Cinta (Tak) Butuh Logika
Oleh : Rizka W. A.
Part 3: Awal Malapetaka
Rais dan Melisa membisu. Larut dalam pikiran masing-masing. Apa yang baru saja terjadi membuat mereka syok. Untuk sesaat tatapan mereka bertemu, kemudian kembali saling melemparkan pandangan ke arah yang berbeda. Hanya terdengar deru hujan dan napas yang merembus pelan. Membuat keduanya menjadi sangat canggung.
Melisa meringkuk di samping nakas. Membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang memeluk lutut. Dia tidak mampu menahan getir dan air mata yang sudah sejak tadi memaksa keluar.
Sedangkan Rais, dia terlihat sangat frustrasi. Berkali-kali merutuki diri, mengusap rambutnya kasar, dan membenturkan kepala pada tangan yang mengepal. Seakan-akan menyesali semua perbuatannya beberapa jam yang lalu.
Dering telepon memecah kesunyian. Melisa beringsut mencari sumber suara. Cukup lama dia menatap layar ponsel. My Mom—nama yang tertera pada layar. Hingga deringnya berhenti, pandangannya masih tertuju pada benda tersebut.
Hampir saja benda tersebut terjatuh dari tangannya saat kembali berbunyi. Dengan tangan bergetar, Melisa mengusap layar yang bertanda hijau, kemudian mengucap salam. Bahunya bergetar hebat berusaha menyembunyikan kesedihannya. Dia menutup mulut, agar suara tangisnya tidak terdengar.
“Dari tadi Mama menunggu kabarmu, Nak. Kamu baik-baik saja, kan?” tanya mamanya.
Melisa menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Dia tidak ingin ibunya mencium sesuatu yang mencurigakan. Suara di seberang telepon kembali memanggil namanya.
“Mel … Melisa, kok diam aja? Mama khawatir. Perasaan Mama nggak enak banget. Kepikiran kamu terus dari tadi,” ujar mamanya.
Bahkan mamanya pun bisa merasakan firasat buruk itu. Apa yang telah mereka lakukan sungguh di luar kendali. Melisa telah mengkhianati kepercayaan sang mama.
“Enggak apa-apa, Ma. Aku nggak jadi pulang malam ini. Ketinggalan bus.”
“Suara kamu kok gitu, Nak? Kamu baik-baik aja, kan?” Mamanya kembali bertanya.
“Iya, Ma, aku baik-baik saja. Mungkin sinyalnya, Ma. Di sini hujan deras dari tadi sore, makanya telat ke terminal tadi,” ucap Melisa menjelaskan.
“Syukurlah kalau gitu. Ya sudah, kamu istirahat aja. Jangan tidur terlalu malam. Besok kabari Ibu kalau sudah berangkat,” titah mamanya.
“Baik, Ma,” tutup Melisa, kemudian mengucap salam.
Melisa menangis tersedu-sedu. Dia terus saja memukul kepalanya menggunakan ujung ponsel.
“Maafkan aku, Ma … maafkan aku.”
Rais tidak tahan melihat wanita di hadapannya tampak begitu menyedihkan. Dia pun berjalan menghampiri kekasihnya.
“Mel, tolong maafkan aku! Aku ….” Rais memegangi kedua lengan Melisa, tetapi ditepis oleh gadis itu.
Rais yang menerima perlakuan tersebut merasa sakit hati. Layaknya luka yang tersiram air garam, perih. Dia mencoba mendekap Melisa. Berusaha menenangkan wanita yang dia cintai.
Melisa menangis dalam dekapan Rais, merutuki diri tanpa henti. Hidupnya benar-benar sudah hancur sekarang. Kehormatan yang selama ini dia jaga telah terenggut. Gadis itu benar-benar kacau. Tangan kanannya mencengkeram baju Rais, sedangkan tangan yang lain memukuli dada bidangnya. Meluapkan segala kekesalan atas apa yang telah terjadi.
“Kak Rais tega sama aku. Kakak jahat. Aku benci sama Kak Rais,” ucapnya, terus memukuli dada pria itu.
Rais tidak melawan. Dia membiarkan Melisa hingga pukulan gadis itu melemah. Dia sadar akan kesalahannya. Melisa benar, dia laki-laki yang tak bermoral. Tega menodai seorang gadis, memanfaatkan situasi, dan menorehkan luka yang amat dalam pada kekasihnya. Padahal Rais selalu berjanji akan selalu melindunginya. Namun, dia sendiri yang menghancurkan masa depan Melisa.
Andai saja dia tidak terlena dengan situasi, dosa itu tidak mungkin terjadi. Seharusnya sejak awal dia menolak ajakan Melisa dan memilih pulang setelah memastikan gadis itu sampai di rumah kos dengan aman.
Ah, setan memang selalu pandai melontarkan rayuan yang memikat hati. Membisikkan kata-kata manis dengan iming-iming kenikmatan. Setelah itu, dengan bangga mentertawakan mangsanya yang berhasil jatuh dalam godaannya.
Rais benar-benar menyesali perbuatannya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu. Selama ini dia sangat menghormati wanita. Terlebih lagi ibunya telah ditinggal sendiri oleh sang ayah sejak dia masih kecil.
“Melisa, aku akan tanggung jawab. Aku janji bakal nikahin kamu. Tolong maafkan aku. Berhentilah menangis. Aku mohon!” bujuk Rais sambil mengeratkan pelukannya.
Gadis itu mendongak menatap Rais, seolah-olah memastikan apa yang baru saja didengarnya adalah sebuah kepastian. Bukan hanya janji dan rayuan gombal.
“Please, Sayang. Jangan menangis lagi. Aku enggak tahan liat kamu kayak gitu,” ucapnya mengusap air mata di pipi Melisa.
“A-aku ta-takut, Kak. Aku takut kalau …,” ucap Melisa terbata.
Rais meletakkan telunjuknya pada bibir Melisa. “Hussst, kamu nggak usah takut. Semua akan baik-baik saja. Aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Aku mencintaimu. Tolong percaya padaku!”
“Tapi, Kak … besok aku harus kembali ke Bontang,” ucapnya tertunduk lesu.
Rais meraih wajah Melisa. Menatapnya dengan lekat. Tampak kesungguhan pada binar matanya.
“Hei, sejak kapan jarak jadi alasan kita untuk bertemu? Balikpapan–Bontang cuma enam jam. Aku tidak harus menyeberang pulau untuk melihat wajahmu, kan?”
Melisa tersipu malu. Tangisnya mulai reda berganti senyuman. Matanya berbinar, seperti seseorang yang baru saja memiliki harapan baru.
“Janji?” ucapnya mengacungkan jari kelingking.
Rais melakukan hal serupa. “Janji, Sayang. Setelah kamu lulus, kita akan menikah. Enam bulan bukan waktu yang lama. Aku pasti akan menjemput bidadariku.”
“Tapi bidadari itu sekarang tanpa mahkota.”
“Aku yang mencuri mahkotanya. Tidak peduli apa pun itu, sekarang tidak ada yang bisa merebutnya lagi dariku.”
“Love you, Kak.”
“Love you too. Aku boleh minta sesuatu gak?” tanya Rais. Kening Melisa mengernyit.
“Tolong lupakan kejadian tadi. Aku tidak ingin kamu sedih lagi. Aku juga tidak ingin dosa itu terus menghantui kita.”
“Akan kucoba, Kak.”
“Terima kasih, Melisa. Tolong percaya padaku!”
Melisa mengusap air matanya. Pipinya merona karena senyuman. Wajahnya berangsur-angsur ceria. Seakan menemukan kembali semangat yang sebelumnya redup.
Cinta memang buta. Bukankah orang baik tidak akan membuatmu terjerumus dalam kubangan dosa? Jelas-jelas kehormatan itu telah dirusaknya, tapi mengapa kepercayaan selalu saja memberi kesempatan kedua. Benar-benar di luar nalar.
***
Malam itu Melisa bernapas lega. Untuk kesekian kalinya diberi kesempatan oleh Yang Mahakuasa bisa selamat dari maut. Dia mengusap pelan perutnya saat merasakan ada sesuatu yang bergerak.
“Auuuw,” jeritnya.
“Ada apa?” tanya Rais.
Melisa memegangi perutnya. “Dia bergerak.”
Rais serta-merta memegangi perut sang istri. Dia tertawa saat sebuah tendangan kecil dirasakan oleh tangannya. Diusapnya pelan saat perut itu kembali bergerak. Mereka berdua tersenyum bahagia.
Ah, meluluhkan hati wanita ternyata semudah itu. Meminta maaf, lalu memberi perhatian kecil, maka hatinya akan sangat bahagia. Penderitaan yang kamu torehkan bahkan bisa dia lupakan.
“Kak Rais enggak makan?” tanya Melisa.
“Aku akan makan setelah mandi. Sekarang kamu istirahat dulu. Kalau butuh sesuatu, bilang aja. Nanti aku yang ambilin.”
“Kak, bolehkah aku menelepon Ibu? Sejak tadi aku tidak melihatnya,” ujar Melisa dengan sangat hati-hati. Dia tidak ingin mengacaukan mood Rais.
Rais tersenyum. “Kamu enggak usah khawatir. Ibu baik-baik saja. Dia pasti sedang di rumah Tante Dewi.”
Melisa tersenyum. Dia kemudian menyuruh Rais untuk segera mandi. Melihat sikap Rais yang berubah total, Melisa sangat bahagia. Lirih dilantunkannya sebaris doa, berharap lelakinya akan terus memperlakukannya dengan sangat baik.
***
Melisa terbangun saat mendengar azan subuh mulai berkumandang. Dia tersenyum saat mendapati sang suami tertidur pulas sambil memegangi perutnya. Setelah melaksanakan salat dua rakaat, dia langsung ke dapur menyiapkan sarapan untuk sang suami.
Hari ini Melisa benar-benar bersemangat. Rasa mual yang sering dirasakan sirna. Padahal, biasanya bangun dari tempat tidur saja tidak bisa. Entahlah … mungkin Melisa terlalu bahagia dengan perubahan sikap Rais.
“Good morning, Sayang,” sapanya, mendaratkan kecupan pada pipi istrinya. Rais meletakkan kepala pada pundak Melisa. Memeluknya dari belakang.
Melisa tersipu saat merasakan embusan napas sang suami. Sepertinya Rais mencoba menggoda dengan menunjukkan sikap manjanya.
“Kalau Kakak kayak gini terus, makanannya enggak jadi-jadi.”
“Tapi aku suka menggodamu,” seloroh Rais.
“Biarkan aku menyelesaikan masakanku. Tinggal dikit, oke!” ucap Melisa tersipu.
“Bahkan jika istri memasak pun, dia harus rela meninggalkan pekerjaannya demi memenuhi panggilan sang suami,” goda Rais.
“Kak Rais ….” Melisa melotot. Pipinya memerah, seperti udang rebus.
Rais tersenyum puas. “Selesaikan masakanmu, Sayang. Aku mandi dulu,” ucapnya, mendaratkan kecupan di pipi sang istri lagi.
Dengan penuh semangat Melisa menyelesaikan masakannya. Setelah selesai, dia kembali ke kamar menyiapkan semua keperluan Rais.
Tiba-tiba, perutnya terasa nyeri. Melisa ingin memanggil Rais, tetapi terkalahkan dengan rasa sakit. Dadanya kesulitan untuk bernapas, keringat membanjiri pelipisnya. Dia memegangi sisi ranjang saat pandangannya mulai mengabur.
“Ka-kak Rais ….” Tubuh Melisa ambruk.
Bersambung ….
Balikpapan, 30 Mei 2021.
Rizka Wirdaningsih Abdi, muslimah pecinta senja. Panggil saja Mbak Conan.
Editor : Lily