Cinta yang Seharusnya

Cinta yang Seharusnya

Cinta yang Seharusnya
Oleh : Respati

Menatapnya yang lemah tak berdaya membuatku teriris. Ada yang berdesir halus di dada kiriku. Belahan jiwaku lemah dan tersisih. Sementara aku hanya mampu diam tak banyak berbuat. Ini dilema. Dan di hari ini puncaknya, saat aku membawa Virma, istriku.

“Untuk apa kau urus dia lagi?”

“Dia sakit, Kak.”

“Belikan obat saja, paling juga sembuh. Dia hanya ingin mencari perhatianmu saja!”

Aku diam mematung beberapa saat, lalu ke kamar untuk memapah Virma keluar menuju mobil. Tak kuhiraukan wajah kesal Kak Norma, aku tetap membawa istriku berobat. Dengan ekor mataku kulihat warna merah menguasai wajahnya—Kak Norma.

Aku pergi membawa Virma. Wajah pucat dengan mata terpejam membuatku sedikit gusar. Dalam perjalanan berulangkali aku memanggilnya, “Vir … Vir ….”

Virma diam, tak merespons. Aku raba pipinya yang terasa panas. Langsung saja aku fokus pada kemudi, kaki kananku menekan gas lebih dalam dan membawa mobil kami melaju dengan kecepatan tinggi. Kepanikan dan rasa sesal beradu dalam batinku saat ini.

Sesampai di parkiran aku meminta petugas membawa brangkar dan memindahkan Virma dengan sangat cekatan. Aku genggam tangannya yang menghangat. Wajahnya pucat dengan matanya yang tertutup rapat. Panggilanku berkali-kali tak mampu membangunkannya.

Aku mulai panik saat Virma masuk ke ruang IGD. Kepalaku kupegangi dan mengacak-acak rambutku sendiri. Demikian gusarnya aku hingga aku menabrak seseorang di belakangku.

“Astagfirullah … maafkan saya, Pak.”

Aku terkejut karena hampir saja membuat tubuh renta itu terjatuh. Segera kupegang tangan keriputnya dan membawanya menepi.

“Sekali lagi maafkan saya, Pak. Bapak mau ke mana?” tanyaku.

“Mau ke apotek, Nak.”

“Siapa yang sakit?”

“Istri saya. Mari, bapak duluan.”

Aku menggangguk dan menyilakan Bapak itu berlalu. Punggungnya sudah mulai membungkuk dan jalannya sudah sangat pelan. Tangannya bergetar memegang kertas resep yang harus ditebusnya segera.

Terbesit tanya dalam hatiku. Seperti itukah aku kelak? Ketika kami sudah tua bersama? Berdampingan saat sakit maupun sehat?

Di kursi tunggu aku semakin risau dengan proses pemeriksaan Virma yang cukup lama menurutku.

“Keluarga Ibu Virma …,” panggil seorang perawat.

“Ya.” Aku bergegas menghampirinya. Perawat itu memintaku mengikutinya dan masuk ke sebuah ruangan. Ada seorang dokter yang menungguku di dalam.

“Selamat pagi, Pak. Bapak suami Ibu Virma?” Aku mengangguk.

“Begini, Pak. Panas istri Bapak sangat tinggi. 39 derajat. Karena kondisinya sangat lemah saya anjurkan untuk dirawat. Bagaimana, Pak?”

“Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok.”

“Baik, kami akan berusaha. Nanti ada perawat yang akan memandu Bapak dan menyiapkan kamar untuk Ibu. Ada yang ingin Bapak tanyakan lagi?”

“Tidak, Dok. Sementara cukup.”

“Terima kasih. Selamat pagi.”

Aku bergegas menemui Virma di IGD. Tubuhnya masih lemah. Ada cairan yang membasahi pipinya.

“Vir ….” Virma membuka perlahan matanya. Dia berusaha bangkit, tapi aku cegah.

“Kamu di sini saja. Dirawat.”

“Aku sakit apa, Bang?”

“Belum tahu, Dokter harus periksa lebih teliti.”

“Pulang saja, Bang,” rengeknya.

“Kamu harus sembuh.” Kugenggam erat tangannya yang masih terasa hangat.

Virma dipindah ke ruang perawatan. Di lantai dua kamar Melati nomor 205. Ketika keluar lift, aku bertemu bapak yang tadi di depan ruang IGD.

“Bapak … di ruang mana Ibu dirawat?” sapaku. Virma memandangku keheranan.

“201,” ucapnya lirih.

Aku mengangguk dan mengenalkan Virma. Virma membalas dengan senyuman yang dipaksakan.

Kursi roda yang digunakan Virma berhenti di depan kamar nomor 205. Perawat membuka pintu kamar dan mendorong kursi masuk ruangan.

Sementara aku masih menatap bapak itu. Dia terhuyung menapaki lantai rumah sakit berjalan dengan lambat. Tangan tua itu meraih gagang pintu dan masuk. Sosoknya kemudian hilang. Lalu aku masuk menemui istriku yang menyambutku dengan pertanyaan.

“Mas, bapak tua tadi siapa?”

“Tadi aku ketemu di depan IGD. Dia mau beli obat untuk istrinya.”

“Sendirian?”

“Sepertinya sendiri.”

“Kasihan ….”

Virma termenung. Matanya mengerjap seperti menahan cairan hangat dari pelupuk matanya. Aku bisa menebak gundahnya kali ini.

“Vir ….” Aku genggam tangannya sangat erat untuk mengusir rasa gelisah yang mencoba merayap di benaknya.

“Bang ….” Dia menoleh, memandang mataku yang mulai memerah.

“Apa kita nanti akan seperti mereka, Bang?”

Pertanyaannya sangat melukaiku. Mengiris dadaku. Aku kuatkan genggaman di tangannya. Menyakinkan bahwa Allah akan selalu menyatukan.

“Insya Allah. Kamu yang sabar, ya. Kita pindah ke Jawa setelah kamu benar-benar sembuh,” aku mengucapkannya dengan penuh keyakinan. Aku kecup keningnya.

Seharusnya, sudah lakukan sejak dulu. Saat awal aku menikahi Virma dan menjauhkan dari kakak perempuanku. Terkadang kebencian tidak selalu untuk dihadapi, kadang perlu juga dihindari, untuk menipiskan konflik saling menyakiti. Tekanan yang menghimpitku selama ini menjadikan aku berbeda. Sudah saatnya aku bebaskan tekanan itu.

@home, 13.05.2018

Susi Respati, penyuka cerita horor, namun sering ketakutan sesudahnya. FB: Susi Respati Setyorini.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata