Cinta di Atas Kertas
Oleh : Siti Nuraliah
Hujan sudah reda sejak sepuluh menit yang lalu, menyisakan gerimis-gerimis lembut yang menyapu daun-daun mawar di depan rumah. Satu-dua anak manusia masih lalu-lalang sambil membentangkan payung mereka. Hari mulai dipeluk mega sewarna dewangga, pertanda magrib tidak lama lagi menyapa.
Aku masih menikmati sejuk dan harumnya tanah basah dari balik jendela yang sengaja kubuka, menghirup dalam-dalam aroma petrichor yang sudah lama kurindukan. Bukan, aku bukan merindukan harumnya tanah selepas hujan. Namun, karena aku pernah menikmati semua ini bersamanya, seseorang yang barangkali sekarang—saat suasana senja selepas hujan seperti ini—sedang meminum teh hangat buatan istrinya, dan menikmati sepiring ubi rebus berdua. Aku ingat betul semua kesukaan dia. Kutarik ujung bibir sebelah kanan, menyunggingkan senyum setipis gerimis yang mencumbui bumi.
Suara pintu kamar yang ditutup menyadarkanku dari lamunan, aku bergegas menutup jendela serta mengurai tali tirai di kedua sisinya. Selalu seperti ini, tidak banyak yang bisa kulakukan selain duduk memelototi monitor dan sesekali menulis cerita-cerita bahagia. Aku benci kesedihan sebab hidupku sudah cukup perih. Makanya, aku lebih suka mengarang cerita tentang kebahagiaan yang manis, setidaknya nyawaku terasa hidup dalam setiap bait-bait aksaranya.
“Bang, sudah pulang? Maaf tadi aku tidak dengar.” Aku menyalami tangan Bang Dean, laki-laki yang menikahiku satu tahun yang lalu atas nama Ibu.
“Iya,” jawabnya. Dia meletakkan jas kerjanya di kapstok, kemudian berlalu menuju kamar mandi.
Aku memandangi punggungnya, sekilas dia melirik ke arah laptop yang lupa aku matikan. Dengan segera, aku melipatnya lalu menyimpannya kembali di laci meja. Azan Magrib menggema dari semua penjuru, aku menyiapkan sarung dan peci untuk Bang Dean.
“Kita berjamaah, ya, Bang!”
“Tidak usah, aku buru-buru.” Dia mengambil sarung, “Habis ini, aku mau keluar lagi, ada urusan,” ucapnya lagi.
Aku berusaha tersenyum.
Istri itu penyejuk mata suami. Maka, bila suamimu pulang ke rumah, sambutlah dengan wajah riang dan menyenangkan, pesan Ibu di malam pernikahanku.
Menerima permintaan Ibu untuk menjadi istri Bang Dean adalah sebuah pilihan yang berat. Aku sangat tahu tabiat dan watak Bang Dean. Namun, Ibu tetap meyakinkanku bahwa suatu saat nanti Bang Dean bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Saat itu, ingin sekali aku menjadi anak yang bisa membantah titah orang tua, tetapi nuraniku berkata tidak. Lagi pula, ada yang harus aku korbankan: membunuh perasaan untuk sahabat laki-lakiku, Rido. Ibu bukan tidak tahu perihal kedekatanku dengannya. Akan tetapi Ibu bilang, Bang Dean adalah pilihan mendiang Ayah, putra semata wayang rekan kerjanya. Katanya, kami sudah dijodohkan sejak masih sama-sama sekolah, dan aku tidak tahu apa-apa. Keluargaku telah banyak berutang budi kepada keluarga Bang Dean. Entah berapa rupiah yang diberikan mereka untuk biaya pengobatan sakit Ayah, walaupun kanker getah bening itu tetap membawa Ayah pergi menghadap-Nya.
“Pernikahan tetaplah pernikahan. Sakral, dan bukan sebuah permainan. Hubungan yang sudah diikat dengan tali tak kasat mata itu disaksikan dan diamini para malaikat Tuhan. Jangan pernah menganggap pernikahan ini sebuah paksaan. Ibu sangat mengerti perasaanmu. Tapi, semoga ini bisa menjadi penerang bagi Ayah di alam sana.” Mata Ibu berkaca-kaca, dia memelukku sangat erat. Aku masih sangat jelas mengingat itu.
Saat baru saja aku selesai berwudu, Bang Dean sudah berganti pakaian. Kaus polos berwarna hitam dengan setelan celana denim, membuat penampilannya terlihat necis. Harum parfum menguar memenuhi kamar. Setelah itu, Bang Dean menyisir rambutnya.
“Mau ke mana lagi, Bang?”
“Ada urusan!” jawabnya ketus.
“Tidak makan dulu? Aku sudah masak. Tunggu aku salat dulu sebentar, nanti kusiapkan!”
“Enggak, aku bisa makan di luar.” Sambil menyambar kunci mobil, dia berlalu meninggalkanku yang masih membatu.
Aku menangis tersedu-sedu, kupanjangkan sujud terakhir di salat Magrib-ku. Di atas sajadah kutengadahkan tangan, memanjatkan doa dan mengharap keikhlasan hati untuk bisa menerima ketentuan-Nya, agar sabarku ini tidak sampai menemui tepiannya. Aku percaya dengan banyaknya doa yang kulangitkan, semoga Sang Maha tidak lagi punya pilihan selain mengabulkan.
Sebenarnya aku ingin sekali pulang ke rumah Ibu. Rumah sederhana, tetapi membuat bahagia. Aku ingin menumpahkan sesak yang telah lama kupendam. Telah berwaktu-waktu aku menunggu keajaiban. Setiap anak manusia menginginkan rumah tangga yang di dalamnya bagai surga. Di sini, meski segalanya serba ada, tetapi jiwaku merana, hati terasa kering kerontang. Sejak awal pernikahan, Bang Dean sudah menulis perjanjian. Isinya adalah aku tidak diperkenankan mencampuri urusan Bang Dean. Pun sebaliknya, dia tidak akan pernah mencampuri urusanku. Kami adalah dua manusia yang menikah untuk menjalani semuanya dengan serba masing-masing.
Satu tahun, bukan waktu yang sebentar. Bahkan, bagiku waktu satu tahun ini terasa berabad-abad. Aku selalu berusaha memperbaiki keadaan. Berusaha menjadi istri yang baik untuk Bang Dean. Namun, sejauh ini aku belum menjadi istri seutuhnya, Bang Dean belum menyentuhku sama sekali. Sempat hatiku ingin meminta bercerai. Namun urung, saat kudengar kabar bahwa Rido telah menikah dengan pilihannya. Aku masih ingat juga matanya berkaca-kaca saat hadir di pernikahanku, tetapi aku bersyukur pula dia bisa dengan lapang menerima. Langit bagai runtuh, luka-luka di hati terasa semakin berdarah-darah. Tidak ada yang bisa diterima selain pasrah.
***
Pagi ini Bang Dean libur kerja, aku ingin mengajaknya untuk bicara. Rumah tangga ini serupa kapal, bila nahkodanya tak punya tujuan untuk berlabuh, maka penumpang di dalamnya akan terombang-ambing dengan harap-harap cemas. Kapal ini perlu diselamatkan.
“Bang … Apa aku masih tidak dianggap sebagai istrimu?” Pertanyaanku terdengar pilu. Aku berharap Bang Dean mendengarnya bisa luluh.
Dia bergeming, memasukkan tiap suapannya ke mulut dengan cepat.
“Apa di hatimu sama sekali tidak ada ruang untukku, Bang?” Bibirku bergetar, sebenarnya menahan nyeri di ulu hati, pertanyaan ini patutnya ditanyakan pula kepada hatiku. Hai, hati, sudahkah berdamai dengan keadaan?
Bang Dean, menghentikan kunyahan, kemudian menatapku tajam. “Sari, aku dan kamu itu, menikah hanya atas dasar perjodohan. Aku sama sekali tidak punya rasa untuk kamu. Kamu tahu? Gara-gara aku menikah dengan kamu, ada hati yang aku sakiti, perempuan yang sudah lama aku pacari.”
Dia meneguk air, membanting sendoknya di atas piring. Lantas, dia meninggalkanku yang belum sempat mengucapkan bantahan. Apa dia pikir hanya dia yang terluka? Apa dia pikir aku juga tidak terluka? Bila ingin saling membongkar luka, maka aku siap membukanya. Aku atau dia yang paling banyak mempunyai lubang luka?
Air mataku tumpah, aku kembali menangis meraung-raung. Rasanya sudah tidak perlu lagi aku menangis dengan sembunyi-sembunyi, toh, tidak ada yang peduli! Mendengar tangisanku, Bang Dean membalikkan badan. Tepat di ambang pintu menuju ruang tengah, dia mengepalkan tangan, lalu berkata dengan pelan tetapi intonasinya tegas, “Hentikan tangisanmu! Besok kuantarkan pulang beserta surat perceraian.” (*)
Banjarsari, 17 Juli 2020.
Siti Nuraliah, perempuan sederhana penyuka sastra. Kadang suka menulis, kadang suka membaca. Penulis pemula yang selalu berusaha memperbaiki tulisannya. Bisa disapa melalui akun sosial media FB: Alya El-hamdanie Siddiq’Tc. Wattpad: Al2395. IG: Alyaelhamdani 2395
Editor : Dyah Diputri