu ia kirimkan untuk keperluan ibunya yang janda serta kedua adiknya yang masih butuh biaya sekolah. Sedangkan untuk dirinya sendiri hanya ia sisakan untuk makan dan ongkos kendaraan umum.

Saat ini Adi tengah berada di bus tiga perempat. Awalnya ia duduk di pojok belakang. Namun setelah ia melihat seorang ibu sepuh berdiri, ia merelakan tempat duduknya untuk ibu tersebut. Akhirnya Adi berdiri sembari memegang besi di atas kepalanya. Saat sopir mengerem mendadak, badannya terhuyung hampir terjatuh. Begitu seterusnya sampai seorang anak kecil turun tergesa-gesa setelah mengambil sesuatu dari sakunya. Awalnya Adi tidak menyadari, namun setelah ia meraba saku, ia meminta sopir agar memberhentikan bus.

“Copeeet!” teriak Adi sembari mengejar bocah ingusan itu. Larinya kencang sekali. Namun Adi tidak menyerah. Ia terus mengejar bocah kecil itu, lalu sampai di pertigaan, ia lihat dompetnya sudah tergeletak. Ia buka dompet berwarna hitam itu. Namun uangnya sudah raib. Yang tertinggal hanya KTP. Gegas ia melihat ke sekelilingnya sampai matanya tertuju pada sebuah gubuk kecil yang sudah tua dan reot.

Adi mengendap-endap agar tidak ketahuan, memastikan siapa orang di dalamnya. Ia mendengar suara anak kecil. Lalu ia mengintip dari balik celah-celah geribik bambu yang sudah usang itu. Ia lihat seorang ibu tua berbaring tak berdaya di atas sebuah dipan bambu. Suara batuknya yang keras sekali terasa menyakitkan. Terlihat wajah ibu itu menahan sakit. Kemudian disusul suara tangis bayi di sebelahnya, seperti sedang kelaparan. Tangisnya kencang sekali.

“Ibu, aku sudah dapat uang. Ibu tunggu sebentar, ya! Aku mau beli obat untuk Ibu dan susu untuk Adik Bayi.” Bocah itu menyusut air matanya.

“Ka-kamu dapat uang dari mana, Nak?” tanya sang ibu.

“Dari orang di mobil, Bu. Orangnya baik sekali. Sudah, Ibu tak perlu bahas lagi. Yang penting Ibu sembuh dan Adik Bayi tidak kehausan lagi. Nanti kita bisa kerja lagi nyari rongsokan.”

Adi bergeming lama sekali, sampai hampir tak menyadari bocah kecil itu pergi membeli obat dan susu untuk bayi yang masih merah itu. Adi bergegas bersembunyi agar tidak ketahuan. Lalu setelah bocah itu hilang dari pandangannya, ia memutuskan pulang ke indekosnya dengan berjalan kaki. Langkah lunglai menghiasi perjalanan pulangnya. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk sampai ke indekosnya. Ia berjalan di trotoar sambil memikirkan bagaimana nasib ia kedepannya. Bagaimana ia harus makan, minum, dan ongkos kendaraan umum. Ia berjalan gontai sembari merasakan perutnya yang keroncongan, hingga di tengah perjalanan, tak sengaja ia bertemu lagi dengan bocah ingusan itu. Bocah berbaju belel bertubuh kurus itu kaget saat berpapasan dengan Adi. Adi langsung memegangi tangan bocah itu kuat-kuat.

“Ampuuun. Ampuni saya. Sudah mencuri uangmu. Saya harus segera bawa pulang obat dan susu ini. Ibu dan adik saya sangat membutuhkan ini. Tolong kasihanilah ….” Bocah kecil itu mengiba dengan penuh takut dan harap, hingga membungkukkan tubuhnya di hadapan Adi.

“Nak, sudah berapa kali kamu mencuri?” tanya Adi.

“Baru kali ini, Pak. Dan saya terpaksa lakukan ini. Bapak boleh pukul saya nanti, tapi saya minta tolong, izinkan saya bawa pulang dulu susu dan obat ini. Tolong …. Saya janji akan kembali lagi ke sini menemui Bapak,” rengeknya penuh iba.

Adi menatap wajah polos bocah kecil itu. (*)

Ina Agustin, seorang perempuan biasa yang sedang belajar merangkai kata.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply