Cinta dari Langit
Oleh: Tirza Inzaaliza
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like on
A-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, baby, kiss me
Lirih senandungku beradu dengan gemeresik daun-daun dari pepohonan di sekeliling kami. Sebelah tanganku terangkat ke udara, seolah-olah dengan melakukannya, aku bisa meraih bintang di langit malam itu dengan jemari.
“Mark, itu rasi bintang Virgo, kan?”
Setetes air mataku jatuh. Wajah Mark sudah hampir sepucat kapas. Napasnya pendek -pendek. Darah masih merembes dari pahanya yang tertembus ranting pohon. Kaus oblong yang kulepas untuk membebat lukanya tidak membantu banyak menyumbat aliran darah.
Aku kembali menatap langit luas. Nyeri dari pergelangan kaki yang terkilir makin menyiksa. Tubuhku lelah luar biasa. Tenggorokan juga kering dan terasa sakit karena belum tersentuh air.
“Mark, pergi saja bila kau mau. Tapi, ajak aku bersamamu.”
***
Adrenaline Junkies, begitu kami menamai geng kami. Kami berlima sama-sama penyuka olahraga ekstrem yang memacu adrenalin. Terutama skydiving.
“Deal! Minggu depan, kita skydiving di Nusawiru Jawa Barat. Indonesia nggak kalah keren, kok, spot skydive-nya,” promoku. Aku begitu bersemangat ketika keempat anggota mengangguk setuju.
“Minggu depan kita ngumpul di Bandara Internasional Husein Sastranegara Bandung jam 9 pagi. Setelahnya, kita menyewa kendaraan roda empat menuju Pangandaran.”
Rapat Zoom dengan anggota Adrenaline Junkies akhirnya aku tutup. Kami memang berasal dari negara yang berbeda. Mark dan Alicia berasal dari Inggris, Ahmed dari Dubai, Sidhart dari New Delhi, dan aku dari Indonesia. Kami tidak sengaja bertemu ketika skydiving di Palm Jumeirah, Dubai. Mark dan Ahmed saat itu bertugas sebagai tandem.
Saat akan mematikan tombol kamera, kulihat Mark mengambil gitar. Dengan tatapannya yang membuat jantungku berdebar, dia mulai memetik senar gitar. Suara beratnya terdengar maskulin menyanyikan lagu lawas Frank Sinatra berjudul Fly Me To The Moon. Hanya sisa kami berdua dalam ruang rapat maya itu.
“Lagu itu lagi?” Aku menyeringai.
“Ya. Dan kamu harus terbiasa karena aku akan menyanyikannya setiap hari untukmu sampai kita tua nanti.”
Oke, jantungku benar-benar berhenti sekarang.
“Kalau yang lain mendengar, mereka bisa berpikir kamu melamarku saat ini.”
“I did.”
***
Di dalam pesawat Cesna 185 yang membawa kami pada ketinggian 10.000 kaki di atas permukaan laut, Ahmed, Alicia, dan Sidhart memandang aku dan Mark dengan tatapan curiga. Kami berdua sudah memakai perlengkapan khusus untuk dua penerjun dengan Mark yang berada di belakangku sebagai tandem.
“Kalian jadian, ya?” goda Alicia.
Aku bisa merasakan wajahku menghangat. Malu. Mark hanya tertawa lebar menanggapi pertanyaan Alicia.
Satu per satu anggota geng Adrenaline Junkies melompat. Dimulai dari Ahmed, Sidhart, lalu Alicia. Dari pintu pesawat aku bisa melihat awan putih seperti gumpalan kapas yang empuk.
“You jump, i jump!” bisik Mark mengikuti dialog legendaris tokoh Jack di dalam film Titanic.
“Siap?” tanya Mark. Aku mengangguk. Kami lalu melompat bersama.
Angin dengan kencang menyambut tubuh kami. Selama 30 detik kami seperti telungkup di atas lantai. Hanya saja lantainya tidak kelihatan. Di bawah, keindahan bibir pantai lengkap dengan laut biru dan hamparan karpet hijau perbukitan di daerah Nusawiru begitu memanjakan mata.
“Wuhuuu! Marry me, Nada!” Mark berteriak nyaring.
Detik berikutnya, gravitasi bumi terasa menarik tubuh kami tanpa ampun. Inilah saatnya kami harus mengembangkan parasut untuk menahan laju pergerakan kami turun ke daratan.
Bip! Bip! Bip!
Alarm peringatan juga sudah mulai berbunyi. Aku menoleh ke atas. Kenapa parasutnya belum terkembang?
“Mark?”
Beberapa detik kemudian, Mark kembali mencoba menekan tombol agar parasut kami terbuka. Gagal. Aku mulai panik.
“Nada, dengar. Sebisa mungkin kita bergerak agar angin menerbangkan kita menuju sana.” Mark menunjuk deretan pohon di bawah. Aku ingat materi ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, maka pilihlah untuk mendarat di pepohonan atau padang rumput. Jangan sekali-kali mencoba mendarat di air.
Tubuh kami terasa makin kencang ditarik oleh gravitasi bumi. Aku masih ingat Mark tetap mencoba menekan tombol untuk membuka parasut. Entah pada ketinggian berapa, parasut cadangan baru terbuka. Namun, tetap tidak mampu menahan laju tubuh kami untuk jatuh. Terakhir yang aku ingat, kulit wajah dan lenganku nyeri tergores ranting-ranting pohon.
***
“Nada!”
Aku merasakan pipiku ditepuk oleh seseorang. Ketika membuka mata, tampak jajaran pohon besar dan tinggi menjulang. Aku di mana?
“Syukurlah. Apa kamu terluka?” Suara Mark. Aku berusaha mengumpulkan memori di dalam kepala yang mendadak kosong.
Aku ingat! Parasut kami gagal terbuka. Aku membuka pengaman yang masih melekat di tubuhku dan Mark. Kuteliti tubuhku sendiri apakah ada yang terluka. Selain nyeri dari pergelangan kaki dan pinggang yang terasa seperti keseleo, tidak ada luka serius. Lalu, aku berbalik melihat Mark. Wajahnya terlihat meringis menahan sakit. Mataku melotot melihat ranting pohon menancap di pahanya. Darah mengalir cukup banyak dari lukanya. Dengan apa kubalut lukanya?
Aku mencoba berdiri melihat ke sekeliling. Parasut yang terlambat terbuka tadi rupanya tersangkut di atas pohon. Aku berharap semoga bisa menjadi penanda lokasi jika tim SAR mencari kami nanti.
Mengabaikan nyeri teramat sangat di pergelangan kaki kiri dan pinggang, aku berjalan beberapa langkah. Berharap melihat atap rumah penduduk tak jauh dari tempat kami terdampar. Harapanku pupus saat hanya melihat deretan pohon sejauh mata memandang. Terseok, aku berjalan kembali menghampiri Mark yang memejamkan mata.
Kubuka kaus oblong yang kupakai untuk membalut luka Mark. Ranting yang menancap di pahanya aku biarkan tetap di situ. Aku takut darahnya akan makin mengalir deras jika kucabut ranting sebesar jempol kaki itu dari pahanya. Lagi pula, aku tidak berani melakukan itu. Aku hanya bisa menangis sesenggukan.
‘Asmaraku baru saja terajut, Tuhan. Jangan ambil dia secepat ini.’ Aku memohon pada Tuhan dalam hati.
“Ssst!
Nada, semua akan baik-baik saja. Mereka akan segera menemukan kita. Tenanglah.” Bisa kurasakan telapak tangan Mark mengusap pucuk kepalaku.
“Kalau kita menikah nanti, kamu mau punya anak berapa, Nada?”
Mau tidak mau aku tersenyum mendengar pertanyaan Mark.
“Dua,” jawabku.
“Aku maunya banyak. Sebelas, mungkin?”
Aku menyengir. “Itu, sih, kamunya yang doyan!”
Langit mulai gelap. Aku kembali panik. Kenapa mereka belum juga datang menolong? Kulihat Mark kembali memejamkan mata.
“Mark, bangun. Jangan tidur. Ayo, kita bicara masa depan lagi.” Aku mengguncang lengan Mark pelan.
“Nada, seandainya aku ….”
Aku menutup kedua telinga. “Jangan teruskan atau aku akan membencimu seumur hidup!”
“Nada, aku mencintaimu.” Suara Mark terdengar makin lemah.
“Mark, mau aku nyanyikan lagu kesukaanmu?”
“Hemmm.”
***
“Nada, bangun!” Suara lembut Alicia samar-samar terdengar. Bisa kurasakan jarinya menepuk pipiku. Tapi, aku belum mau membuka mata. Di sini nyaman. Hangat. Aku takut ketika membuka mata, aku kembali melihat hutan yang menakutkan.
Tunggu! Suara Alicia? Apakah aku sudah ditemukan? Ketika membuka mata, kulihat wajah Alicia tersenyum lega. Aku berada di sebuah ruang yang kuperkirakan ruang perawatan di rumah sakit.
“Thanks, God!” desis Alicia.
“Mark? Dia hidup?” Aku memaksa bangun.
“Sabar. Nanti aku antar.”
“Dia hidup atau mati?” cecarku.
“Kamu tahu lelaki itu cukup keras kepala, kan? Malaikat belum mau bertemu orang seperti dia.”
Aku menangis keras. Lega sekali rasanya. Alicia memelukku. “Bawa aku padanya sekarang,” pintaku.
Alicia mengangguk. Dia memanggil Sidhart minta dibawakan kursi roda.
Kulihat Mark tertidur dengan kaki diperban. Di sisi tempat tidur, ada Ahmed yang tertidur dalam posisi duduk.
“Mau dibangunkan?” tawar Alicia.
Aku menggeleng. “Biar dia istirahat dulu, karena nanti, dia harus bekerja keras membuatkanku sebelas anak.”
Balikpapan, 15 Desember 2021
Bionarasi :
Perempuan yang hobi baca dan menulis. Masih terus belajar mempercantik tulisan dengan membaca buku-buku dan bacaan yang keren.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: https://pin.it/6RctgZ6