Cintaku Terlalu Dalam
Oleh: Arnosa
Hari ini, tepat satu tahun Meriam merasakan sakit. Tidak ada lagi yang namanya cinta dalam hidupnya. Hatinya sudah hancur lebur. Makhluk yang bernama laki-laki sudah hilang dari hidupnya dan dia tidak ingin mengenalnya.
“Mer, kamu tidak ingin menikah lagi?” Dona, sahabatnya, bertanya pada Meriam.
“Ish, kenapa pertanyaanmu seperti itu? Kamu tahu kan aku sudah kapok dengan makhluk itu. Mereka itu makhluk yang tidak punya tanggung jawab. Kejam.”
“Tapi, Mer, kamu gak kasihan sama Nona? Dia masih kecil. Tiga tahun. Dia juga merindukan sosok ayah di sisinya.”
“Kamu tidak tahu kejadian setahun lalu. Saat Nona masih usia dua tahun, Nona masih membutuhkan ayahnya. Tapi, mana tanggung jawab dia sebagai ayah? Dendamku masih membara. Tak bisa dibayar oleh apa pun. Kalau aku cerita yang sebenarnya kamu juga akan benci dengan makhluk itu.”
Embusan napas Meriam sangat berat. Dona menatap tajam wajah Meriam. Begitu besarkah dosa mantan suaminya dulu sampai Meriam tidak bisa melupakan kesalahannya hingga sekarang.
“Banyak alasan kenapa aku tidak mau menikah. Ini juga untuk masa depan Nona. Aku tidak mau Nona masuk ke lubang yang sama. Aku masih bisa membiayai hidup Nona, bahkan sampai dia kuliah sudah ada tabungan.”
“Apa kamu masih mencintai mantan suamimu itu?”
“Huft, aku sudah mengenal dia dari SMA. Kita sudah menjalin asmara sejak masih berseragam putih abu-abu. Orangtuaku sempat tidak setuju dengannya, tapi aku meyakinkan mereka. Karena aku tahu dia bertanggung jawab dan tidak neko-neko. Jujur, cintaku padanya terlalu dalam, sehingga sakit yang aku rasakan juga sangat dalam sampai tak bisa disembuhkan.”
Hujan di luar begitu deras. Kopi panas dengan asap mengepul meminta diminum oleh pemiliknya. Aroma khas parfum kafe. Suasana semakin mendukung dengan alunan suara indah penyanyi cantik di pojok kafe. Waiterss berlalu-lalang bagai nyamuk yang sedang mencari tangan-tangan halus dengan darahnya yang manis. Pengunjung asyik menikmati seruputan kopi panasnya. Meriam mencoba mengingat peristiwa menyakitkan itu.
“Dia ingin menikah lagi, Don.” Meriam mencoba membuka mulutnya yang kelu. Dona terkejut mendengar pernyataan sahabatnya.
“Maksudnya?”
“Ya, dia ingin menikah lagi. Poligami. Menduakan cintaku. Waktu itu ….” Meriam tidak bisa lagi melanjutkan ceritanya. Tangisnya meledak. Dona mencoba menenangkan Meriam.
“Sudah. Kamu gak usah cerita. Menangislah. Pundakku selalu setia untuk kepalamu.”
Diam. Hening. Dada Meriam tiba-tiba sesak. Bayangan Jona kembali hadir di kepalanya.
“Dik, bolehkah aku menikah lagi?”
Pertanyaan itu terus membayangi Meriam. Dan berulang kali melintas di pikirannya.
Jona, laki-laki berengsek yang sudah melukai hati Meriam. Jona yang ingin menikah lagi dengan wanita keturunan yang umurnya jauh di atas Jona dan Meriam.
“Mas, apa kurangnya aku? Aku sudah menjadi wanita yang kau mau. Kita sudah melalui banyak hal. Apa kamu mau mempertaruhkan perjuangan cinta kita?” Meriam berteriak tidak kuasa menjawab pertanyaan suaminya. Nona yang masih kecil tertidur pulas di kasur.
“Dik, maafkan aku. Aku tak bisa membohongi hatiku. Aku mencintainya sejak pertama kali melihatnya.”
“Ooohhh … Tuhan. Di mana akal sehatmu? Lihat anak kita. Kamu tega dengannya.”
“Dik, aku hanya izin menikah lagi. Bukan meminta cerai.”
“Waw. Hanya, katamu hanya!!! Aku cinta kamu, bahkan sangat mencintaimu.”
“Aku juga cinta kamu, Dik! Aku janji, aku tidak akan menelantarkan kamu ….”
“Cukup. Ikatan pernikahan tidak hanya tentang penelantaran, memberi nafkah, melainkan hubungan dua insan yang saling cinta. Untuk apa pernikahan tapi cinta terbagi. Kalau hanya urusan uang aku bisa memenuhi, tanpamu pun aku bisa.”
Jona hanya terduduk lesu. Kata-kata Meriam sangat menusuk hatinya.
“Aku keluar dulu.” Jona ingin menenangkan diri.
Meriam gelisah. Mengapa suaminya ingin menikah lagi. Guna-guna apa yang diberikan kepada suaminya. Masih dalam pikiran kalut, pintu depan terbuka, Jona mendekati Meriam.
“Dik, maafkan aku.”
“Aku penasaran, Mas. Apa yang membuat kamu begitu mencintai wanita itu? Dia wanita yang sudah berumur. Lima tahun lebih tua dari kita.”
“Sudahlah, Dik. Sekarang jangan bahas itu lagi.”
“Tidak!! Aku ingin tahu alasannya. Mas, aku minta kamu jujur padaku.”
“Tapi kamu harus janji, kamu tidak boleh marah.”
“Aku akan berusaha.”
“Dik, waktu aku tugas ke luar kota selama seminggu, wanita itu selalu hadir menemaniku. Dia selalu memberikan aku dukungan. Walaupun kamu setiap detik selalu telepon, kirim pesan, tapi dia yang selalu ada di sampingku. Dan ….” Jona berhenti.
“Dan apa, Mas??”
“Dan … aku khilaf, Dik. Kita berdua melakukan hubungan terlarang itu.”
Meriam tidak berdaya, tubuhnya seakan tak bertulang.
“Aku memaksa untuk menikahinya karena dia hamil, Dik.”
Meriam hanya bisa menangis mendengar penjelasan Jona. Suaminya yang dia kenal begitu setia mengapa bisa tergoda dengan perbuatan hina itu.
“Ya sudah, Mas. Itu sudah terjadi. Kamu boleh menikahinya, tapi ceraikan aku.”
“Dik, aku tak mau kita bercerai. Kasihan Nona.”
“Kalau kamu kasihan pada Nona, kamu tidak akan berbuat hina seperti itu.”
Meriam pergi ke kamar, mengemasi pakaiannya dan Nona. Meriam sudah tidak sanggup melihat Jona. Dia telah berkhianat. Kata maaf tak akan bisa menghapus pengkhianatan ini.
“Dik, kamu jangan pergi. Aku mohon!”
“Tidak, Mas. Sekarang, detik ini aku akan pulang ke rumah orangtuaku. Aku tak sanggup, pernikahan kita sudah ternoda. Biarkan aku merawat Nona sendiri.”
Jona bersimpuh di hadapan Meriam, meminta maaf. Tapi Meriam tetap bersikukuh untuk meninggalkan rumah. Meriam menggendong Nona kecil yang masih tertidur. Jona hanya bisa meratapi kesalahannya.
“Terima kasih untuk semuanya, Mas. Semoga rumah tanggamu dengan wanita itu langgeng.”
Kata terakhir Meriam semakin membuat Jona bersalah. Bisakah dia hidup tanpa Meriam? Tidak ada wanita yang dicintainya selain Meriam. Meriam.
***
“Mer,” Dona mencoba membuyarkan lamunan Meriam.
“Eh, Iya Don.” Meriam tersenyum simpul.
“Maaf, aku mengganggu lamunanmu.”
“Gak apa.”
“Apa kamu sering bertemu dengannya?”
“Ya, Don. Dan aku dengar dia sudah bercerai dengan wanita itu. Aku bahagia sekaligus sedih mendengarnya.”
“Apa Nona tidak pernah menanyakan Ayahnya?”
“Pernah. Kalau Nona bertanya aku jawab Ayahnya sudah meninggal. Jawaban itu lebih menenangkan hatiku, Don. Aku tidak ingin menengok ke belakang lagi. Sudah terlalu sakit.”
Dona tersenyum dan berkata, “Aku bangga padamu, Mer. Walaupun belum lama aku mengenalmu, tapi aku bangga dengan ketegaranmu.” (*)
Arina Novita Sari, yang punya nama kenangan Arnosa, lahir dari kota angin, Kota Nganjuk. Hobi makan yang berbau terong.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata