Cinta Tanpa Kata

Cinta Tanpa Kata

Cinta Tanpa Kata

Oleh: Estiti

Aku melangkah masuk ke kamar. Kuraih ponsel di atas meja sesaat setelah kudengar terdapat nada chat masuk. Ternyata, itu dari Andi.

[Besok aku jemput, ya?]

Aku membaca pesan itu sambil tersenyum.

[Boleh.] Kubalas pesan itu dengan singkat, dengan hati yang riang.

[Met malem … sampai jumpa besok.]

[Met malem juga.]

Setelah percakapan itu berakhir, kurebahkan tubuh ini di atas tempat tidur. Raga ini lelah, setelah seharian beraktivitas di sekolah. Besok ada acara makan bersama dengan teman-teman satu organisasi. Aku dan Andi, memang sering terlibat dalam kegiatan bersama di organisasi tersebut. Bukan hanya kami, ada beberapa teman lain yang juga aktif di organisasi ini. Kurang lebih ada 15 orang.

***

Matahari mulai condong ke barat. Jam menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh menit saat aku mendengar suara motor Andi parkir di depan rumahku. Aku pun melangkah keluar menemuinya.

“Ayo, berangkat,” ucapnya.

“Acaranya kan nanti, setengah tujuh malam. Kelamaan nunggunya,” jawabku.

“Ya udah, kalau gitu. Nanti, jam lima aku jemput lagi,” ucapnya sambil kemudian pergi melajukan motor bebek miliknya. Begitulah ia. Selalu sabar dan tak pernah marah.

Dan benar saja, tepat pukul lima, saat aku sedang bersiap-siap, suara motornya sudah terdengar di luar rumah. Andi menjemputku lagi dan kami pun berangkat bersama.

Sesampainya di sana, kami bertemu dengan beberapa teman. Terdengar obrolan santai dan sesekali tawa renyah kami pun pecah karena ada Roni, teman kami yang suka membuat lelucon di depan kami. Kami tidak hanya makan bersama, tapi kami juga membahas acara baksos yang akan kami adakan pekan depan. Saat sedang kumpul bersama, aku tahu kalau Andi sering memperhatikanku diam-diam. Kadang, aku pura-pura tidak tahu agar ia tak merasa malu.

Acara pun berakhir. Kami pulang ke rumah masing-masing. Aku pun pulang diantar Andi lagi. Andi sangat menyayangiku, aku tahu dan merasakan hal itu. Terlihat dari sinar matanya, ia selalu menatapku dengan penuh perhatian.

Aku juga sering menunggu pesannya di malam hari. Pasti, selalu saja ada pesan singkat darinya yang membuat senyum di bibirku mengembang. Entahlah, aku bahagia saat membaca pesan-pesan darinya.

Hari demi hari berlalu, aku dan Andi masih sering berkirim pesan. Kami tidak sering bertemu. Jika ada kegiatan bersama, barulah kami biasanya bertemu. Malam ini pun aku masih menunggu pesan darinya. Tak lama, ia pun mengirim pesan untukku, walau itu hanya ucapan selamat tidur.

***

Setelah beberapa waktu berlalu, Andi berpamitan akan ke Yogyakarta, karena kuliah S1-nya sudah dimulai. Ia pamit lewat pesan padaku.

Lama kemudian, suatu waktu, Andi tak kunjung mengirim pesan lagi. Mungkin, ia sibuk. Suasana rumahku saat malam sudah sepi. Apalagi, rumahku ini letaknya berada di paling ujung.

Tiba-tiba saja, aku mendengar suara ketukan pintu. Aku pun membukanya, dan kulihat Andi di sana. Ia tersenyum, menyodorkan setangkai mawar merah yang indah kepadaku. Aku tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Rupanya, ia baru pulang dari Yogyakarta.

Setelah itu, kupersilakan Andi untuk masuk. Kuletakkan bunga mawar di vas meja kamarku. Lalu, aku kembali lagi menemui Andi. Kami mengobrol dan aku memandanginya untuk beberapa saat. Aku bahagia, tapi juga gelisah. Entahlah, akan dibawa ke mana sebenarnya semua perasaan ini. Aku mengerti, Andi juga pasti mengerti. Tanpa kata “i love you” atau “aku mencintaimu”, masing-masing dari kami memahami bahwa kami sudah saling jatuh cinta sejak dulu.

Waktu terus terlalu, dan kami masih sama. Sering berkomunikasi, walau tanpa ikatan pasti. Kami menyadari, ada jurang pemisah yang sangat dalam, yang tak dapat kami tembus jika tak ada keajaiban dari-Nya. Sebenarnya, aku dan Andi berbeda keyakinan, makanya kami memilih tak membahas ini lebih jauh. Andi orang yang sangat baik, kepada siapa pun, terlebih kepadaku. Tak pernah kulihat ia marah sedikit pun. Ia sangat rajin dan suka membantu siapa pun yang membutuhkan. Wajahnya memang biasa saja, sedikit hitam manis, tapi hatinya luar biasa. Ini yang membuatku nyaman dengannya.

***

Aku berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliahku. Tiga minggu sudah, aku di Yogyakarta, kota yang indah penuh cerita. Banyak mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia belajar di sini. Memang, keunikan dan kenyamanan kota ini bisa memikat siapa saja.

Seperti biasa, setelah magrib, aku dan teman satu kos pergi keluar berjalan kaki bersama teman-teman lain untuk membeli makan malam. Lalu kami akan makan bersama sambil mengobrol dan bercanda sampai larut malam. Besok, kami akan ke kampus utama yang jaraknya lumayan jauh. Ada mata kuliah yang tempatnya dipindah ke sana. Akhirnya kami pun tidur agar tak kesiangan.

Aku mencoba memejamkan mata. Ada gelisah yang kurasa, sudah beberapa hari Andi tak menghubungiku. Aku memang jarang menghubunginya lebih dulu. Tiba-tiba, ponselku bunyi, ada pesan dari Andi.

[Besok, aku akan datang. Tunggu, ya ….]

Aku baca pesannya dan hatiku semakin gelisah, tak bisa tidur. Aku baru bisa tidur menjelang pagi.

Setelah bersiap-siap, aku keluar dari kos, untuk berangkat ke kampus utama. Aku terkejut, ternyata Andi sudah duduk di teras menungguku. Tak kusangka ia akan sampai sepagi ini. Andi tersenyum padaku. Jantungku berdegup kencang, tak seperti biasanya. Mungkin karena lama tak bersua. Ia lalu mengantarku ke kampus dan menungguku sampai selesai. Lalu, aku dan Andi menuju tempat yang nyaman untuk makan. Kami makan di tempat terbuka, di dekat gedung rektorat. Di sini ada lahan luas dengan pepohonan yang rindang. Di tempat ini pula, banyak pedagang dan kami pun memesan makanan di sana. Kami menunggu sambil menikmati sejuknya udara di bawah pohon.

Kami saling terdiam, rasanya lidah ini kelu untuk mulai berbicara.

“Mungkin, ini kebersamaan kita yang terakhir,” ucap Andi dengan lirih. Aku tak sanggup berkata-kata, hanya mataku yang berkaca-kaca. Hatiku sedih sangat seih. Aku pun tahu, ia juga sangat sedih. Tapi, kita harus mengakhirinya. Dua mangkuk bakso malang datang, tapi selera makanku sudah hilang. Aku hanya makan beberapa sendok saja dan menyudahinya.

Andi mengantarku ke tempat kos. Lalu ia pamit pulang. Aku hanya terdiam. Kulihat ia pergi dari hadapanku sampai tak tampak lagi dalam pandanganku. Hatiku sakit sekali. Aku berlari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Beberapa hari ini, pikiranku tak menentu. Aku masih mengingatnya. Banyak kenangan bersamanya. Kini, tak ada lagi pesan darinya. Malam terasa hampa.

Suatu malam, aku terbangun dan melaksanakan ibadah malam.  Aku mengadu kepada-Nya dan kupasrahkan semuanya. Aku menangis, tapi aku mengerti bahwa salah jika aku aku terus bersamanya. Aku berdoa, jika memang ia yang terbaik, maka berilah keajaiban. Setelahnya, hati ini pun sedikit lega dan tenang. Aku mulai beraktivitas seperti biasa. Mulai terbiasa tanpa pesan dan perhatian darinya.

Jadwal perkuliahanku di Yogyakarta sudah selesai. Aku pun akan pulang ke rumah. Aku pulang naik travel bersama sahabatku sejak kecil, Ari. Ia tahu semua tentang aku dan Andi, ia bahkan lebih mengenali aku daripada keluargaku sendiri.

Pukul tujuh malam, aku baru sampai rumah.  Aku membersihkan diri dan berisitirahat di kamar. Ponselku berbunyi dan ternyata Andi meneleponku. Aku bimbang, jantungku berdetak kencang. Kenapa ia harus meneleponku saat aku mulai terbiasa tanpa dirinya?

Kuberanikan diri mengangkat telponnya.

“Maukah kau mempelajari keyakinanku? Aku juga akan mempelajari keyakinanmu?” ucapnya.

Aku terdiam cukup lama. Aku tahu ia masih berat melepasku dan memiliki harapan untuk hidup bersamaku, tetapi aku sudah memutuskan aku hanya akan menikah dengan orang yang satu keyakinan denganku.

“Maafkan aku, aku tak bisa melakukannya. Jika kau mau, kau yang belajar keyakinanku, tapi  jika tidak, ya sudah, mungkin kita tidak ditakdirkan bersama,” jawabku.

“Baiklah mungkin kita tidak di takdirkan bersama.” Andi menutup teleponnya.

Aku menarik napas panjang. Sedih? Tidak lagi. Kini aku merasa lega. Aku sudah bisa menentukan langkahku menuju masa depan. Aku yakin dengan keputusanku. Cinta sesama manusia memang indah, tapi cinta-Nya jauh lebih indah. Ada yang lebih berharga dari sekadar hubungan, yaitu keyakinan. (*)

 

 

 

Namaku singkat, Estiti. Ada yang memanggilku Esti atau Titi. Aku lahir di Banjarnegara dan dibesarkan  di desa yang penuh kenangan, Merden, Kecamatan Purwanegara, Banjarnegara. Mendidik anak-anak di sekolah adalah tugas utamaku. Aku pecinta warna hijau. Tempat rindang dengan banyak pepohonan adalah tempat kesukaanku. Motto-ku: “Berbuat baiklah selagi ada kesempatan.”

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

 

Leave a Reply