Cinta untuk Chloe

Cinta untuk Chloe

Oleh: Dhanty Lesmana

Tangis Chloe terus saja terdengar. Bocah perempuan berambut pirang itu duduk memeluk lutut di depan teras rumahnya seraya menatap pintu pagar. Sesekali, dia menghentikan tangisnya, menoleh ke arah jalanan di sebelah kanan, lalu kembali menangis. Saat menyadari, apa yang dia tunggu, tidak kunjung datang.

“Ini hari ketiga, dan masih belum ada kabar.”

Charlotte–ibunya–mulai terlihat kesal dan putus asa. Pasalnya, sudah tiga hari pula Chloe–si anak semata wayangnya itu tidak mau makan.

“Bahkan hari ini, dia tidak mau beranjak dari tempatnya duduk. Terus saja menangis. Melupakan semua kebutuhannya. Bahkan untuk sekadar buang air kecil.” Perempuan cantik dengan rambut berwarna sama seperti Chloe itu menggeram marah.

Ini sudah hari ketiga, dan Armando, anjing kesayangan Chloe belum juga pulang. Padahal, pagi sebelumnya, hewan penurut itu sempat ikut Charlotte mengantar Chloe sekolah.

“Seperti firasat, pagi itu mereka berpelukan sangat lama. Bahkan gurunya yang sudah menunggu di pintu gerbang, sampai memanggil putriku untuk segera masuk.”

Mata perempuan cantik itu menerawang. Bulir-bulir bening bergelayut di kelopak matanya.

“Armando adalah hadiah terakhir dari ayahnya, sebelum ….” Perempuan itu tidak melanjutkan ucapannya.

Edward–ayahnya Chloe–memberikan Armando sebagai hadiah, di ulang tahun Chloe yang keempat. Namun, di hari yang sama, lelaki itu pergi dan tak pernah kembali.

“Apa Armando tidak akan pulang, seperti Daddy, Mommy?”

Di hari Armando menghilang, gadis mungil itu bertanya dengan wajah ketakutan. “Apa Armando ikut dengan ayahku ke surga?” tanyanya kembali sebelum tangisnya benar-benar pecah.

Saat itu, Charlotte hanya bisa diam seraya memeluk putrinya. Dia berjanji, akan berusaha mencari anjing itu.

Keesokan harinya, perempuan cantik itu benar-benar melaksanakan janjinya. Menghubungi tempat penampungan anjing, menyebar pamflet di jalan-jalan, juga mendatangi kantor polisi. Tak lupa meminta bantuan teman-temannya untuk ikut menyebarkan berita kehilangan melalui media sosial. Namun, sampai hari kelima pun, belum ada kabar baik yang mereka terima.

“Apa aku harus membelikan dia anjing yang baru?”

Di tengah keputusasaannya, Charlotte mulai mencari cara untuk membujuk Chloe. Sudah hari ketujuh, dan gadis kecil itu masih saja susah makan. Tubuhnya yang mungil, tampak semakin kurus. Keadaannya pun melemah dan mulai demam.

“Itu bukan ide yang bagus, Charlotte. Lihatlah putrimu. Dia tidak butuh anjing baru. Dia butuh Armando dan perawatan medis.” Daniel, pemilik toko makanan hewan langganannya yang mengunjungi mereka di hari kedelapan, mengingatkan perempuan bertubuh tinggi itu.

Chloe memang membutuhkan pertolongan. Sudah dua hari dia demam, dan masih belum turun juga walau sudah diberi obat penurun panas. Makanan yang masuk ke perutnya, tidaklah banyak. Dia terbaring lemah dengan mata yang berlinang. Sesekali mulutnya bergumam, memanggil Armando. Namun, sampai hari kesepuluh pun, anjing beagle kesayangannya itu, belum juga pulang.

Hari kesebelas, dan akhirnya Charlotte menyerah. Dengan wajah lelah dan terlihat panik, dia membawa gadis kecil itu ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Pagi itu, Chloe memuntahkan semua makanan yang sudah masuk ke perutnya. Wajahnya yang tirus terlihat semakin pucat dan tubuh kecilnya pun begitu lemah. Gadis kecil keras kepala itu, tak lagi mampu menolak ajakannya. Bahkan, saat seorang perawat di rumah sakit menusuk tangannya dengan jarum dan memasang selang infus, dia tetap diam. Padahal biasanya, dia berontak jika harus berurusan dengan jarum.

Di hari Charlote membawa Chloe ke rumah sakit, hari itu juga, sebuah kabar baik diterima perempuan pirang itu. Daniel melihat Armando di dekat tokonya, satu jam lalu!

“Tali di lehernya masih terpasang, jadi dia yakin sekali itu Armando.” Steve–tetangganya–yang membawa kabar baik itu, datang menjemputnya ke rumah sakit.

“Aku sempat mengejarnya, tapi dia lari ke gang itu, dan kembali menghilang.” Daniel, lelaki tampan bermata biru yang sering berkunjung ke rumahnya itu, menjelaskan dengan penuh semangat.

Berkali-kali Charlotte mengucapkan terima kasih. Sebuah harapan muncul. Armando masih hidup dan ada di sekitar mereka.

Dengan ditemani Daniel dan beberapa orang yang sempat dia hubungi saat baru tiba ke toko ini tadi, Charlotte pun bergegas mencari. Semua berteriak memanggil anjing beagle itu. Menyusuri gang tempatnya terakhir terlihat tadi, bahkan sampai ke jalan-jalan besar di sekitar pet shop milik Daniel. Namun, nihil. Anjing itu tidak terlihat di mana pun juga.

“Aku minta maaf. Andai tadi bisa langsung menghubungimu, mungkin anjing itu bisa segera ditemukan.”

Sesaat setelah menyadari kalau anjing yang melintas di depan tokonya itu, Armando, Daniel mencoba menghubungi nomor telepon rumah Charlotte. Namun, tak ada satu pun yang mengangkat panggilannya. Beruntung, di saat yang sama, Steve datang membeli makanan untuk kucingnya. Dari lelaki bertubuh tambun itulah, dia mendapat kabar kalau Charlotte berada di rumah sakit.

Dengan tubuh yang terlihat lunglai, Charlotte pun kembali  ke rumah sakit. “Aku harus memikirkan cara memberitahu putriku, Steve. Dia sudah sangat berharap, dan bersemangat bisa bertemu Armando hari ini,” ucapnya lirih sesaat mereka sampai di tempat parkir rumah sakit besar itu.

Steve yang masih duduk di belakang kemudi, hanya bisa menatapnya iba. Segera setelah Charlotte turun dari mobilnya, dia pun bergegas mengikuti perempuan cantik itu.

“Setidaknya, aku bisa membantumu memberi pengertian. Kau sudah berusaha keras, Char.”

Mendengar kata-kata itu, senyum getir  terukir di wajah cantik Charlotte. Dia menghela napas kuat-kuat sesaat sebelum memasuki kamar tempat putri semata wayangnya dirawat.

“Aku yakin, kau bisa, Char.”

Charlotte menoleh. Pelan dia mengangguk, lalu kembali menarik napas. “Doakan aku, Steve,” bisiknya seraya mulai memutar gagang pintu.

“Sayang, Mommy minta maaf. Tadi kami … Chloe?”

Charlotte tertegun menatap tempat tidur putrinya yang terlihat kosong. Dia pun bergegas ke kamar mandi. Lagi-lagi kosong. Dengan wajah yang terlihat panik, dia berlari ke nurse station di depan kamar Chloe.

“Tadi putri Anda tertidur, Nyonya. Saya meninggalkannya karena dia terlihat begitu nyenyak. Apa mungkin, dia terbangun dan menunggu Anda di lobi depan? Apa Anda sudah mencarinya ke sana?”

Charlotte pun bergegas. Ditelusurinya setiap sudut lobi rumah sakit, bahkan sampai ke halaman depan dan tempat parkir, tetapi Chloe tetap tak terlihat.

Semua perawat yang dia temui pun tak juga bisa memberi jawaban ke mana gadis kecil itu pergi. Bahkan, petugas keamanan di sana pun sama, hanya bisa berkata ‘maaf’, tanpa bisa berbuat banyak.

Si cantik Charlotte pun, jatuh tak sadarkan diri.

***

Di suatu pagi, udara terasa lebih hangat, matahari yang biasanya enggan menampakkan diri, hari itu dia bersinar terang. Armando berlari-lari dengan riang. Ekornya berkibas, dan suaranya menyalak keras, begitu ceria. Sesekali dia melompat, lalu berputar-putar. Sesekali pula dia berguling, kemudian berlari lagi, ke sana ke mari.

Tiga bulan lalu, anjing pintar itu bertemu lagi dengan gadis kecil kesayangannya, yang juga sangat menyayanginya. Gadis kecil berusia enam tahun yang tengah duduk sendiri di taman sebuah rumah sakit besar, dengan selang infus di tangan. Tak ada siapa pun yang menyadari keberadaannya di sana, kecuali Armando, dan Edward, tentu saja.

Masih terbayang dalam ingatan Edward, bagaimana binar indah hadir di pelupuk mata gadis kecilnya saat Armando mendekat. Lalu tawa pun pecah ketika akhirnya mereka berpelukan. Namun, sinar bahagia dan tawa itu menghilang,  berganti sorot mata ketakutan saat dia menyadari kehadirannya.

“Apa ini? Apa Armando sudah mati? Apa kalian sedang mengunjungiku dari surga? Atau … apa aku pun mati seperti kalian?”

Alih-alih bahagia bertemu kembali dengan gadis kecilnya, Edward malah menggeram kesal. Hebat sekali kekuatan racun yang ditebar Charlotte ke dalam pikiran Chloe. Sampai dia benar-benar meyakini jika ayahnya telah tiada. Sorot mata ketakutan yang Chloe perlihatkan saat melihatnya, membuat Edward sedikit kesulitan meyakinkan gadis kecil itu.

Berkali-kali Edward mencoba meraih putrinya, dan berkali-kali pula gadis kecil itu melangkah mundur dengan tubuh gemetar ketakutan. Namun, saat lelaki berwajah tampan itu mulai memeluk dan menciumi pipinya, barulah tangis Chloe pecah dalam pelukan eratnya.

Hari itu, kebahagian datang menerpa kehidupan Edward yang hampa. Tanpa menunggu lama, dia pun bergegas membawa gadis kecil itu pergi, sebelum ibunya kembali.

“Daddy!”

Sebuah suara membuyarkan lamunan Edward. Dengan cepat dia melambaikan tangan seraya tersenyum.

“Apa itu kapal kita?” Chloe berlari mendekatinya seraya menunjuk sebuah flybridge cruiser bertuliskan namanya, yang ditambatkan di dermaga.

“Ya, Sayang. Itu kapal kita. Kamu suka?”

Chloe berteriak riang. “Itu kapalku, Uncle Dan!” Dia melambaikan tangan ke arah lelaki tampan bertubuh kekar dengan kulit putih bersih dan rambut pirang, yang tengah berdiri di depan flybridge cruiser-nya.

“Selamat datang, Tuan Putri.” Lelaki itu menyambut kedatangan Chloe dengan senyum yang lebar. “Siap untuk berlayar?”

“Yup!”

“Bersama Armando?”

“Yeaayyy!”

Dengan sigap, gadis kecil itu menghambur ke pelukan lelaki tampan di depannya, lalu bergegas lari memasuki kapal bercat putih di hadapannya.

“Hei, hati-hati!” Edward berteriak, lalu tertawa saat melihat lambaian tangan Chloe.

“Sepertinya dia sangat bahagia.”

“Yup!” Edward menatap gadis kecilnya yang terus berteriak, lalu beralih menatap lelaki tampan di hadapannya. “Kita berangkat sekarang?”

Sesaat dia menarik napas lega.

Akhirnya, setelah dua tahun penantiannya, dia bisa memeluk putri kecilnya lagi, setiap hari, tanpa gangguan dari Charlotte, mantan istrinya.

Lalu bagaimana dengan Charlotte?

Ah, Charlotte yang malang ….

Sejauh apa pun dia membawa Chloe sembunyi, Edward akan selalu bisa menemukan mereka. Kota kecil yang sepi, dengan anjing beagle yang lucu, yang sudah sangat pasti, mengenali lelaki tampan itu sebagai tuan pertamanya.

Teramat sangat mudah untuk seorang Edward, membeli sebuah toko di simpang jalan yang hanya berjarak tiga ratus meter dari rumah persembunyian Charlotte. Lalu, dia meminta si seksi Daniel yang sudah bertransformasi menjadi lelaki tampan untuk membuka toko makanan hewan di sana.

Sempat, Daniel menolak perintahnya. Pemuda kurus, dekil, dengan rambut keriting, yang bersembunyi di balik baju badutnya, di pesta ulang tahun Chloe yang keempat itu, ketakutan Charlotte Akan mengenalinya. Namun ternyata, semua berjalan sesuai rencana.

Pemuda yang diusir paksa oleh Charlotte dari halaman belakang rumahnya saat itu, malah menjadi teman baiknya berkeluh kesah. Penampilan Daniel yang berubah, membuat Charlotte tidak menyadari, bahwa lelaki tampan sahabat baiknya itu, adalah pemuda dekil yang dicium mesra suaminya, di halaman belakang rumahnya, saat ulang tahun Chloe, tiga tahun lalu. (*)

Jamaras, 270301

Dhanty Lesmana. Bagi saya, yang hanya ibu rumah tangga, menulis itu seperti obat, yang menghilangkan rasa sakit. Seperti teman yang menghalau sepi. Juga seperti setangkup roti yang menghilangkan lapar di pagi hari.

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply