Cinta Itu …
Oleh : Maulana
“Nana capek, Buk,” kata seorang gadis sambil melemparkan tasnya ke sembarang arah dan merebahkan dirinya di atas kasur.
“Capek kenapa, Dek? Toh, kamu bisa coba dulu, nggak semua laki-laki sama kayak bapakmu,” hibur perempuan setengah baya yang duduk di sampingnya.
“Iya, tapi Nana capek. Dulu waktu kenal sama Mas Ikram, dia bilang serius sama Nana, tapi akhirnya dia juga ninggalin Nana di saat Nana udah percaya sama dia. Kemarin anaknya Pak Lurah deketin Nana, bilang mau sama Nana, nyatanya dia punya pacar lain, anak desa sebelah. Nana capek, Bu, buat coba-coba.” Gadis berkerudung biru itu masih menjawab dengan kesal.
“Tapi Abbas beda, Dek, Ibu kenal orangtuanya, sikapnya juga sopan, gak mungkin dia nyakitin kamu seperti laki-laki sebelumnya. Dicoba kenal dulu gak ada salahnya toh, Dek?” Perempuan paruh baya itu mencoba meyakinkan
“Tetap aja Nana gak kenal baik sama Kang Abbas,” katanya, memandang perempuan di sampingnya dengan tatapan memelas. Mata hazelnya menangkap sorot kecewa dari perempuan yang ada di sampingnya.
“Baiklah, Nana coba mengenal Kang Abbas, tapi Ibu janji gak akan paksa Nana kalo Nana sudah mencoba?” Demi melihat senyum di wajah ibunya, gadis itu akhirnya mengalah. Sang ibu tersenyum mengangguk ke arah putrinya, tangannya mengelus sayang puncak kepala putrinya itu.
***
Gadis manis dengan hijab pink itu berjalan terburu-buru, sesekali matanya melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, sudah setengah jam gadis itu terlambat memasuki kelas pertamanya, kalau saja Scoopy-nya tidak mendadak mogok, pasti dia tidak akan terlambat, begitu yang dipikirnya. Dengan membenarkan posisi tas yang ada di bahu, langkah kaki semakin ia percepat. Namun, sesampainya di dalam kelas gadis itu terkejut karena kelas kosong, menyisakan Abbas yang duduk di sana bersama dua orang lainnya.
“Assalamualaikum. Eum … maaf, Kang, kelasnya kosong?” tanya Nana pada tiga orang yang di sana.
“Waalaikumussalam. Kelasnya udah selesai, Mbak,” jawab seorang yang memakai kacamata, rambutnya agak keriting, Nana tidak begitu mengenalnya karena ini kelas mata kuliah umum yang terdiri dari berbagai jurusan, hanya Abbas yang Nana kenal di sana, karena memang mereka satu jurusan.
Nana tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Kemudian dia berbalik dan kembali berjalan keluar, namun langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggil namanya, ia menoleh dan melihat Abbas berjalan ke arahnya
“Bisa kita bicara?” suara berat itu menyapa untuk pertama kalinya, meskipun mereka satu jurusan, tidak pernah mereka saling bicara, hanya senyum sebagai sapaan ketika bertemu.
“Lebih baik di depan saja,” jawab Nana, kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan kelas.
Mereka duduk di bangku yang ada di depan ruangan kelas, keduanya terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Ada apa, Kang?” akhirnya suara Nana memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.
“Apa menurutmu arti cinta itu?”
Nana terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Abbas, refleks ia memandang lelaki yang duduk beberapa jarak darinya, kedua mata itu bertemu, namun Nana kembali memalingkan wajah.
“Bagiku, cinta itu hal yang nggak bisa diartikan dengan mudah, Kang. Cinta itu seperti kisah Abu Bakar, yang rela kakinya tergigit ular karena tidak ingin membangunkan tidur Rasulullah, cinta itu seperti kisah Fatimah dan Ali, saling menjaga hingga mereka siap menerima amanah cinta itu sendiri, cinta juga seperti kisah Abu Darda dan Salman al Farisi ketika Salman al Farisi merelakan gadis yang dicintainya karena gadis itu mencintai Abu Darda, sahabatnya, hingga merelakan emas yang dimilikinya untuk maskawin keduannya. Bahkan cinta juga bisa seperti Siti Hajar yang bolak balik dari Shofa ke Marwah demi mendapatkan air untuk putranya, dan masih banyak bentuk cinta yang lainnya. Tidak ada definisi pasti apa itu cinta, tapi karena cinta seseorang bisa membuat indah kehidupannya walaupun merasakan sakit pada kenyataanya. Karena cinta seseorang mampu berkorban, melupakan pahitnya hakikat berkorban itu sendiri, dan karena cinta manusia menjadi rela … rela menunggu, rela melepaskan, dan juga rela membangun untuk menjaga kehormatan cinta itu sendiri. Dan yang paling penting cinta itu indah ketika cinta itu karena-Nya, Sang Maha Pemilik Cinta,” jelas Nana sambil tersenyum, pandangannya menatap pada burung-burung yang terbang di sekitar kolam depan ruang kelasnya.
Kemudian, ketika sadar tak ada respons dari Abbas, Nana mengalihkan pandanngannya ke arah pria itu, ia terkejut ternyata Abbas sedang memandangnya, segera ia kembali mengalihkan pandangan ke arah kolam.
“Eum … maaf,” kata Abbas gugup ketika kedua mata itu bertemu.
“Terima kasih atas penjelasannya, Mbak. Soal perjodohan dari orangtua, saya ingin menyampaikan maaf ke Mbak karena sebenernya sudah ada perempuan yang sudah menarik perhatian saya, itu yang ingin saya sampaikan. Apa Mbak bersedia memaafkan saya?” tanya Abbas hati-hati.
Nana tersenyum, tak segera menjawab, ia menikmati pemandangan di depannya, burung-burung yang terbang di sekitar kolam, air kolam yang mulai terkena cahaya matahari mampu menyita perhatiannya.
“Tidak apa-apa, Kang, saya paham. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, atau sesuatu yang bisa dimiliki karena ingin, sebab cinta datangnya dari hati. Dan sesuatu dari hati itu nggak datang berkali-kali, maka perjuangkanlah, Kang,” jawab Nana serius, namun bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum.
“Kamu pernah jatuh cinta?” tanya Abbas kemudian.
“Pernah.” Kali ini tak ada senyum dalam jawaban gadis itu, justru Abbas melihat sorot terluka dari matanya. Abbas berdehem untuk mengembalikan suasana yang tiba-tiba terasa canggung.
“Baiklah, Mbak, terima kasih jawabannya, mendengar jawabanmu saya jadi yakin sesuatu yang saya cari dalam hidup ini,” jawabnya sambil tersenyum, matanya memandang burung-burung di depan sana, pemandangan yang sejak tadi tak ditinggalkan oleh gadis itu.
“Ngomong-ngomong, saya ada janji sama anak senat. Saya pamit dulu, Mbak. Assalamualaikum,” pamitnya, kemudian meninggalkan Nana yang masih duduk di kursinya.
Banyak pikiran yang yang melintas di benak gadis itu. Teringat janjinya dengan sahabatnya, Nana beranjak menuju ruang perpustakaan kampus.
“Kuserahkan hidupku, matiku, dan takdirku hanya pada Allah,” lirih gadis itu sambil berjalan menuju perpustakaan.
***
Sebuah mobil SUV berhenti di depan sebuah rumah. Seorang pemuda keluar dari dalam mobil tersebut. Ia melangkah menuju rumah yang warna catnya mulai memudar itu, kemudian mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.
“Waalaikumussalam.” Jawaban dari pemilik rumah terdengar setelah beberapa saat. Seorang perempuan paruh baya mengenakan daster membukakan pintu rumah, senyumnya segera terbit mengetahui siapa yang bertamu ke rumahnya. “Silakan masuk, Nak Abbas,” sambutnya sambil membuka pintu lebih lebar dan melangkah lebih dulu ke dalam rumah.
“Silakan duduk dulu, nanti Ibu panggilkan Nana sebentar, dia lagi cuci piring di belakang,” katanya, kemudian masuk ke dalam ruangan lain, meninggalkan Abbas sendiri di ruang tamu.
Tak lama, Nana keluar membawa nampan dan secangkir sirup serta stoples berisi keripik ke ruang tamu, senyumnya ramah menyambut Abbas yang bertamu ke rumahnya. Abbas pun melakukan hal yang sama, tersenyum menyambut seseorang yang akan ditemuinya.
“Silakan diminum, Kang,” kata Nana setelah memindahkan isi nampan ke atas meja, kemudian duduk di kursi kosong lainnya, meletakkan nampan yang telah kosong ke pangkuannya.
“Terima kasih,” jawab Abbas singkat.
“Eum … ada apa Kang Abbas ke rumah Nana? Kalau untuk membicarakan soal rencana orangtua kita, biar Nana yang jelaskan ke Ibu. Nana insyaallah bisa mengerti keputusan Akang, tapi Ibu belum tentu, jadi biar Nana yang jelaskan,” kata Nana langsung ke inti. Abbas terlihat salah tingkah, ia berdehem untuk menghilangkan perasaan canggung, kemudian mengambil sirup dan meneguknya.
“Mbak Nana kenal Ikram?” tanya Abbas setelah meletakkan lagi gelasnya. Terlihat raut terkejut dari gadis itu. Tak menunggu jawaban dari gadis di depannya, Abbas melanjutkan apa yang ingin disampaikan. “Saya punya saudara sepupu, Ikram namanya. Sejak kecil kedua orangtuanya meninggal karena sebuah kecelakaan, kemudian Nenek menyuruh Abi dan Umi merawatnya. Saya sudah menganggap dia seperti kakak kandung saya sendiri. Setelah kematian kedua orangtuanya, Mas Ikram menjadi sangat pendiam, dia jarang mengungkapkan apa yang dirasakannya kepada kami keluarga barunya, namun sikap dan perilakunya begitu baik sehingga kami sekeluarga menganggap dia seperti saudara kandung sendiri. Beberapa bulan terakhir kami sekeluarga heran dengan sikap Mas Ikram, dia menjadi lebih ceria dan terlihat bahagia. Sampai suatu malam saya tanyakan hal itu langsung kepadanya, Mas Ikram bercerita tentang seorang gadis yang mewarnai hari-harinya. Dia merencanakan kebahagiaan dengan gadis itu, hingga diam-diam dia menabung untuk meresmikan hubungannya dengan gadis itu.
“Mengetahui hal bahagia tersebut, kemudian saya ceritakan kepada Abi dan Umi. Abi marah pada awalnya, karena Abi sudah menjodohkan Mas Ikram dengan anak salah satu teman bisnis Abi. Abi melarang Mas Ikram menemui gadis tersebut karena merasa jika pilihannya lebih baik. Setelah mengetahui keputusan Abi, Mas Ikram kembali menjadi pendiam. Dia tidak pernah bercerita lagi tentang gadis itu dan juga tentang perasaannya, tapi saya tahu apa yang dirasakannya, dia sungguh mencintai gadis itu, namun dia tak kuasa menolak keinginan Abi, orang yang sudah merawatnya sejak kecil. Mas Ikram sungguh sebaik itu sejak kecil.
“Hari berganti, akhirnya Abi tidak tega dengan Mas Ikram. Hingga Abi menyuruh saya mencari tahu siapa gadis tersebut, gadis yang membuat hari Mas Ikram menjadi berwarna juga gadis yang sama yang membuat Mas Ikram terluka karena perasaannya. Setelah saya tahu bahwa gadis yang dicintai Mas Ikram itu bernama Salsabila Khusna, seorang gadis yang kebetulan satu kelas di mata kuliah umum, saya sampaikan kepada Abi. Abi dan Umi menjadi bahagia karena sudah mengenal keluarga kamu, dan seperti apa kamu. Kemudian Abi mengatakan pada ibumu ingin menjodohkan putranya dengan kamu.” Abbas menjeda ceritanya, ia memandang gadis di depannya yang sudah meneteskan air mata, kemudian ia tersenyum
“Saat itu ibu kamu salah paham, Mbak, yang ibu kamu tahu putra Abi hanya aku seorang, anak tunggal, tapi yang dimaksud Abi adalah menjodohkan Mbak Nana dengan Mas Ikram, putra Abi yang lainnya.” Abbas menyelesaikan ceritanya.
“Tapi waktu itu … di kampus … pertanyaan cinta …?” Pertanyaan Nana terlontar sepotong-sepotong, sesekali ia mengusap air matanya.
“Itu karena saya penasaran apa yang membuat Mas Ikram begitiu jatuh cinta dengan Mbak Nana. Hari itu saya tahu, selain penjelasan arti cinta dari Mbak Nana, ada satu lagi definisi cinta yang tidak Mbak Nana sebutkan namun bisa saya pelajari dari kalian, bahwa level tertinggi cinta adalah mengikhlaskan cinta untuk kebaikan bersama.”
“Lalu Mas Ikram … di mana dia sekarang?”
“Dia di luar, Mbak, malu untuk bertemu dengan pujaan hatinya. Hahaha.” Abbas tertawa mengingat tingkah lucu saudaranya. “Tujuan saya ke sini, mewakili Abi dan Umi untuk menanyakan kesediaan Mbak dengan Mas Ikram. Jika Mbak bersedia, kami akan datang sekeluarga untuk melamar Mbak Nana,” katanya kemudian setelah meredakan tawanya.
“Nana bersedia,” jawab perempuan setengah baya yang tadi membukakan pintu.
“Ibu?” Nana memandang ibunya heran. Bagaimana mungkin ibunya langsung mengiyakan pertanyaan Abbas?
“Ibu sudah tahu, Na, uminya Abbas kemarin sudah menceritakan semuanya pada Ibu. Dan Ibu rasa anak Ibu yang satu ini juga belum melupakan mantannya, tuh,” goda Ibu.
“Ibuuu, Nana malu, atuh,” jawab Nana merajuk. Ibunya dan Abbas kemudian tertawa bersamaan.
“Jadi kamu bersedia, Sal?” tanya seorang pemuda yang masuk ke ruang tamu. Pipi Nana menghangat mengetahui siapa pemuda itu.
“Mas Ikram …,” katanya lirih, kemudian tersenyum mengangguk. Pipinya sudah sangat merah sekarang menahan malu dan bahagia dalam waktu yang bersamaan.
“Alhamdulillah,” jawab ketiga orang tersebut dengan kompak.
“Terima kasih kalian sudah mengajarkan saya arti cinta,” kata Abbas kemudian.
4 Sept 2019
Maulana, penyuka putih dan biru, penikmat kopi dan puisi.
IG: jihanalmasm
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata