Cinta Pertama
Oleh: Hassanah
Udara terasa hangat senja itu. Ditemani sepoi angin yang membawa aroma laut, Mr. Park menatap wanita yang berjalan ke arahnya; yang menggunakan gaun merah kesukaannya; yang menggenggam dua tangkai krisan putih di tangannya.
Dengan sabar Mr. Park menunggu sambil tersenyum. Detak jantungnya masih sama, seperti pertama kali mereka bertemu di pinggiran Amsterdam, lima dekade lalu.
“Kau menepati janjimu,” ucap wanita itu kala berhenti tepat satu meter di depan Mr. Park.
“Apakah kau meragukannya?”
“Tentu. Sampai aku melihatmu masih berdiri di sini.” Wanita itu tersenyum.
“Kau ini.”
“Kenapa? Apakah aku salah pernah meragukanmu?”
“Jangan ungkit itu lagi. Itu adalah hal yang paling aku sesali sampai kapan pun.”
“Bagus. Kau berhak merasakan itu.” Wanita itu tertawa kecil dengan sambil menutup mulutnya.
“Apakah mereka yang memberikanmu itu?” Pandangan Mr. Park tertuju pada bunga yang dibawa si wanita.
“Kau selalu saja begini.” Wanita itu memukul bahu lelakinya dan membuat mereka berdua terkekeh. “Mereka tampak sedih saat memberikan ini.”
“Tentu saja. Mereka memang sudah seharusnya memberikanmu bunga itu. Tidak sia-sia aku mengajari budaya leluhur kepada mereka. Bagaimana, sama indahnya dengan lily-lily kesayanganmu, kan?”
“Tetap lily favoritku. Tapi saat ini, bunga ini benar-benar membuatku tersenyum di sepanjang perjalanan.” Mr. Park membenarkan anak rambut si wanita yang melambai-lambai tertiup angin.
“Aku juga membawakan satu untukmu. Mereka juga berpesan kepadamu untuk menjagaku,” si wanita berkata dengan sedikit menyombongkan diri.
Mr. Park terkekeh dan berkata, “Selamat, kau berhasil membuat mereka lebih mencintaimu daripada aku.”
Wanita itu terbahak sebentar dan kemudian merangkul Mr. Park serta berbisik, “Tapi tetap kaulah yang paling aku cintai sampai kapan pun.” sehingga membuat prianya semakin terbahak.
Keduanya lalu berjalan sambil menikmati sepoi angin yang melambaikan rerumputan; gaun merah si wanita; rambut keemasan yang menyatu dengan helai-helai putih. Tanpa menoleh ke belakang, mereka terus menyusuri jalan setapak, tepat di pinggir laut itu.
“Hal apa yang paling kau sukai dariku?” si wanita bertanya.
“Hem … saat pertama kali berjumpa denganmu, aku menyukai sepatumu.”
“Hah? Apa yang aku kenakan saat itu?”
“Tidak ada.”
“Kau bilang aku menggunakan sepatu.”
“Aku tidak berkata seperti itu.”
“Kau mengatakannya tadi.”
“Baiklah, baiklah. Aku mengalah. Benar, kau menggunakan sepatu.”
Si wanita masih menunggu jawaban. Dia menatap wajah Mr. Park yang sangat dekat dengannya.
“Kenapa lama sekali? Katanya kau menyukainya.”
“Sabarlah. Aku baru saja akan mengatakannya.”
“Cepat katakan.”
“Baik.”
“Ayo, katakan!”
“Astaga. Wanita ini.”
“Kenapa?” Si wanita menghentikan langkahnya tiba-tiba. Wajahnya cemberut dan dia melepaskan rangkulan.
“Hei, jangan cemberut. Bibirmu sudah tak seperti ceri merah lagi. Jangan lakukan itu.”
“Kau ini!”
Mr. Park terbahak. Dia sangat menyukai wanitanya seperti saat ini.
“Saat itu,” Mr. Park menatap ke arah laut di sebelah jalan yang mereka lalui, “kau tidak menggunakan apa pun. Kau terlihat bingung dan ketakutan. Ujung gaunmu robek sedikit. Lalu, aku membuka sepatuku dan memberikannya kepadamu.”
“Apa yang menarik dari itu?” Wanita itu kini tak lagi cemberut, melainkan dahinya mulai berkerut.
“Kau sepenasaran itu, ya?”
“Karena kau selalu mengelak setiap kali diberondong pertanyaan itu.”
“Benarkah? Kenapa sepetak pernah bercerita hal ini sebelumnya kepadamu, ya?”
“Sudah, cepat katakan alasannya saja. Aku akan mengingatnya.”
Mr. Park merangkul si wanita dan lalu berjalan perlahan. Setelah beberapa detik, dia pun kembali berkata.
“Wajahmu yang ketakutan saat itu mengucapkan terima kasih kepadaku dengan bahasa Inggris. Bibir ceri merahmu tersenyum hingga membuat api cinta di dadaku menyala-nyala.”
“Kau sangat aneh. Itu pertemuan pertama kita, kan? Bagaimana mungkin kau berpikir bahwa yang menyala itu adalah api cintamu?”
“Kau ini. Masih saja tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama.”
“Ya karena itu tidak pernah terjadi kepadaku. Lagi pula, kenapa harus sepatu? Kenapa kau tidak saja mengatakan wajahku, bibirku, senyumanku, atau mungkin tubuhku. Itu lebih masuk akal.”
“Bukankah aku ini pria yang aneh?” Mereka kembali tertawa.
“Aku tak pernah menyesal telah mencintaimu hingga detik ini, Gloria.”
“Tentu. Kau harus seperti itu atau aku kembali saja lagi kepada mereka.” Mereka berdua pun terus melangkah di jalan yang sepi itu. Jalan yang tak kelihatan ujungnya, yang langitnya berwarna kemerahan, yang anginnya terasa hangat.(*)
Bumi Lancang Kuning, 15 Desember 2021
Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Seorang penulis amatiran yang suka bermimpi dengan sangat percaya diri. Penyuka aroma kopi dan sejuknya pagi.