Cinta Utuh
Oleh: Triandira
Terbaik ke-9 Tantangan Lokit 7
Gerimis masih turun ketika aku memasuki halaman sebuah rumah berpagar tanaman yang tampak asri. Beberapa macam bunga hias seperti anggrek dan mawar beraneka warna juga tertanam subur di dekat teras. Tak jauh dari pintu yang terbuka lebar, seorang wanita berlesung pipi menyambut hangat kedatanganku. Seperti beberapa tahun silam saat kami pertama kali bertemu, sekarang pun ia masih terlihat cantik dengan balutan gamis yang menutupi tubuhnya. Jilbab merah mudanya yang menjuntai panjang juga menambah keanggunannya saat itu. Berbeda denganku yang lebih menyukai gaya casual. Celana panjang berbahan jeans dan sweater putih yang bagian lehernya terlipat ke luar, sengaja kupakai di cuaca dingin seperti ini.
Sambil menenteng tas hitam bermerek ternama, aku bergegas menghampiri wanita itu. Namanya Aisyah, sedangkan lelaki yang berjalan di belakangku adalah suaminya yang bernama Ilham. Ia ikut masuk ke dalam rumah setelah mengambil koperku yang diletakkannya di bagasi mobil ketika kami berkendara tadi.
“Syukurlah, akhirnya sampai juga. Mbak khawatir kalian terjebak macet di jalan, apalagi jam segini biasanya udah turun hujan,” ucapnya usai menjawab salamku.
Aku tersenyum. “Gimana kabar Mbak sekarang, udah baikan?” tanyaku yang tak kalah cemas dari kemarin lusa, saat mendengar kabar bahwa tiga bulan yang lalu ia jatuh sakit hingga harus menjalani operasi. “Maaf ya, Mbak. Aku baru tahu soal ini.”
“Nggak papa, yang penting sekarang kamu udah ada di sini.”
Kami melanjutkan obrolan di ruang tengah yang perabotannya didominasi warna cokelat. Saat itulah ia mulai bercerita perihal sakit yang dideritanya. Begitupun dengan masalah yang tengah ia hadapi bersama Ilham. Aku yang sudah mendengar beberapa hal dari mulut Mama hanya bisa terdiam, menatap wajah yang sedikit pucat dengan kantung mata yang sedikit tersamarkan oleh make-up.
Di sela-sela ceritanya, wanita yang hobi memasak itu sesekali tersenyum manis. Tapi aku tahu, jauh di lubuk hatinya ada luka mendalam yang sedang ia sembunyikan. Mungkin karena itulah, ketika aku mulai menimpali ucapannya, Aisyah tak bisa memendung lagi tangisnya.
“Mbak ….”
“Insyaallah, ini yang terbaik,” selanya menghentikan ucapanku.
Lagi-lagi aku terdiam ketika Aisyah beranjak bangun dari kursi, lalu mengusap cepat pipinya yang basah karena air mata. Rupanya tak jauh dari tempat kami berbincang, ada Ilham yang baru keluar dari kamar tamu.
“Kalau begitu aku pergi dulu. Oh ya, kopernya sudah kutaruh di dalam,” pamit lelaki itu. Kebetulan masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan.
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”
Aisyah mencium tangan suaminya, dan lelaki berjambang tipis itu pun bergegas pergi.
“Ya, udah. Kamu pasti lelah, kan? Kalau gitu istirahatlah.”
Aku mengangguk setelah menolak ajakannya untuk makan. Menempuh perjalanan selama tiga jam memang cukup melelahkan, dan satu-satunya hal yang kuinginkan saat ini adalah merebahkan tubuh di atas kasur.
***
Aku sedang menjemur handuk ketika Aisyah baru saja meletakkan keresek hitam berisi sayuran dan ikan segar ke atas meja, tak jauh dari tempat yang biasa ia gunakan untuk mencuci piring. Itu adalah bahan masakan yang dibelinya dari tukang sayur depan rumah.
“Biar aku aja, Mbak,” tawarku sambil meraih ikan mujair yang hendak ia cuci.
“Sekalian sayurnya, ya. Kalau udah taruh aja di situ.” Ia menunjuk dua wadah plastik yang cukup besar. Satu masih kosong, sedangkan satunya lagi sudah terisi air yang bercampur dengan bumbu halus. Bahan untuk merendam ikan sebelum digoreng.
Sementara aku sibuk menyelesaikan apa yang ia perintahkan, Aisyah bergegas menyiapkan minuman. Secangkir kopi untuk Ilham, dan dua cangkir teh aroma melati untuk kami sendiri.
“Jangan lupa minum tehnya selagi hangat,” pesannya saat aku menumis kangkung yang hampir matang.
“Iya, Mbak. Nanti pasti kuminum.”
Aisyah tersenyum, lantas membantuku mengicipi masakan itu. “Ngomong-ngomong, ini menu kesukaan Mas Ilham. Karena itulah Mbak sering memasaknya.”
Aku menggangguk pelan. “Gimana? Perlu kutambahkan sesuatu?”
“Nggak usah, ini udah enak.”
“Serius?”
“Iya. Mbak bahkan yakin, kelak suamimu bakal senang makan di rumah kalau istrinya pinter masak kayak gini.”
Entah mengapa, mendengarnya mengatakan hal itu hatiku justru merasa sedih. Terlebih saat perkataan Mama beberapa hari yang lalu kembali terngiang. Jika pada umumnya seseorang akan merasa bahagia dengan rencana pernikahannya, namun itu tidak berlaku bagiku. Bukan karena aku tidak ingin melepas masa lajang, tapi karena aku tahu bahwa hingga detik ini cinta masih menjadi sesuatu yang sulit untuk kudapatkan.
“Sarapan dulu, Mas,” ajak Aisyah yang dibalas anggukan kepala oleh suaminya. Lelaki itu duduk berhadapan denganku, dan di sebelah kanannya sang istri tengah mengambilkan sepiring nasi hangat. Melihat sikap mereka barusan, aku jadi ingin melakukan sesuatu. Apalagi keadaan saat itu cukup mendukung.
“Sepertinya penting,” ucapku tiba-tiba, kemudian menoleh ke arah benda yang terus berdering. “Mbak bisa angkat teleponnya, biar aku yang bantu Mas Ilham.”
Sontak mereka menoleh ke arahku, tapi aku tak peduli. Aku bahkan merebut begitu saja piring yang Aisyah pegang.
“Oke. A—aku angkat dulu teleponnya.”
Tak ada penolakan dari mulut Aisyah hingga akhirnya tinggal kami berdua di meja makan. Aku, dan lelaki yang sangat ia cintai.
“Apa maksudmu bersikap seperti itu?” tegas Ilham setengah berbisik.
“Memangnya kenapa? Nggak ada salahnya, kan? Anggap aja—”
“Di depannya?” sela lelaki itu sekali lagi. “Jangan gila kamu.”
Gila? Apa aku tidak salah dengar? Aku rasa Ilham lupa atau sebenarnya ia memang tidak ingin menghargai perasaanku. Ya, mungkin karena menjaga perasaan Aisyah jauh lebih penting baginya.
Keterlaluan. Di sini bukan hanya mereka saja yang dibuat pusing oleh permasalahan di antara kami, tapi juga aku.
“Ingat, Na. Apa pun yang kamu ketahui tentang aku dan Aisyah …,” Ilham menghentikan kalimatnya begitu sang istri kembali ke meja makan.
Suasana seketika menjadi canggung. Kami sama-sama terdiam dengan kepala yang tertunduk, sampai akhirnya wanita berpipi tirus itu mengawali perbincangan untuk mencairkan suasana. Namun, dari raut wajahnya yang tegang aku bisa melihat kekhawatiran yang Aisyah rasakan saat ini. Begitupun dengan lelaki yang duduk di sampingnya. Ilham menatap tajam mataku. Tak lama, hanya beberapa detik saja usai aku tersenyum kecil.
***
“Aku nggak suka Naya tinggal di rumah kita.”
“Kenapa?”
“Kenapa kamu bilang? Apa kamu nggak lihat gimana sikapnya tadi?”
“Naya hanya ingin membantu, itu aja.”
“Oh, ya?”
“Udahlah, Mas, nggak usah berlebihan. Apa kamu lupa dengan kesepakatan kita?”
“Cukup, Syah!”
“Lagi pula nggak lama lagi Naya akan menikah, jadi wajar bukan jika dia belajar menjadi istri yang baik?”
Samar-samar terdengar pertengkaran kecil antara Ilham dan Aisyah. Aku yang tadinya merasa haus langsung mengurungkan niat untuk mengambil minuman. Saat itu, aku lebih tertarik untuk mengetahui hal yang sedang mereka bicarakan.
Aku menggelengkan kepala setelah mendengar beberapa kalimat yang mereka lontarkan. Menyebalkan, rasanya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Tapi tidak, karena tak lama kemudian aku justru mendapatkan ide bagus. Bagaimanapun caranya, mereka tak boleh lagi mengabaikan perasaanku.
“Apa kamu nggak cemburu?” desak Ilham pada istrinya.
“Maksud kamu apa, Mas? Aku ini—”
“Mbak …! Mbak Aisyah …,” teriakku menghentikan perdebatan mereka.
“I—iya, Na. Bentar.”
Sesuai dugaanku, Aisyah keluar kamar dengan senyum yang tersungging di bibir. Wanita tersebut memang pintar menyembunyikan kesedihannya. Tapi sayang, itu tak mengurangi sedikit pun niatku untuk menjalankan rencana yang telah kupikirkan.
“Ada apa kamu nyari Mbak?”
“Ehm … gini, Mbak. Aku mau minta izin buat keluar sama Mas Ilham. Boleh?”
“Sekarang?”
“Iya. Ini penting banget jadi … boleh, kan?”
Aisyah bergeming. Ia hanya menatapku dengan wajah bingung.
“Aku janji cuma bentar. Gimana Mbak?”
“Ehm … gimana ya, Na. Mbak, sih, nggak masalah. Cuma ….”
“Aku nggak akan ke mana-mana. Kalau mau pergi aja sendiri,” sela Ilham menunjukkan kekesalannya.
“Ayolah, Mas. Aku janji nggak akan lama.”
“Cukup, Na! Kamu nggak denger apa yang kubilang tadi?”
“Mas ….” Aisyah memegang cepat lengan suaminya. Sepertinya ia khawatir jika Ilham sampai bersikap kasar terhadapku.
“Tuh, kan? Mbak Aisyah aja nggak keberatan, kok. Kalau gitu aku siap-siap dulu, ya.”
“Oke. Kalau gitu sekarang cepat kemasi barang-barangmu, lalu kita pergi dari sini. Aku akan mengantarmu pulang.” Langkahku terhenti ketika Ilham mengucapkan kalimat itu. Di saat yang sama dadaku terasa sesak.
Aku memutar badan. “Sebenarnya apa yang kalian inginkan?” tanyaku dengan isak yang tertahan.
“Na, dengerin Mbak. Mas Ilham nggak bermaksud seperti itu, jadi Mbak mohon jangan salah paham.”
“Setop, Syah!” bentak Ilham. “Udah seharusnya dia pergi dari sini.”
“Jika memang keberadaanku mengganggu, lalu untuk apa kalian menyeretku ke dalam permasalahan ini?” teriakku melampiaskan kekesalan.
Mereka berdua bertatapan, cukup terkejut dengan kalimat yang kuucapkan.
“Na ….”
“Cukup, Mbak! Selama ini aku udah menganggap kalian seperti saudara kandungku sendiri. Tapi apa? Kalian … kalian menganggapku tak lebih dari orang yang mudah dibohongi.”
Aisyah terisak. Jemarinya yang gemetar masih merangkul tubuhku. Sementara di depan kami, Ilham terpatung dengan mata berkaca-kaca.
“Aku keluar kota hanya untuk tiga hari, tapi kalian bersikap seolah aku sangat sulit ditemui.” Aku menghela napas. “Aku kemari karena ingin mendengar langsung kabar itu dari mulut kalian. Bukan untuk merebut Mas Ilham, Mbak.”
Tak kuasa menahan kesedihan, aku kembali menangis. Begitu pula dengan Aisyah. Kami berpelukan layaknya bocah yang sedang merajuk karena menginginkan sesuatu. Sesuatu yang nyatanya tak sejalan dengan impian beberapa orang: keluarga kami.
“Buat apa Mbak bersikap seolah semuanya baik-baik aja? Untuk membiasakan diri dengan kehadiranku di tengah-tengah kalian?” desakku meluapkan amarah. “Itukah yang Mbak pikirkan? Jawab, Mbak.”
“Mbak sakit, Na,” terang Aisyah. “Dan tiga bulan yang lalu, Mbak ….”
“Menjalani operasi pengangkatan rahim,” sahut Ilham kemudian. Suaranya serak seiring tangis yang tak bisa lagi ia sembunyikan. “Itu artinya kami nggak akan pernah memiliki seorang anak.”
“Jadi karena itu orangtua Mas meminta Mama untuk menikahkan kita? Dan kalian setuju tanpa memberitahuku terlebih dahulu?”
Seakan tak percaya dengan jawaban yang mereka berikan, aku terduduk lemas di atas sofa. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Namun terlepas dari itu semua, akhirnya aku bisa bernapas lega. Sekarang, rencana pernikahan tersebut urung dilaksanakan. Ah, tidak. Lebih tepatnya, kami bertekad untuk membatalkan perjodohan tersebut.
Bagi Aisyah, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi itu bukanlah hal yang perlu kucemaskan lagi, karena sudah ada Ilham yang telah berjanji untuk mencintai sang istri sehidup semati.
Lelaki itu memang pernah menyetujui keinginan Aisyah untuk menjadikanku istri keduanya. Hal yang telah dianggapnya sebagai sebuah kesalahan sebab apa pun alasannya, ketulusan cinta mereka patut diperjuangkan. Setidaknya itulah yang Ilham pahami saat ini, dan aku turut berbagia atas keputusan yang ia buat.
***
Sekitar jam 4 sore, taksi yang kupesan akhirnya datang. Ilham membantuku memasukkan koper ke dalam bagasi, lalu berdiri di samping istrinya.
“Kabari kami jika sudah sampai ya, Na.”
“Iya, Mbak. Terima kasih dan maaf sudah merepotkan kalian.”
Mereka menggeleng serempak. “Rumah kami akan selalu terbuka untukmu,” ucap Aisyah mengakhiri obrolan di antara kami.
Mobil melaju pelan usai aku melambaikan tangan ke arah mereka berdua, dan beberapa meter dari tempat Ilham berdiri, aku melihat bayangannya melalui kaca spion.
Ia merangkul Aisyah dengan mesra. Sedangkan wanita di masa lalunya, kini sedang meneteskan air mata.
“Kelak, semoga ada seseorang yang tulus mencintaimu. Sama seperti kamu mencintainya,” ucap Ilham kala kami masih duduk di bangku kuliah.
“Cinta? Saat kalian menikah, saat itulah aku sudah kehilangan cintaku, Mas.”(*)
Triandira, penyuka fiksi yang belakangan ini menyukai cerita bergenre romance dan fantasi.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata