Cinta Tanpa Kata

Cinta Tanpa Kata

Cinta Tanpa Kata
Oleh Rachmawati Ash

Riuh suara histeris anak-anak cewek terdengar sampai ke ruang redaksi majalah sekolah. Memang jarak lapangan basket dengan ruangan yang penuh tumpukan kertas itu tidak jauh. Rosalin melongok ke jendela yang terbuka, kepalanya menyembul keluar memastikan apa yang terjadi di bawah ruangannya. Dari lantai dua dia dapat melihat begitu ramai anak-anak berkumpul di lapangan basket. Daniel mengambil bola, memantul-mantulkannya ke lantai lapangan. Slumduk, disusul histeris anak-anak cewek dan sorak sorai gadis-gadis Cheerleader yang berpakaian seksi.

*
Rosalin menyusuri lorong gelap, berbelok menuju anak tangga dari kayu. Sekolah masih sepi, kelas-kelas juga masih tertutup pintunya. Rosalin berangkat sangat pagi, ada tugas dari guru Bahasa Indonesianya. Bu Cicilia memintanya mengganti materi majalah Dinding sekolah sebelum anak-anak lain datang di sekolah. Rosalin meletakkan tas ranselnya di lantai, mengeluarkan kertas warna-warni yang sudah disiapkannya dengan team Mading sejak kemarin. Tepat saat Rosalin turun dari kursi yang menopangnya, seorang cowok menabrak kursinya. Barang-barang yang dibawa cowok itu berhamburan, bola basket lepas dari tangannya, menyembul-nyembul menghantam lantai ke sana sini.

“Maaf, aku tidak melihatmu.” Cowok itu memungut buku-bukunya yang berserakan, susah payah dengan dua tas ransel di punggung dan lengan kirinya. Rosalin membantunya mengambil bola basket yang telah mendarat tenang di ujung koridor lantai dua.
“Boleh aku membantumu?” Rosalin menawarkan bantuan dengan tulus.
“Yups, aku kepayahan, teamku belum ada yang datang.” Daniel mengangkat kedua bahunya, membetulkan tas ransel yang melorot. Rosalin segera menyambut tas itu dengan hati-hati dan berjalan di samping Daniel.“Kamu kelas berapa? Jurusan apa?” Daniel bertanya kepada Rosalin tanpa memandang ke arahnya. Jalannya semakin cepat membuat Rosalin keteteran mengikutinya.

“Oh, namaku Rosalin, aku kelas dua Bahasa, teman-temanku memanggilku dengan sebutan Oca.” Rosalin terlihat ngos-ngosan menjawab pertanyaan dari cowok ganteng itu. Daniel menghentikan langkah, memandang Rosalin dengan mengeryit. “Aku tidak pernah melihatmu.” Rosalin tetap berjalan di samping Daniel, baginya tidak perlu menjelaskan apapun kepada cowok yang tinggi badannya hampir dua meter itu. Apa gunanya Rosalin menceritakan tentang dirinya, toh, cowok itu tidak akan peduli.

Hampir semua penduduk di SMA internasional ini tahu siapa Daniel Zenit, dia cowok yang tenar karena prestasinya sebagai kepala tim basket di sekolah. Tigginya lebih dari seratus tujuh puluh centi meter, rambutnya lurus berjuntai sampai ke dahi, hidungnya mancung dan matanya sipit. Setiap cewek di sekolah ini pasti ingin menjadi kekasih cowok bernomor punggung tujuh ini. Baru melewati koridor sekolah saja, membuat cewek-cewek berbisik-bisik menagguminya. Pembawaannya yang cool terkesan dingin kepada cewek-cewek yang mendekatinya, pantas kalau dia disebut badboy di sekolahnya.

Rosalin mengikuti Daniel sampai ke ruang ganti anak-anak basket. Pintu kaca buram di dorong oleh Daniel, mempersilakan Rosalin masuk lebih dulu. Rosalin meletakkan tas ransel, Daniel tampak sibuk dengan barang-barangnya. “Aku akan kembali ke kelasku, kutaruh tasmu di sini saja, ya?”. Rosalin memutar tubuhnya yang mungil mendekati pintu keluar ruang ganti. Daniel tidak menatapnya, “Oke, terimakasih Oca sudah membantuku.” Daniel melambaikan tangan tanpa melihat ke arah Rosalin.

Rosalin memutuskan kembali ke ruang redaksi majalah sekolah. Sambil menunggu teman-temannya datang Rosalin membuka-buka karya yang masuk ke redaksinya. Beberapa puisi dan pantun tertumpuk rapi menunggu sentuhannya untuk diperiksa isinya. Rosalin hendak meninggalkan ruangan, selembar kertas terjatuh dari tumpukan, tampak foto seorang cowok ganteng berdiri dengan sebuah piala besar ditangannya. Senyumnya begitu menawan, ada beberapa cowok lain di sisi kanan dan kirinya. “Bisa tersenyum juga ternyata cowok ini?” Rosalin bergumam sendiri mengagumi ketampanan cowok dalam kertas itu. Rosalin membaca sungguh-sungguh berita yang tertulis di kertas yang sama, Daniel, kapten basket tersenyum saat menerima piala penghargaan gubernur di Gor Jatidiri kemarin sore. Gadis-gadis histeris saat menyaksikan Daniel melakukan selebrasi di dalam Gor, sesuatu yang jarang dilihat oleh penggemarnya itu membuat para gadis berebut ingin berfoto dengannya . Rosalin meletakkan kertas itu di meja, mengangkat kedua bahunya sambil lalu.
*
Bulan depan akan diadakan acara peringatan Disnatalies sekolah. Semua ketua organisasi dan ekstrakurikuler diminta berkumpul di aula sekolah. Rosalin menemukan kembali Daniel di ruang yang sama dengan dirinya, kali ini Daniel duduk tepat di sampingnya. Karena datang terlambat mengikuti arahan pak Agus Waka Kesiswaan, Daniel berbisik kepada Rosalin untuk meminjam catatannya.
*
Ruang redaksi terasa panas siang ini, meskipun AC sudah dinyalakan diangka enam belas derajat celcius. Rosalin memutuskan membawa laptopnya keluar untuk mengedit karya teman-temannya sebelum dimuat di majalah sekolah. Rosalin melewati perpustakaan, beberapa anak-anak komunitas baca masih stay disana, tampak serius mengerjakan persiapan bulan depan. Mendekati studio musik Rosalin mempercepat langkahnya, dia tak ingin berpapasan dengan cowok-cowok yang tiba-tiba keluar dari ruang musik.

Taman belakang sekolah, di sinilah tempat paling disukai oleh Rosalin. Dia merasa nyaman, pohon-pohon Akasia, Trembesi dan Mahoni seperti teman baginya. Kicau burung koleksi anak-anak IPA seolah bernyanyi untuknya. Angin yang semilir selalu menyapanya bersama beraneka ragam bunga yang sengaja di datangkan dari berbagai daerah sebagai sumber belajar biologi Bu Diah.
Sebuah kursi besi berbentuk bunga matahari seperti telah menjadi milik pribadinya kini. Tempat ini menjadi tempat favoritnya selama ini. Dari tempat ini Rosalin mengerjakan tugasnya dengan tenang dan dapat melihat anak-anak basket berlatih setiap rabu dan sabtu sore.

Entah, Rosalin senang melihat anak-anak itu berlatih basket. Matanya berbinar-binar saat menatap cowok tinggi di lapangan itu, Daniel Zenit, rambutnya yang lurus hampir sebahu diikat kecil di belakang. Matanya yang sipit terlihat fokus menggiring bola yang memantul di lantai lapangan. Rosalin tidak dapat menahan diri untuk berteriak saat melihat Daniel melakukan Slumdunk.

Rosalin berjalan melewati ruang ganti anak-anak basket, langkahnya kecil dan hati-hati karena membawa laptop dan beberapa buku ditangannya. Pintu kaca buram terbuka, Daniel yang berkulit putih keluar dari sana. Rosalin sedikit terkejut, senyumnya terkembang saat berpapasan dengan Daniel, namun cowok ini tidak membalas senyumnya.

Karangan bunga, photoboots dan perlengkapan jurnalis serta majalah sekolah sudah selesai dipersiapkan. Tiba-tiba Mitha menanyakan catatan milik Rosalin, karena akan mengecek kembali apa saja yang kurang. Rosalin menggigit bibir, jangan sampai temannya tahu kalau catatannya masih dipinjam Daniel dan belum dikembalikannya.
“Oca, maaf, aku baru ingat buku catatanmu, ini aku kembalikan, terima kasih.” Sinar matahari pagi membentuk siluet tubuh jangkung Daniel. Berdiri diantara daun pintu kelas sebelas bahasa. Rosalin mengusap-usap matanya berusaha menangkap wajah Daniel yang terpapar sinar oren matahari pagi. Semua mata gadis di kelasnya menatap ke arah Daniel sambil melongo tidak peraya kedatangannya, berganti menatap heran kepada Rosalin. Daniel mengulurkan buku kepada Rosalin, untuk pertamakalinya Daniel mengembangkan senyum kepada gadis mungil itu.
*
Pesta Disnatalies sekolah dilaksanakan selama dua hari dua malam. Pagi untuk pentas seni dan malamnya untuk pagelaran musik akustik. Bazar beberapa makanan dan minuman memenuhi halaman sekolah tinggalan Belanda ratusan tahun itu. Rosalin melihat Daniel dikerumuni gadis-gadis yang ingin berfoto dengannya. Rosalin merasa cemburu, hatinya sakit dan tidak terima melihat banyak gadis sedekat itu dengan Daniel.
*
Rabu dan Sabtu sore menjadi waktu sakral bagi Rosalin. Dia akan mencari posisi ternyaman untuk menulis dan mencuri pandang pada cowok bernomor punggung tujuh itu. Dari taman belakang sekolah Rosalin dapat dengan leluasa melihat Daniel berlatih basket. Melihatnya berlari-lari memantulkan bola karet, rambutnya yang diikat bergerak mengikuti gerakan tubuhnya. Dahinya bercucuran keringat, ingin rasanya Rosalin menjadi kekasihnya, mengelap dahi dan tangannya yang basah oleh keringat. Rosalin mulai mengkhayalkan memiliki cowok paling keren di sekolahnya.

Hampir setahun Rosalin melakukan hal yang konyol. Mencuri pandang kepada orang yang tidak pernah menyadarinya. Hingga Rosalin meyadari bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Tetapi Rosalin tidak pernah menyesal, baginya mencintai seseorang dengan diam cukup membuatnya bahagia. Rosalin menganggap bahwa ini adalah pengalamannya sebagai cinta pertama.
*
Ujian sekolah sudah berlalu, semua sudah memiliki kesibukan sendiri-sendiri untuk mendaftarkan diri ke Universtas yang dicita-citakannya. Perpsiahan sekolah pun tiba, semua anak kelas dua belas dikumpulkan di aula. Duduk rapi sesuai dengan nomor kursinya masing-masing. Rosalin duduk terdiam diantara riuh teman-temannya yang berbahagia karena kelulusannya. Pandangan matanya kuyu, menyapu keseluruh ruang aula yang luas. Berharap menemukan Daniel dan mengungkapkan perasaannya, ya, meskipun dia tahu cintanya akan tetap berteepuk sebelah tangan.

Acara perpisahan telah selesai, Rosalin tidak menemukan Daniel di Aula maupun di sekolahnya. Rosalin berjalan gontai menuju taman belakang sekolah. Satu persatu air mata jatuh di pipinya, dadanya terasa sesak. Cinta tidak hanya butuh pengorbanan, tapi juga membutuhkan air mata, suaranya tercekik dalam hatinya yang pilu.

Pohon Akasia, Trembesi dan Mahoni seolah membisu, angin yang biasanya berderai lembut bermain bersama bunga-bunga sengaja ikut diam. Tangisnya tertahan dalam isak, tanpa suara. Rosalin mendekap kedua lututnya di atas kursi besi berbentuk bunga matahari.

“Tidak baik menangis sendirian tempat sepi seperti ini.” Suara Cowok mengejutkannya. Rosalin mengangkat kepalanya dengan enggan, air matanya berucucuran. Daniel berdiri di depannya, kemeja putih polos dengan dasi warna hitam membuatnya terlihat semakin tampan. Sebuah jas hitam tergantung di punggung kirinya,tangan kanannya masuk ke dalam kantong celananya. Rosalin gemetar menyadari Daniel telah berdiri tepat di hadapannya, wajahnya iba, namun Rosalin hanya bisa menangis.

 

Daniel duduk di kursi samping Rosalin, memandang ke arah lapangan basket. Kepalanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Rosalin salah tingkah, memperbaiki posisi duduknya. Daniel bangkit dari duduk, berjalan memutari taman belakang sekolah. Tersenyum manis kepada Rosalin, senyum untuk terakhir kalinya. Mungkin.

 

Dear Oca,
Hai kamu yang diam-diam memperhatikanku setiap rabu dan sabtu. Kamu fikir aku tidak tahu? Aku sering mendapatimu menulis di taman belakang sekolah. Persembunyian yang bagus, Ca, sama bagusnya seperti kamu menyembunyikan perasaanmu.
Maaf, aku membuatmu bersedih selama ini, sungguh aku tidak bermaksud sombong padamu, Ca. Aku hanya berusaha menjaga jarak, bukan karena aku tidak menyukaimu. Tapi karena sejak awal aku tahu kita berbeda. Tapi percayalah, perasaanku sama seperti perasaanmu, Ca. Aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu. Aku bersusah payah menolak perasaan itu, meskipun kadang-kadang gagal.

Ca, sekali lagi maafkan aku.
Aku menyukaimu, tetapi agama dan kepercayaan kita berbeda. Itulah yang kelak akan menjadi kendala kita jika hubungan tetap dilanjutkan. Cukuplah kita simpan cinta ini dalam hati kita masing-masing. Perayalah, Ca, kamu telah masuk ke dalam hatiku dan aku akan menyimpannya baik-baik. Begitupun sebaliknya, simpanlah aku dalam hatimu selamanya._I Love You_
Daniel Zenit
SintLouis, Semarang, Juli 2003

Rachmawati Ash, menyimpan banyak surat dan boneka dari teman-temannya sejak SD hingga SMA.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply