Cinta (Tak) Butuh Logika (Part 1)

Cinta (Tak) Butuh Logika (Part 1)

Cinta (Tak) Butuh Logika
Oleh : Rizka W.A.

Part 1: Tanpa Rasa Iba

Bagi pasangan yang telah menikah, anak adalah anugerah. Kehadirannya selalu dinantikan karena mampu membawa kebahagiaan untuk ayah ibunya. Namun, berbeda dengan Melisa. Justru kehamilannya adalah awal dari malapetaka.

Sejak pagi, Melisa terus uring-uringan. Hormon kehamilan telah membuat mood-nya berubah-ubah. Hingga hari semakin siang, belum ada satu pun makanan yang masuk ke perutnya. Rujak yang dibelinya pada penjual keliling tadi pagi bahkan belum tersentuh, tetapi dia sudah berkali-kali keluar masuk toilet untuk memuntahkan isi perutnya.

Morning sickness. Kehamilannya sudah memasuki trimester kedua, tapi ritual mual muntah pagi hari belum juga mereda. Entah kapan fase itu akan berakhir.

Setelah membersihkan sisa muntahan pada wastafel, Melisa menatap bayangannya di cermin. Dia mengusap pelan dagunya yang lancip sembari memperhatikan setiap inci wajahnya dengan lekat.

Dulu, wajah itu selalu memancarkan senyum dan tawa. Tidak pernah sekali pun air mata menggenang di pelupuknya. Kepolosannya mampu memikat banyak pria di sekeliling. Namun, semuanya berbanding terbalik sekarang. Tak ada lagi tawa, hanya gurat kesedihan yang tampak, bahkan banyak bekas lebam di sana. Matanya kini berembun. Ada luka yang coba dia sembunyikan.

Melisa menghapus air mata dengan punggung tangannya. “Aku tidak boleh menyerah,” lirihnya.

Dengan langkah gontai, dia menuju dapur. Perutnya yang keroncongan meminta untuk diisi. Dibukanya tudung saji pada meja. Hanya tersisa beberapa potong kue.

Melisa mengernyit, sepertinya terjadi sesuatu yang tidak beres. Biasanya jam segini ibu mertuanya sudah sibuk di dapur. Dia mencomot sebiji kue, lalu menyisiri rumah, mencari keberadaan sang mertua.

“Bu … Ibu!” panggilnya. Melisa memeriksa ke kamar mertuanya. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Melisa kembali ke dapur. Sudah lama rasanya tidak memasak makanan kesukaan sang suami. Semenjak dia sering mengeluh sakit, ibu mertua yang selalu melakukan pekerjaan tersebut.

Meskipun kondisinya sedang tidak fit, tetapi Melisa sangat antusias untuk memberikan kejutan kepada orang rumah. Ada senyum semringah yang terlukis pada wajahnya saat berhasil menyelesaikan masakannya.

Diperiksanya kembali hidangan yang tersaji. Memastikan tak ada satu pun yang kurang. Dia tidak ingin suaminya marah lagi karena hal sepele.

“Semoga Kak Rais suka,” ucapnya lirih sembari mengusap peluh pada kening.

Wanita berwajah oval tersebut mengambil rujak cingur di dalam kulkas. Kudapan itu dia beli pada pedagang keliling tadi pagi. Dicicipi sedikit, memastikan kalau rasanya masih enak, kemudian beranjak ke kamar. Dia ingin beristirahat sambil menikmati kudapan tersebut sebelum suaminya pulang.

Baru saja menyelesaikan suapan terakhir, tetapi rasa mual langsung menyerang. Melisa berlari ke toilet. Makanan yang baru saja tandas, kembali dimuntahkannya. Dia memijat tengkuknya, berharap rasa mualnya mereda.

Sudah menjadi ritual acap kali Melisa selesai makan, seketika itu pula makanan yang masuk langsung dimuntahkan. Dia sendiri heran, padahal kehamilannya sudah memasuki trimester kedua.

Wanita itu beralih ke ranjang. Bersandar pada bantal. Melisa menyapukan minyak kayu putih pada tengkuk, leher, dan hidungnya. Satu-satunya cara yang sering dilakukan agar merasa jauh lebih baik.

Nyeri pada kakinya kembali Melisa rasakan. Disingkapnya daster bermotif bunga lili tersebut hingga ke lutut. Luka pada tulang betisnya masih membiru akibat tendangan dari sang suami beberapa hari yang lalu.

Embun yang sedari tadi tertahan di pelupuk luruh sudah. Melisa merasakan perih yang amat dalam. Dia menangis tersedu-sedu. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak bahwa pria yang dicintainya tega berbuat demikian.

Pandangannya kini kosong, menatap ke arah luar. Seakan-akan menangisi takdir yang digariskan Tuhan untuknya.

Suara motor yang baru saja memasuki garasi membuyarkan lamunannya. Melisa menghapus air matanya. Dia tidak ingin Rais mengetahui kalau dirinya baru saja menangis. Hal itu akan membuat sang suami semakin marah. Sudah cukup lelah rasanya jika harus menerima pukulan hanya karena masalah sepele.

Diliriknya kembali pantulan dirinya di cermin sebelum menyapa sang suami. Merapikan rambut dan menyapukan bedak tipis-tipis. Suara pintu rumah yang terbanting kasar membuat Melisa terperanjat. Dia segera bergegas.

Baru saja wanita berparas ayu itu akan membukakan pintu kamar, tetapi yang ditunggu sudah lebih dulu muncul. Melisa langsung meraih tangan suaminya. Namun, Rais segera menepis.

Dia mendongak menatap suaminya. Keningnya mengernyit. Entah kesalahan apa lagi yang telah dia buat, sehingga Rais bersikap dingin. Melisa sama sekali tidak mengerti.

“Dasar wanita pembawa sial!” umpat Rais sambil mendaratkan satu tamparan pada pipi sang istri.

Melisa meringis, memegangi pipi kirinya. Bekas lebam belum juga hilang, kini dia kembali mendapatkan siksaan yang serupa. Dia membisu, tak berani melawan.

Rais menarik rambut ikal istrinya tanpa rasa kasihan. “Sudah kubilang jangan keluar rumah. Malu sama tetangga. Atau kamu sengaja, biar keluargaku menjadi bahan gunjingan, begitu?”

Wanita itu menggeleng, menatap dengan penuh iba ke arah sang suami. Melisa dengan posisi mendongak berusaha meraih tangan Rais agar melepaskan tarikannya yang semakin kuat.

“Ampun, Kak,” rintihnya sambil terus memohon.

“Kau liat di luar sana. Semua sudah membicarakan kita. Membicarakan kehamilanmu!” bentaknya.

“Maaf, Kak. Tadi aku ingin sekali makan rujak. Aku enggak mau ngerepotin Ibu yang sibuk di halaman belakang, jadi aku beli sendiri. Tadi aku hanya berdiri di depan rumah.” Melisa berusaha menjelaskan kepada suaminya.

“Maaf, maaf! Kamu memang sengaja membuat keluargaku malu. Iya, kan? Sekarang apa? Ibu sampai pergi dari rumah. Ibu malu sama tetangga.” Rais mendorong tubuh istrinya hingga tersungkur.

Tangis Melisa menganak sungai. Dia sama sekali tidak mengerti. Bahkan sang ibu mertua pergi tanpa mengatakan apa pun. Dia menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit. Tidak hanya tubuhnya, hatinya juga ikut sakit, seperti tercabik-cabik.

Meskipun berulang kali meminta maaf, tetapi Rais tetap saja menyalahkannya. Alih-alih mendapat ampunan, pria itu terus saja mengumpat. Melontarkan kata-kata menyayat hati. Seolah-olah Melisa adalah akibat dari semua masalah yang tengah dihadapinya.

Tak sampai di situ saja, Rais berusaha menarik paksa istrinya. Sekuat tenaga Melisa berpegangan pada kursi dan lemari hias. Wanita itu terlihat ketakutan. Dia seolah hafal apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Sini, enggak!” teriak Rais.

Melisa menggeleng. Dia meronta, berusaha agar tangan Rais terlepas dari lengannya. Namun, sekuat tenaga mencoba, tetap saja tenaga wanita itu kalah. Pria itu berhasil menyeretnya hingga terjerembap.

Dalam posisi yang masih sujud, Melisa berusaha melindungi perutnya. Dengan kedua tangan dia menutupi kepalanya agar tidak kena pukul.

“Dasar wanita kurang ajar! Sudah berani membangkang kamu, ya.” Rais menginjak betis sang istri yang masih membiru. Kakinya digerakkan memutar seperti sedang menggilis sesuatu.

“Aaah! Sakit, Kak … sakit!” raung Melisa.

Tidak sampai di situ saja. Rais kembali mendaratkan tamparan di pipi wanita di hadapannya. Layaknya seorang binatang yang tengah mencengkeram mangsa, dia menyerang dengan membabi buta.

Melisa cuma mampu meringis. Suaranya telah parau. Dia hanya memejamkan mata dengan gigi yang saling menggelatuk menahan sakit setiap kali kaki Rais yang kukuh menyentuh betisnya yang ringkih.

Saat tangan Rais menyentuh perutnya yang membuncit, Melisa menggeleng. Dia kembali menatap iba kepada sang suami. Terlihat jelas raut wajahnya yang semakin ketakutan.

Dengan sisa kekuatan, Melisa mencoba melepaskan kaki yang masih menginjak betisnya. Dia mendorong paksa hingga sang suami terhuyung. Baru saja akan berlari hendak meraih gagang pintu, tetapi Rais dengan cepat mengejar.

“Mau ke mana kamu? Tidak ada yang akan menolongmu. Di rumah ini tidak ada orang,” ujar Rais mencibir.

“Dari dulu, aku sudah bilang, gugurkan anak itu, tapi kamu selalu saja kekeh mempertahankan,” tambahnya. Raut wajahnya terlihat sangat kesal.

Melisa berjalan mundur. Langkahnya terhenti saat menubruk ujung meja rias. Dia menoleh ke belakang. Tangannya meraba-raba, mencari apa pun yang bisa diraih. Jemarinya menangkap sebuah botol kaca. Dipegangnya erat, bersiap-siap melempar benda itu saat Rais mendekat.

Seolah tak puas menyiksa, pria bertubuh atletis itu berjalan menghampiri Melisa.

“Jangan mendekat!” ancam Melisa, mengacungkan botol kaca yang berisi cairan tersebut.

Rais mencibir. “Bisa apa kamu, hah?”

Napas Melisa tersengal-sengal. Tangannya bergetar saat sang suami semakin dekat. Dia menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian. Wanita itu melempar botol kaca ke arah Rais dengan sangat keras.

Rais mengerang. Dia mengusap pelipisnya yang sakit. Matanya nyalang saat melihat darah pada tangannya.

“Bangsat!”

Melisa kembali berlari. Saat mencoba kabur, Rais menarik ujung daster wanita yang berdiri tak jauh darinya. Sekuat tenaga Melisa bertahan sambil berpegangan pada sisi lemari. Merasa gagal, Rais menendang punggung belakang sang istri tanpa rasa kasihan.

“Aaah!” erang Melisa yang tersungkur ke lantai.

Rasa nyeri yang sangat hebat pada perutnya semakin tak tertahankan. Seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari dalam perutnya. Dia menatap langit-langit kamar, seakan-akan ini adalah malam terakhirnya untuk bisa bernapas. Melisa beringsut, berpegangan pada ujung ranjang. Keringat kini membanjiri seluruh tubuhnya.

“Aku harus kuat. Demi anak yang ada di kandunganku,” lirihnya, memegangi perutnya yang mulai membuncit.

Dengan tenaga yang tersisa, dia mencoba untuk bangkit. Tubuhnya bergetar hebat, kemudian kembali tersungkur. Tenaganya telah habis, lelah dengan semua penyiksaan dari sosok yang seharusnya melindunginya.

Rais menatap dengan menyeringai. Tak sedikit pun dia berniat untuk membantu. Kilat matanya tak menunjukkan rasa kasihan. Entah apa yang merasuki pikiran pria tersebut. Dia seakan-akan mentertawakan lawannya yang tengah lumpuh akibat serangannya.

Melisa kembali beringsut. “Aku pasti bisa. Seorang ibu tidak boleh lemah,” ucapnya lirih, mengusap peluh pada dahi.

Dengan posisi setengah berdiri, dia bersusah payah menyandarkan perut pada sisi ranjang. Melisa berjalan perlahan. Sebuah tendangan mendarat pada bokongnya, membuatnya kembali jatuh terpental. Kepalanya membentur ujung nakas. Wanita itu tidak sadarkan diri ….


Bersambung ….

 

Balikpapan, 30 Mei 2021.

Rizka Wirdaningsih Abdi, muslimah pecinta senja. Panggil saja Mbak Conan.

Editor : Lily

Leave a Reply