Cinta (Tak) Butuh Logika
Oleh : Rizka W. A.
Part 5: Syok
Bu Maryam menatap Pak Imran saat Bu Lita masih membisu. Dia menggenggam jemari suaminya, berusaha untuk tetap tenang.
“Apa Melisa tidak pernah menceritakan sesuatu kepada Ibu dan Bapak?” tanya Bu Lita dengan tenang. Tatapannya tajam seolah-olah membidik lawan bicaranya. Keduanya menggeleng, lalu saling pandang.
“Biasanya gadis remaja akan sangat dekat dengan ibunya.” Bu Lita menautkan tangannya sembari menunggu jawaban lawan bicaranya.
“Se-sering, Bu. Melisa sering curhat tentang teman-temannya, guru-gurunya, dan semua hal kecil yang dia alami.”
“Apakah Melisa pernah cerita ke Ibu, soal teman dekatnya? Hmmm … pacar misalnya?”
Bu Maryam mengangguk sembari melirik sang suami. “Pacarnya tinggal di Balikpapan,” ucapnya lirih.
“Masih sekolah kok pacaran, mau jadi apa?” celetuk Pak Imran.
Bu Lita menghela napas. “Apakah ada rahasia khusus yang telah Melisa ceritakan kepada Ibu?”
“Tidak. Selama ini dia hanya cerita seputar sekolah, tidak lebih. Kalau tentang pacarnya, jarang. Mungkin karena mereka juga jarang bertemu.”
“Boleh saya tahu, bagaimana mereka bisa kenal?”
“Melisa kenalan dengan Rais hampir lima bulan yang lalu, Bu, waktu dia magang di Balikpapan.”
“Baik. Apa Ibu kenal dekat dengan orangnya? Atau pernah ketemu, mungkin?”
“Dekat sih tidak, cuma sekadar tahu saja. Rais pernah ke rumah sekali. Katanya ada acara keluarga, jadi dia sekalian mampir ke rumah.”
“Jadi gini, Bu, Pak. Mungkin ini sangat sensitif, tolong maafkan saya jika dalam penyampaiannya kurang berkenan.”
“Dari tadi Ibu mutar-mutar aja. Memangnya ada apa?” tanya Pak Imran dengan nada ketus.
“Jadi gini … beberapa minggu terakhir, saya sering memergoki Melisa sedang muntah-muntah di toilet. Awalnya saya mengira itu cuma masuk angin, tetapi saya perhatikan, ritual muntahnya makin sering. Saya coba tanya ke beberapa murid yang juga teman sekelas dengannya. Mereka bilang, Melisa sering banget mengeluh pusing, mengantuk, dan tidak fokus di kelas. Puncaknya, minggu lalu, saya secara tidak sengaja melihat Melisa memakai korset.”
“Apa maksud Ibu?” tanya Pak Imran. Raut wajahnya berubah masam, tubuhnya bergerak maju, memperbaiki posisi duduknya.
“Begini, Pak ….” Ucapan Bu Lita terhenti, dia kembali memandangi orang di hadapannya. Berharap agar apa yang akan disampaikan tidak melukai hati orang tua Melisa.
Bu Maryam dan Pak Imran membisu. Detak jantungnya seakan ikut terhenti saat Bu Lita terdiam. Suasana jadi sangat hening. Hanya pandangan ketiganya yang saling menatap penuh tanya.
“Beberapa hari yang lalu, saya mencoba berbicara dengan Melisa dari hati ke hati. Menanyakan perihal perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Awalnya dia tidak mengakui, hingga akhirnya dia mulai menceritakan perihal kedekatannya dengan seorang pria dan berujung pada perbuatan khilaf.”
“Apa maksud Ibu?” Pak Imran beranjak dari duduknya.
Bu Maryam menarik tangan suaminya untuk kembali duduk. Dielusnya lembut lengan pria paruh baya itu, kemudian menyuruhnya untuk tidak emosi.
“Bu Lita, kami masih belum paham ke mana arah omongan Bu Lita. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anak kami? Kami berhak tahu apa yang dialami Melisa,” cecar Bu Maryam.
“Baiklah, kalau gitu. Saya langsung ke intinya saja. Tapi tolong, kendalikan emosi Bapak,” ucap Bu Lita. Pak Imran kembali duduk dengan dada yang masih naik-turun.
“Melisa telah melakukan hal yang melanggar norma,” ujar Bu Lita.
“Tidak mungkin, Bu. Anak saya tidak mungkin melakukan hal sehina itu. Saya kenal betul siapa Melisa. Dia tidak akan mengecewakan mama dan papanya,” ucap Bu Maryam.
“Tapi itu kebenarannya, Bu Maryam.”
“Apa maksud Ibu Lita?”
“Kemarin Melisa meminta saya membantunya untuk tes kehamilan, dan hasil tesnya menunjukkan bahwa Melisa sedang hamil,” ucap Bu Lita lirih.
Bu Maryam beranjak mendengar ucapan guru BK tersebut. Bagaikan petir yang menyambar di siang hari, wajahnya menjadi pucat pasi. Tangannya berpegangan pada sisi meja. Seluruh persendiannya lemas tak bertenaga. Dia menggeleng seakan-akan tidak percaya dengan berita yang baru saja didengarnya. Tangannya mengepal memukuli dada.
Pak Imran beranjak mendekap Bu Maryam. Berusaha menguatkan sang istri dengan mengusap punggungnya pelan. Wajahnya memerah, dengan gigi saling gemeletuk menahan amarah.
Serbuk sari dari bunga telah hilang, terisap oleh kumbang yang hinggap mencicipi. Orangtua mana yang tidak sakit hati mendengar anak gadisnya hamil di luar nikah? Terlebih lagi kalau itu adalah anak gadis satu-satunya. Putri yang selalu mereka jaga dengan sepenuh hati.
Orangtua Melisa pasrah. Impian-impian yang Melisa pernah ucapkan terlintas di benak keduanya. Namun, seketika hilang seiring kenyataan yang harus mereka terima. Entah bagaimana mereka menghadapi cibiran para tetangga nantinya.
Bu Lita yang tidak tega menyaksikan pemandangan di hadapannya ikut menitikkan air mata. Kalau boleh memilih, dia ingin menyimpan rahasia itu sendiri. Cukup dia dan muridnya yang tahu. Namun, sebagai seorang guru BK, dia juga bertanggung jawab atas kredibilitas sekolah.
Sesaat kemudian, seorang murid mengetuk pintu disertai salam. Sontak Bu Maryam dan Pak Imran menoleh. Merasa tidak asing dengan suara tersebut.
Melisa muncul setelah pintu perlahan terbuka. Dengan pandangan tertunduk, dia berjalan mendekati meja milik guru BK.
Pak Imran yang dari tadi menenangkan istrinya menghampiri Melisa dengan geram. Matanya nyalang menatap gadis itu. Satu tamparan keras mendarat di pipi sang putri.
“Dasar anak tidak tahu diri. Bikin malu keluarga,” ucap Pak Imran geram.
Melisa memegangi pipinya sembari menangis tersedu-sedu. Dia tidak berani menatap wajah papanya. Ingin rasanya memberi penjelasan, tetapi Melisa yakin, papanya tidak akan mendengarkan alasan apa pun.
Bu Lita menghampiri Melisa, mengusap lengannya untuk memberinya kekuatan. Meskipun muridnya bersalah, tetapi dia tidak ingin Melisa merasa dikucilkan. Setidaknya dengan sedikit dukungan, gadis itu tidak akan berbuat hal nekat.
Melisa menangis dalam pelukan gurunya. Dia benar-benar merasa bersalah karena telah menghukum kedua orangtuanya, menodai kepercayaan, dan mencoreng nama baik keluarga.
“Pulanglah, kita bicarakan semuanya di rumah,” ucap Bu Maryam lirih.
Wanita paruh baya itu memegangi kursi lalu beranjak. Karena masih syok dengan berita yang baru saja didengarnya, dia kembali terkulai. Sontak Melisa meraih lengan mamanya untuk berdiri. Namun, Bu Maryam langsung menepisnya.
“Tidak usah pedulikan Mama,” lirihnya.
“Tapi, Ma ….”
“Kalau kamu sayang sama Mama, kamu tidak mungkin melakukan hal serendah itu,” ucap Bu Maryam.
Pasangan suami istri tersebut berlalu tanpa pamit kepada Bu Lita. Pak Imran menuntun istrinya yang masih syok. Melisa hanya membungkuk ke arah gurunya yang dibalas dengan anggukan oleh sang guru.
Di luar ruangan, beberapa murid tengah berdiri untuk mencuri dengar. Melisa terperanjat saat semua menatapnya dengan pandangan penuh tanya. Sontak gadis itu tertunduk malu.
Seketika jantung Melisa berdetak cepat. Apakah teman-temannya mendengar sesuatu? Perasaan khawatir mulai menyelimuti. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika berita kehamilannya menyebar. Pasti dia akan menjadi topik perbincangan seantero sekolah.
Tak ingin menjadi sorotan, Melisa mempercepat langkahnya menuju parkiran. Avanza yang dikendarai oleh Pak Imran kemudian membawa mereka meninggalkan area sekolah.
Suasana sangat hening, tidak ada percakapan saat perjalanan pulang, padahal biasanya mereka selalu heboh dan saling bertukar cerita saat di mobil. Sesekali Melisa melirik sang papa dari kaca spion. Ada rasa penyesalan yang amat dalam ketika memandangi wajah tua itu. Ah, andai saja dia bisa menguasai diri saat itu. Andai saja dia bisa menolak keinginan Rais, mungkin sekarang dia tidak akan ada di posisi sulit seperti sekarang.
Melisa teringat sesuatu. Ya, dia belum mengabari Rais tentang kehamilannya. Apa yang harus dia katakan? Apakah pria itu akan bertanggung jawab dan menerima kondisinya? Atau mungkin …. Melisa menggeleng. Wajahnya berubah gusar. Seperti sedang memikirkan banyak hal.
Mobil yang mereka tumpangi kini memasuki halaman rumah bergaya minimalis. Kedua orangtua Melisa masuk rumah lebih dulu. Mereka langsung duduk di ruang keluarga, menanti putrinya untuk menjelaskan semuanya.
Detak jantung Melisa semakin tidak keruan saat memasuki rumah. Dia berharap, jarum jam berputar lebih lama dari biasanya agar bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi amarah dari orang tuanya. Keringat dingin seakan-akan membanjiri saat Melisa akan duduk. Perasaannya campur aduk, terlebih saat mendengar suara dehaman dari sang papa. Cukup lama hening. Akhirnya pria berkulit sawo matang itu membuka suara.
“Apakah kamu akan menjelaskan sesuatu kepada kami?” tanya papanya.
Melisa menggeleng. Rasa takut semakin menyelimuti. Meskipun orang yang duduk di hadapannya bukan jaksa penuntut umum, tapi dia seperti sedang dalam persidangan. Tatapan itu ….
Belum pernah sang papa menatapnya seperti itu. Mata yang tajam bak elang sedang mengintai mangsa. Melisa seakan-akan dikuliti. Baginya, ini lebih menegangkan dari ujian kelulusan.
“Siapa pria itu?” tanya sang papa.
Melisa terdiam.
“Jawab!” bentak papanya.
Keduanya terperanjat mendengar Pak Imran berteriak. Keringat kini memenuhi pelipis Melisa. Mulutnya seakan terkunci.
“Kamu masih tidak mau menjawab?” tambahnya.
“A-aku … a-ku minta maaf, Pa,” ucap Melisa terbata.
“Minta maaf? Jadi kamu tahu kamu salah, hah? Apa kamu tidak berpikir, bahwa perbuatanmu adalah kesalahan fatal?” Papanya mencibir.
Bu Maryam sangat terpukul. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia hanya bisa menangisi nasib anak gadisnya.
Melisa menghampiri ibunya. “Ma, tolong maafkan Melisa. Sungguh Melisa tidak tahu akan seperti ini jadinya.”
Benarkah anak gadisnya begitu polos sampai tidak paham akan hal itu? Ah, dia benar-benar telah gagal menjadi seorang ibu.
“Mama benar-benar kecewa sama kamu, Melisa. Berkali-kali Mama peringatkan, agar tahu batasan ketika bergaul dengan lawan jenis, tapi kamu sepertinya abai terhadap nasihat Mama.”
Melisa memeluk kaki mamanya yang duduk di sofa. Berkali-kali mengucapkan permohonan maaf, tetapi tetap saja wanita itu bergeming.
Melisa beringsut ke arah papanya.
“Aku benar-benar menyesal, Papa. Melisa janji tidak akan mengulanginya lagi,” ucapnya menangkupkan kedua tangan di depan sang papa.
“Buat apa? Penyesalanmu sekarang tidak ada gunanya. Semua tidak akan membalikkan keadaan. Kehormatan yang sudah hancur, tidak bisa kamu bangun dengan mudah.”
Papanya benar. Tidak ada lagi masa depan untuknya. Kehormatan keluarganya hancur karena ulahnya.
“Kau tahu, betapa hancurnya hati Papa dan Mama mendengar semuanya? Tangan ini … ya, tangan ini yang pertama kali menggendongmu, Nak.” Suara Pak Imran bergetar.
“Besar harapan Papa ingin melihatmu seperti anak-anak yang lain. Memakai toga. Membanggakan keluarga. Tapi kenapa, Nak? Apakah kasih sayang kami kurang, sehingga kamu mencari kesenangan di luar rumah?”
Melisa menggeleng sembari menangis tersedu-sedu. Bahunya berguncang hebat. Tuduhan sang papa seakan mengempaskannya dari ketinggian.
“Ya Tuhan … kenapa kau hukum kami dengan begitu berat?” Pak Imran terduduk. Tampak kesedihan yang amat dalam dari raut wajahnya.
Melisa memegangi tangan papanya, lalu bersimpuh. Meminta maaf lagi dan lagi. Untuk pertama kalinya dia melihat pria paruh baya itu menangis. Dia benar-benar sedih dan tak tahan melihatnya.
“Siapa laki-laki itu?” tanya papanya lirih.
“Di-dia … Kak Rais, Pa,” jawab Melisa.
“Dia teman sekolahmu?”
Melisa menggeleng.
“Lalu ….”
“Dia, karyawan di tempat Melisa magang.”
“Jadi pria yang bertamu waktu itu yang melakukannya?” potong sang mama.
“Baru pertama kali dia ke rumah, tapi kamu sudah berani melakukan itu?” Suara Bu Maryam meninggi.
“Ka-kami melakukan itu di kosan, Ma. Sa-saat aku mengabari, kalau aku tidak jadi pulang. Kami melakukan itu hanya sekali. Semua terjadi bgitu saja tanpa sadar,” ucap Melisa menjelaskan dengan sangat hati-hati.
Bu Maryam menyadari sesuatu. Ya, malam itu dia merasakan firasat yang tidak baik.
“Oh, Tuhan …,” ucapnya lirih.
Wanita paruh baya itu memegangi ujung sofa. Dia tiba-tiba sesak setelah mendengar pengakuan Melisa. Berkali-kali memukuli dada agar bisa meraup oksigen. Pak Imran dan Melisa bergegas menghampiri. Keduanya mulai panik saat Bu Maryam megap-megap.
“Mama!” teriak Melisa saat mamanya tidak sadarkan diri.
Bersambung ….
Balikpapan, 17 Juni 2021.
Rizka Wirdaningsih Abdi, muslimah pecinta senja. Panggil saja Mbak Conan.
Editor : Lily