Cinta yang Salah
Oleh: Dandelion Rindu
Aku menatap bayangan diri dalam cermin. Terlihat cantik dan seksi. Kuakui, untuk urusan penampilan, walau hanya seorang gadis desa, aku tak kalah menarik dengan gadis kota.
Hari ini, kuputuskan untuk memakai kaus berwarna hitam dengan bawahan rok motif batik selutut. Untuk riasan wajah, aku hanya memakai bedak tipis dan lipstik pink yang lembut.
Ini senin yang mendung. Sejak beberapa minggu yang lalu, laki-laki itu akan datang ke rumah setiap pukul 16:00.
Tok tok tok!
Terdengar pintu diketuk. Segera aku berlari ke arah sumber suara.
Sejenak aku berdiri untuk mengatur detak jantung yang tak beraturan. Mengambil dan menghembuskan napas secara perlahan. Nervous.
Kubuka pintu perlahan.
“Silakan masuk, A! Duduk.”
“Terima kasih, Mi. Makin hari kamu makin cantik, ya!” rayunya sambil melangkah masuk. Lalu duduk.
“Ah, Aak bisa aja.” Aku tersipu.
“Serius lho. Hmm, jadi gimana, hari ini Mia ada duit gak?”
Mata laki-laki itu berkedip genit menggodaku.
“Kayak kemaren-kemaren, A, Mia belum ada duit,” jawabku dengan nada yang manja.
Ia tersenyum. Lalu berpindah duduk tepat di sebelahku.
“Gak apa-apa, Mi, kalau belum punya duit. Hari ini Aak yang gantiin dulu.”
Ia berbisik di telinga. Embusan napasnya membuat bulu halus di leherku meremang.
“Makasih, AK. Eh, sebentar ya, aku ambilkan minum dulu.”
“Gak usah, Sayang. Di sini aja duduk temani Aak. Kita ngobrol. Aak udah kenyang minum terus dari tadi.”
Tangannya dengan gesit menahanku. Setelahnya, kami ngobrol membahas hal apa saja yang menarik.
Jajang nama laki-laki itu. Di desaku, ia disebut sebagai bank keliling. Orang yang suka meminjamkan uang dengan bunga yang sangat besar. Tidak, dia bukan pemilik uang langsung! Ia hanya anak buah yang bertugas menagih utang kepada si peminjam. Dan di sini, akulah si peminjam itu.
Walau aku mempunyai penampilan fisik yang bisa dibilang sempurna, tapi aku ini gadis miskin.
Bermula dari beberapa minggu yang lalu, saat ibu jatuh sakit. Aku tak punya uang untuk membawa beliau berobat. Karena sulitnya mencari pinjaman di kampung, terpaksa aku meminjam uang pada rentenir. Saat itu aku tak berpikir ke depannya akan membayar setiap tagihan dari mana, yang penting Ibu berobat dulu.
Namun sayang, walau Ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Beliau tak tertolong. Pembuluh darah di otaknya telah pecah. Ya, Ibu terkena stroke.
Kini, tinggal utangnya yang harus kulunasi. Penghasilan sebagai penjual kue keliling, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lulusan SD sepertiku sulit untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang layak.
Akhirnya dengan terpaksa aku melakukan perbuatan keji ini. Mengorbankan harga diriku demi menutupi utang senilai dua juta rupiah yang kupunya.
Ya, awalnya aku hanya terpaksa.
Namun, makin ke sini aku menikmati kebersamaan dengan pria yang telah beristri ini. Dia seorang pria tampan dengan sejuta pesona. Ia membuatku nyaman dengan celoteh dan rayuannya yang mampu membuat darah berdesir hebat. Aku mabuk kepayang setiap di dekatnya.
Entahlah, mungkin karena aku tak pernah mendapatkan perhatian dari sosok seorang ayah, jadi aku cepat nyaman dengan laki-laki ini. Ayahku sudah meninggal sejak aku masih kecil dan ibu tak pernah menikah lagi.
Sebelumnya aku memang belum pernah yang namanya benar-benar jatuh cinta. Usiaku masih muda. Baru 17 tahun. Dan Jajang adalah cinta pertama. Sayangnya, dia telah jadi milik orang lain.
***
“Ini buat kamu, Mi. Biar komunikasi kita lancar.” Jajang menyerahkan sebuah handphone.
Aku menerimanya dengan perasaan yang membuncah. Bahagia dan merasa di perhatikan. Tak masalah cintanya terbagi, yang penting kami masih bisa terus berkomunikasi.
Tanpa kabarnya aku merasa hampa. Seperti sudah ketergantungan, bertemu dengannya adalah sebuah keharusan. Bahkan, aku akan merajuk jika ia terlambat beberapa menit saja saat jadwalnya ke rumah telah tiba.
“Terima kasih, Sayang. Kamu baik banget deh.”
Kupeluk pinggang kekarnya dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan.
“Oke. Tapi inget, jangan sembarangan kirim pesan, ya! Jangan menghubungiku kalau aku gak memberi kabar duluan!”
“Ah, resiko punya pacar milik orang.”
Aku mengerucutkan bibir.
“Ish, cemberut aja cakep bener sih pacar Aak.”
Dia mencubit pipiku gemas. Aku balas menggelitiknya. Kami tertawa terbahak dalam ruang yang tak begitu luas ini.
Sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya pun terjadi. Dia … dia berhasil merayuku hingga berani mengorbankan kesucian. Untuk pembuktian cinta dia bilang. Dan aku percaya sepenuhnya padanya kalau dia memiliki perasaan yang sama.
“Aa, gak akan pernah ninggalin aku kan? Janji, ya!” sedikit terisak dalam peluknya, aku memohon.
“Tenang aja, Sayang. Hari ini Aak betul-betul bahagia karena kamu berani buktiin cinta pada Aak. Aak menghargainya dan gak akan pernah ninggalin kamu.”
“Bener, ya, A? Eh, tapi gimana dengan istri Aak nanti kalau suatu saat tahu tentang hubungan kita?” tanyaku serius.
“Tenang, Aak akan menceraikan dia.”
“Ah, jadi ngerasa gak enak sama istri Aak.”
“Gak apa-apa. Yang penting kita tetap bersama.”
“Iih, kamu manis banget siiih.”
Aku mencubit mesra pinggangnya. Dan saat itu aku merasa bagai seorang putri yang akan terus terlindungi pangerannya.
***
Sudah seminggu ini Jajang tak pernah menghubungi. Aku gelisah dibuatnya. Sudah sering kucoba menghubungi lewat telepon dan pesan singkat, tapi nomor handphonenya tak pernah aktif.
Ke mana kamu, A? Ada hal penting yang ingin kusampaikan, tapi mengapa menghilang? Lihatlah perutku! Di sini ada calon bayi. Saat kita bercinta sebulan yang lalu, kamu telah menanamkan benih dalam rahim ini. Sadarkah kamu tentang itu? Kamu ke mana, Sayang? Aku butuh saat ini,’ gumamku di sudut ruangan. Menatap testpack dengan dua garis merah di tengahnya. Pandanganku nanar.
Saat ini, aku merasa sedang terhianati. Di mana janjinya dulu yang katanya tidak akan pernah meninggalkanku? Bohong! Semua itu hanyalah kepalsuan.
Kini aku sadar. Dia hanya memanfaatkan kesusahan dan kepolosanku untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Dia mengiming-imingi sebuah benda, merayu dengan sedemikian rupa, agar aku korbankan segalanya.
Jahat kamu, Ak. Jahat! Aku benci kamu.
Sungguh, saat ini aku hampir putus asa. Tak tahu lagi untuk apa alasan tetap hidup. Terlebih ada janin yang tak pernah kuharapkan di rahim ini. Mau diapakan dia? Pekerjaan saja berpenghasilan tak jelas. Lalu, bagaimana nanti jika dia lahir? Ia akan hidup tanpa seorang ayah.
Seketika pikiran ingin mengakhiri hidup terlintas di kepala. Kuambil tali dari dapur. Membuat simpul hingga kepala bisa dimasukan kedalamnya. Lalu, menggantungkannya pada kayu di atas kamar yang tanpa atap.
Lama kupandangi tali itu. Keraguan menyergap. Apakah ini jalan terbaik untukku?
Tiba-tiba saja, wajah ibu terlintas di ingatan. Teringat bagaimana ia berjuang sendiri untuk membesarkanku. Sama. Ia pun tanpa seorang suami yang mendampingi. Tapi, buktinya ia bisa merawatku dengan penuh kasih sayang.
Tidak! Aku tidak harus melakukan ini. Aku harus bertahan demi bayiku.
Seketika aku menangis dan berteriak kencang. Melepaskan semua beban yang ada di hati.
“Allah, ampunilah dosa hamba-MU yang hina ini! Entah apa yang telah aku lakukan selama ini? Aku begitu buruk dan penuh dosa …”
Tak sanggup lagi rasanya untuk berkata-kata. Aku menyesal telah tergoda suami orang hingga akhirnya seperti ini. Aku ingin berubah.
***
“Shela … jalan aja, Sayang. Kalau lari nanti takut jatuh.”
Aku berteriak melihat putri kecilku berlari di taman. Aku sangat menyayanginya. Sungguh. Dia pelipur lara selama ini. Dia sumber kekuatan untuk tetap bertahan. Entah apa jadinya, jika dulu memutuskan untuk mengakhiri hidup. Pastinya, tak akan pernah ada kebahagiaan yang kurasakan seperti sekarang ini.
Sejak saat itu, Jajang tak pernah lagi menemuiku. Entah apa alasannya. Mungkin ketahuan sang istri atau mungkin dia memang hanya ingin memanfaatkan.
Biarlah! Aku pun saat ini sudah tak peduli lagi. Aku bahagia dengan kehidupanku saat ini. Dan tak pernah pula aku mengharapkan kehadirannya. Aku sudah move on.
Aku sibuk memerhatikan bocah berusia tiga tahun itu. Saat melambaikan tangan ke arahnya, aku melihat seorang lelaki yang tak asing lagi di dekat Shela.
“A Jajang?”
Aku tak percaya dengan apa yang ada di hadapan sekarang. Seorang pria yang dulu menghianatiku kini ada di depan mata.
“Mia? Betul kamu, Mia? Kamu berubah banget sekarang.”
Ia menghampiri dan melihat penampilanku yang memang sangat berubah drastis. Ya, aku yang sekarang telah memakai baju gamis dan hijab syar’i. Bukan lagi gadis yang dulu selalu berpakaian seksi. Aku telah mantab untuk terus memperbaiki diri.
“Ya, ini aku Mia.”
“Siapa dia, Mi? Kamu udah nikah?”
Jajang menunjuk gadis kecilku.
“Dia anak kamu, Ak.”
“Hah? Gak mungkin, Mi. Dia gak mungkin anakku.”
“Kenapa gak mungkin? Memang itu benar adanya. Dan aku belum pernah menikah sampai detik ini.”
Saat kami berbicara berdua di bangku taman, tiba-tiba ada seorang perempuan memanggil.
“Papa, lagi ngapain di situ? Ayok ah, cepet pulang!”
Dari kejauhan, perempuan cantik itu memanggil Jajang. Aku perkirakan dia adalah istrinya.
“Iya, Ma. Sebentar. Nyapa temen dulu nih. Nanti aku nyusul.”
Jajang menatap ke arahku.
“Denger, Mi. Aku harus bicarain ini sama kamu nanti. Istriku mandul, gak bisa hamil. Aku mohon nanti hubungi aku, ya!”
Dengan segera, ia memberikan sebuah kartu nama. Aku menerimanya dengan ragu. Setelah itu, ia kembali meninggalkanku.
Aku tertunduk lesu. Meremas kartu nama itu tanpa berniat melihatnya.
Tidak, Ak. Tak akan lagi aku menyentuh rumah tanggamu. Biarlah Shela kurawat sendiri. Aku masih mampu. Semoga kamu bahagia dengan istrimu.
Aku menyesal dulu mau saja kau bodohi. Dan sekarang aku ingin bahagia dengan caraku sendiri.
Maafkan aku! Tentang Shela, seiring berjalannya waktu, suatu saat aku akan memberi tahu ayahnya siapa. Saat ini, aku hanya ingin menikmati hidup dengan cara seperti ini. Aku berharap, ini bukan sebuah keputusan yang salah.
Terima kasih telah menghadirkan Shela untukku, Ak.(*)
Facebook : DandelionRindu
Email : sukmawatietins@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita