Cinta dan Luka

Cinta dan Luka

Penulis: Triandira

“Apa ini, Rey?”

“San….”

“Jawab!”

“Maafkan aku.”

“Hanya itu?” tanyaku mendesak, “baiklah, aku mengerti sekarang. Aku tak berhak mengetahui hal ini, bukan?”

“Tidak, San. Bukan seperti itu maksudku. Aku hanya tidak ingin membuatmu sedih. Itu saja.”

“Lantas apa kau pikir aku tidak sedih sekarang?” Air mataku mulai menggenang.

Reyhan merengkuhku dalam dekapannya, tepat ketika cairan bening itu mengalir. Saat itu aku benar-benar merasa hancur. Sedih sekaligus kecewa dengan apa yang telah Reyhan lakukan padaku. Pada saat yang sama, rasa takut datang menyergap, membuatku tak berdaya hingga tak mampu berkata-kata.

Aku terisak, membenamkan wajah di pelukan lelaki bertubuh tinggi itu. Sedangkan ia terus saja membisikkan kata maaf sambil membelai lembut rambutku. Bagaimana bisa ia melakukan semua ini? Istri seperti apa yang tidak tahu bahwa suaminya sendiri menderita penyakit parah. Sungguh, ia membuatku tampak seperti manusia paling bodoh di dunia.

“Menangislah sepuas yang kau inginkan. Dengan begitu kau tak perlu menangis lagi nanti,” ucapnya dengan suara parau—membuat dadaku semakin sesak. Tentu saja aku tidak langsung puas. Kudesak ia untuk menceritakan semua rahasianya itu, dan benar saja, kenyataan lain ternyata jauh lebih menyakitkan.

“A—apa kau bilang?” ucapku seakan tak percaya. Reyhan baru saja mengatakan bahwa sisa hidupnya tidak akan lama lagi.

“Itulah yang dokter katakan padaku.”

“Lalu kau tidak memberitahuku hanya karena….”

Ingin rasanya kutumpahkan kekesalanku padanya, tapi yang mampu kulakukan hanyalah merutuki diri sendiri yang tidak peka selama ini. Aku tidak cukup memperhatikannya, bahkan ketika perasaan itu mulai tumbuh di hatiku—sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Setahun yang lalu aku dan Reyhan memutuskan untuk menikah. Kami hanya sepakat untuk membahagiakan kedua orang tua masing-masing—yang mengenalkan dan menjodohkan kami. Karena alasan itu pula aku dan Reyhan menjalani biduk rumah tangga tanpa ada kemesraan di dalamnya. Aku tetap menghormatinya sebagai suamiku, seperti menyiapkan segala kebutuhan ketika ia hendak pergi bekerja dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Begitu pun Reyhan yang selalu bekerja keras demi memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Ia juga sering membantuku ketika aku merasa lelah.

Hubungan kami hanya sebatas itu, tidak lebih. Kami bahkan tidak tidur seranjang, lebih tepatnya kami tidur di kamar yang berbeda. Ini memang bukan hal yang wajar bagi sepasang suami istri, tapi begitulah yang kami sepakati.

“Kau bisa tidur di sini jika kau mau,” ucapnya kala itu. Aku yang baru saja meletakkan pakaian di lemari hanya bisa mengangguk—menyetujui ucapannya. Ia kemudian pergi ke ruangan yang berada di sebelah kamarku.

Semenjak itu kami mulai jarang menghabiskan waktu bersama, berbeda ketika kami masih tinggal bersama orang tuanya dulu. Sebulan usai pernikahan, barulah kami menempati rumah sendiri. Sebuah rumah yang tak begitu besar tetapi sangat nyaman untuk ditinggali. Mungkin karena itulah aku betah meski harus tinggal seatap dengan orang yang tidak mencintaiku. Setidaknya kami tidak perlu lagi berpura-pura seperti dua insan yang tengah bahagia dengan pernikahannya.

Entahlah, sebenarnya sulit untuk menjelaskan perasaanku sendiri. Aku senang melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ayah dan Ibu ketika menyaksikan kami menikah. Tapi jika dibilang bahwa aku bahagia sebagai pengantin baru, aku rasa tidak.

Menyadari hal itu, baik aku maupun Reyhan tak banyak berharap pada hubungan ini. Kami tak ubahnya dua insan yang tak saling mengenal meski hidup bersama. Aku mengatakan demikian karena kami jarang menghabiskan waktu untuk berbincang. Awalnya itulah yang kurasakan, hingga lambut laun aku mulai menyadari satu hal: Reyhan mencintaiku.

“Apa ini, Rey?” bisikku dalam hati sambil tersenyum kecil. Saat itu ia sedang terlelap dan aku sedang mengumpulkan pakaian kotor. Aku tidak ingin membuatnya terbangun, jadi kuputuskan untuk mengambil sendiri beberapa kemeja yang ia gantung di dalam kamarnya.

Sebenarnya aku sudah menyediakan keranjang khusus untuk menyimpan baju kotor, tapi sepertinya Reyhan belum terbiasa dengan hal itu. Ia lebih memilih menggantungkan baju-baju kotor di dinding pojok—tempat di mana aku menemukan sesuatu yang mengejutkan.

Reyhan menyimpan fotoku di dompetnya. Foto itu kutemukan di saku baju yang hendak kucuci. Bukan hanya itu, ternyata ia juga menyimpan semua pesanku di HP-nya. Kecurigaanku tentang perasaan Reyhan semakin terbukti dari sikapnya kepadaku.

Ia pernah membuatku cemas sebab mengurung diri di kamar seharian. Enggan keluar meski aku sudah berusaha membujuknya. Esok hari, ia tidak memberiku kabar sama sekali dan menghilang begitu saja.

Kenapa belum pulang, Rey?

Setengah jam setelah aku mengirim SMS itu, Reyhan pulang dalam keadaan yang menyedihkan. Wajahnya tampak pucat dengan mata yang terlihat sembab. Rambut hitamnya juga terlihat berantakan. Ketika aku hendak menanyakan alasan kenapa ia pulang terlambat, tiba-tiba saja ia memelukku.

Saat itu sikap Reyhan sangat aneh. Ia menangis, lalu membisikkan kata maaf. Juga memintaku agar tidak meninggalkannya sendirian. Aku yang bingung setengah mati hanya bisa menganggukan kepala, berusaha menenangkan hatinya.

Semenjak kejadian tersebut Reyhan mulai bersikap hangat terhadapku, seperti memuji masakan yang sudah kubuatkan untuknya, mengingatkanku untuk beristirahat, bahkan terkadang mengajakku jalan-jalan.

Jangan lupa makan dan jaga kesehatanmu, oke?

Aku selalu tersenyum saat membaca pesan singkat yang ia kirimkan itu. Ini aneh, tapi aku menyukainya. Begitu juga ketika Reyhan semakin menunjukkan kepeduliannya kepadaku. Perlahan tapi pasti kedekatan di antara kami pun mulai terjalin.

Dua bulan yang lalu secara terang-terangan Reyhan mengatakan bahwa ia mencintaiku. Jujur aku sangat terkejut ketika mendengarnya. Bahagia? Ya. Aku benar-benar bahagia.

Seiring hadirnya perasaan cinta di antara kami, berubah pula sikap yang kami tunjukkan. Aku dan Reyhan lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Membicarakan berbagai hal yang sudah kami lewatkan selama ini. Pun demikian ketika malam tiba, kami tak lagi tidur di ruang yang berbeda. Dengan kata lain, kami menjalani hari-hari layaknya suami istri pada umumnya. Yang setiap saat selalu berusaha memberikan kebahagiaan bagi pasangannya.

“Kau menyukainya?”

“Ya, ini benar-benar lezat,” puji Reyhan tiap kali ia menyantap makanan yang kubuat. Sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi di atasnya. Juga beberapa irisan tomat yang masih segar.

Aku sering membuatkannya karena aku tahu Reyhan sangat menyukai nasi goreng. Lagi pula aku juga ingin agar ia lebih bersemangat saat makan. Belakangan ini aku sedikit khawatir kepadanya. Reyhan tidak seperti dulu lagi. Maksudku tubuhnya semakin terlihat kurus. Beberapa kali ia bahkan jatuh sakit.

Tapi seperti yang sudah kuduga, memaksa Reyhan agar pergi ke dokter sama saja seperti berbicara dengan tembok. Ia selalu saja mengalihkan pembicaraan tiap kali aku meminta untuk memeriksakan kesehatannya. Benar-benar membuatku kesal.

“Aku baik-baik saja, San. Jangan terlalu khawatir seperti itu,” selalu saja hanya alasan tersebut yang keluar dari mulutnya. Aku tahu ia tidak suka jika aku memaksa. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur gelisah.

“Tapi bukankah lebih baik jika—”

“Sandra,” potong Reyhan. Jika sudah begitu aku hanya bisa mendengus kesal. Reyhan memang sosok yang keras kepala, tapi aku tidak habis pikir mengapa ia tega membohongiku. Sebagai seorang istri, aku bisa merasakan bahwa Reyhan sedang menyembunyikan sesuatu. Sebuah rahasia yang tanpa sengaja kuketahui setelah aku menemukan selembar kertas di lemari, terselip di antara tumpukan baju yang tersusun rapi.

Saat itu aku sedang mencari kemejanya karena sehari sebelumnya ia memintaku untuk menjahitkan salah satu kancing yang terlepas. Dan saat itulah aku menjatuhkan sebuah amplop berwarna putih yang bergambar sebuah logo rumah sakit. Penasaran, aku bergegas membukanya.

Deg!

Seperti tersambar petir di siang bolong, tubuhku melemas seketika. Jantung seakan berhenti berdetak usai aku membaca apa yang tertulis di lembar kertas itu, isi dari amplop yang kupegang.

Mustahil. Bagaimana bisa ini terjadi? Bukankah aku selalu bersamanya?

“Rey.” Aku tersungkur ke lantai sambil menangis tersedu-sedu. Sedih, marah, kecewa, semua bercampur aduk menjadi satu.

Reyhan menderita kanker otak Stadium IV. Tak kuasa menahan emosi aku menghampiri Reyhan yang sedang duduk di ruang tamu.

“Apa ini, Rey?” suaraku yang serak cukup membuat Reyhan kaget. Ia menoleh dan terus berkilah. Pada saat yang sama aku terus mendesaknya agar berkata jujur padaku. Namun ketika aku baru saja menumpahkan amarah, Reyhan telah lebih dulu memelukku. Membuatku semakin yakin bahwa semua ini memang benar. Reyhan sakit. Teramat sakit.

“Maafkan aku, San. Aa—aku…,” ucapnya terbata-bata karena isak yang tertahan. “Aku mencintaimu dan aku tidak ingin membuatmu sedih.”

“Tapi kau sudah menyakitiku sekarang.”

“Maaf.”

“Kau jahat, Rey,” jawabku sambil berderai air mata.

Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa waktu begitu cepat berlalu. Aku benar-benar berharap agar detik bisa berhenti saat itu juga. Membiarkanku bahagia lebih lama dengan seseorang yang kucinta.

Hal ini memang benar. Kehilangan seseorang yang begitu berharga bisa membuat kita terluka. Tapi saat kau menyadari bahwa hanya tersisa sedikit waktu untuk membahagiakannya, itu jauh lebih menyakitkan. Membuatmu terjerumus dalam sesal yang mendalam.

***

Aku berusaha tegar di hadapan Reyhan, walaupun tak dapat kumungkiri bahwa rasa takut terus menghantuiku. Setiap detik dan menit yang kulewati bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Aku resah. Sedih. Takut.

“Istirahatlah. Biar aku saja yang membersihkannya,” ucapku sambil merebahkan kembali tubuh Reyhan di atas kasur. Sejurus kemudian aku membersihkan darah yang tercecer di lantai.

Belakangan ini kondisi Reyhan memang memburuk. Selain pingsan ia juga sering muntah darah.

“San, aku mohon maafkan aku.”

“Ssttt! Jangan katakan itu lagi, ya?” Reyhan menghela napas usai aku menempelkan jari telunjukku di bibirnya. Aku tahu ia merasa tidak enak terhadapku, tapi aku tidak peduli. Bagiku kesembuhan Reyhan adalah segalanya, meski mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi.

Setiap hari sejak aku mengetahui keadaan Reyhan yang sebenarnya, aku tak henti-hentinya menangis. Tentu saja tanpa sepengetahuannya, karena aku tidak ingin sampai Reyhan merasa terpuruk. Ia sudah cukup tersiksa dengan ujian yang berat ini. Seiring waktu fisiknya semakin lemah, hal yang kemudian merenggut semangatnya. Perlahan, ia mulai menyerah.

“San…,” ucapnya lirih. Aku yang baru saja terlelap langsung bangun. Duduk sejenak sambil mengerjapkan mata yang masih menyimpan kantuk.

“Iya. Ada apa, Rey?” tanyaku pelan, “apa kau perlu sesuatu?”

“Hm … bisakah kau buatkan secangkir teh untukku?” balasnya dengan suara yang lemah.

“Tentu. Tunggu sebentar, ya.” Aku bergegas menuju dapur lalu membuatkan secangkir teh seperti yang Reyhan minta. Beberapa menit kemudian, aku kembali ke kamar. Meletakkan teh yang masih hangat di atas meja di sisi ranjang, lantas mendekat ke arah Reyhan.

“Rey, ini tehnya.” Aku duduk di sampingnya sambil mengelus lembut lengan yang lemas itu.

“Rey?”

Tak ada jawaban.

“Rey, bangunlah. Ini aku bawakan tehnya.”

Hening.

“Rey … bangun, Rey.” Merasa panik, aku terus menggoyang tubuhnya. Menepuk pelan pipinya sambil menitikkan air mata. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?”

Melihat Reyhan yang tak kunjung membuka mata, jantungku semakin berdegup tak karuan.

“Rey, aku mohon bangunlah,” ucapku lebih keras. “Tidak, jangan seperti ini!”

Untuk kedua kalinya aku merasakan jantung ini berhenti berdetak. Mendadak aku tak mampu lagi berkata-kata dan hanya bisa menjerit dalam hati. Pelan, aku memeluk erat tubuh yang terbujur kaku itu. Membelai lembut wajah yang memucat dengan guratan senyum yang kurindukan.

Aku tidak pernah menyangka bahwa Reyhan akan pergi secepat ini. Barulah dua bulan berlalu setelah kabar penyakitnya itu kuketahui, dan sekarang ia sudah meninggalkanku bersama kenangan yang begitu berharga. Dua bulan sisa yang kami gunakan untuk mengukir kisah cinta yang setia.(*)

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Penggemar Spongebob dan Harry Potter.

Fb: Triandira.

Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

 

Leave a Reply