Cobek Bundo
Oleh: Syifa Aimbine
Fathia menyusupkan kedua tangannya ke dalam beras di dalam karung. Kata Bundo, rasa panas akibat menggiling cabai bisa hilang dengan cara begini. Fathia juga tidak tahu pasti berapa lama waktu yang dibutukan, karena sejak tadi rasa panas itu belum juga hilang. Hari ini ia telah berhasil menggiling dua kilogram cabai. Tak heran, kini tangannya panas serasa terbakar.
Kata Bundo, perempuan Minang harus bisa menggiling lado atau cabai. Sebab masakan Minang memang banyak yang bercita rasa pedas. Makanya, menggiling cabai adalah rutinitas harian buat para wanita di dalam rumah tangga.
Namun, tentu saja bukan sekadar menggiling cabai biasa. Berkilo-kilo cabai harus Bundo giling setiap hari di pasar, karena memang itulah mata pencahariannya sejak menjadi ibu tunggal. Ayah mereka pergi entah kemana. Omongan tetangga mengatakan, kalau ia sudah menikah lagi dengan seorang biduan orgen tunggal dan pergi ke seberang. Akan tetapi Bundo selalu bilang kalau Ayah mereka pergi bekerja, dan suatu saat akan kembali kepada mereka.
Untuk kebutuhan harian, Bundo mendapat bantuan dari Mamak–kakak lelaki dari Amak–yang memberi setiap bulan. Namun, tentu saja tidaklah cukup, mengingat Mamak hanya seorang pegawai negeri biasa dan juga memiliki keluarga. Sebab itulah, Bundo harus bekerja, berjualan bumbu di pasar setiap harinya.
Fathia sudah belajar menggiling sejak sekolah dasar, tapi baru hari ini ia ikut berjualan bersama Bundo. Karena sejak semalam Bundo kelihatan kurang sehat, Fathia tidak tega membiarkannya berjualan seorang diri.
“Angek[1] tanganmu, Fathia?” tanya Bundo yang kebetulan hendak ke kamar mandi di belakang.
Melihat anak gadis sulungnya jongkok di depan karung beras membuatnya iba, sekaligus geli. Ia tertawa pelan sambil geleng-geleng kepala.
“Hehehe, iya, Bundo.”
“Coba petik daun lidah buaya di depan sana. Getahnya lebih cepat mendinginkan,” saran Bundonya sambil berlalu.
“Iya, Bundo.”
Fathia lekas berlari ke halaman depan. Langit sudah kemerahan, sebentar lagi Magrib pun tiba. Fathia mematahkan lidah buaya yang subur di dalam pot batu di samping rumah. Bundonya memang suka menanam tanaman obat di pekarangan. Ada lidah buaya, kumis kucing, rimpang-rimpangan, dan banyak lagi lainnya.
Bundo benar, lidah buaya yang dingin membuat rasa panas di tangannya lekas hilang. Ia makin kagum dengan ibunya itu. Meski hanya tamat SMA, pengetahuannya kadang seperti para ahli. Bisa jadi ahli pengobatan, ahli aljabar, ahli pertukangan dan seringnya adalah ahli kuliner.
Saat terdengar azan Magrib berkumandang, Fathia pun masuk ke dalam rumah. Kedua adiknya sudah berangkat ke musala untuk belajar Iqra. Ia sendiri akan salat dan mengaji di rumah bersama bundonya.
***
Matahari seakan membakar seluruh isi bumi siang ini. Peluh menetes dari dahi para penumpang angkot berwarna hijau tua yang akan menuju pasar. Fathia duduk termenung di kursi paling ujung. Tatapannya kosong, keceriaan di wajah pelajar SMP itu sepertinya menguap di teriknya hari.
Bau pasar menyebar di udara. Seorang penumpang wanita berpakaian rapi menutup hidungnya. Bau seperti ini memang bisa memancing saraf muntah, seperti campuran kotoran ikan dan pepaya busuk yang terbuang bersama tumpukan sampah busuk lainnnya. Namun, gadis di ujung itu bergeming. Matanya memandang jauh ke arah jendela. Mata yang bulat itu masih bengkak kemerahan, bendungan air matanya seperti mengering hingga menyisakan telaga kering. Namun, dadanya masih sesak. Seluruh air telaga itu ternyata tidak dapat meredakan sesaknya.
“Pasar abis!” teriak sang supir dari tempatnya.
Para penumpang yang memiliki tujuan pasar bergantian turun. Fathia tetap diam. Sang supir yang heran, melongok dari tempatnya ke arah kursi penumpang.
“Diak![2] Pasar. Pasar abis!” tegurnya.
Gadis itu masih melamun. Sang supir menjadi geram. Ia harus buru-buru mengejar setoran yang belum terkumpul.
“Oi, Diak! Pasar!” panggilnya lagi.
Fathia tersentak. Ia kemudian lekas turun dan membayar ongkos kepada si supir yang merepet. Gadis itu segera meninggalkan angkot dan berjalan cepat menembus pasar. Air mata kembali merembes di pipi mulusnya. Ia berlari kecil ketika gerimis kecil mulai datang, satu per satu membasahi jalan yang kering kerontang.
Keruwetan pasar masih berlangsung meski hari sudah tinggi. Pelanggan masih datang satu per satu. Apalagi di kios bumbu milik bundonya, sudah dua orang yang mengantre untuk membeli bumbu rendang. Dua hari lagi puasa, tidak heran jika pesanan untuk bumbu rendang sudah mulai berdatangan.
“Apa kata mamakmu, Thia? Ada uangnya? Bundo jadi tidak enak hati pinjam uang di tengah bulan. Tapi mau bagaimana lagi, iuran SPP kau juga harus lunas supaya bisa ikut ujian.”
Fathia tidak menjawab, ia masih duduk melamun di bangku kayu. Dadanya makin sesak saat bundonya menyebut nama itu. Para pelanggan satu per satu meninggalkan kios. Bundo heran karena sejak tadi anak gadisnya itu hanya diam, tidak ceriwis seperti biasanya.
“Engkau kenapa, Fathia? Tak dapat rupanya? Sudahlah, tidak perlu sedih. Besok Bundo coba meminjam pada Etek[3] Des,” ujar Bundo.
Mendengar itu Fathia malah semakin terisak, lalu memeluk bundonya dari belakang. Ia pun menangis meraung hingga sesegukan.
“Eh, ada apa? Bilang sama Bundo, Nak.” Kali ini Bundo malah menjadi cemas.
Tangannya masih berlumuran cabai, tak mungkin ia memeluk anaknya itu.
“U-uangnya … hiks … ada, tapi … hiks. Mamak ….” Fathia kembali meraung.
Bundo kali ini membalikkan badannya, ia kini dua kali lebih cemas. Apa yang terjadi dengan kakak lelakinya itu?
“Mamak ….” Fathia mendekat ke telinga ibunya, lalu membisikkan kata yang melukainya, membuat lututnya lemas jika harus mengingatnya kembali.
“Apa? Kurang ajar!”
Bundo terkejut, seketika darahnya mendidih. Batu cobek yang ada di tangan kanannya ia hempaskan sekuat tenaga. Cobek berukuran jumbo itu retak seketika, rusak seiring rusaknya harga diri Fathia dan bundonya. (*)
Syifa Aimbine, seseorang yang membuat khayalan sebagai tempat rekreasinya.
Catatan:
[1] Angek: Panas
[2] Diak: Dik. Panggilan untuk gadis kecil di Minang
[3] Etek: Bibi. Panggilan untuk adik perempuan di Minang.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata