Cinta dan Buta
Oleh : Nai Yati
Marini menggigiti kukunya dengan gelisah. Sudah jamu kelima yang dia minum, tetapi belum juga menimbulkan reaksi seperti yang dikatakan orang-orang. Ia masih segar bugar hanya sedikit cenat-cenut samar di bagian perut bawahnya. Sisanya? Biasa saja.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada Aryo, seorang pemuda jangkung berjaket denim yang duduk di sebelahnya. Pemuda itu tampak sama kalutnya. Berkali-kali dia meremas rambut belah tengahnya.
“Besok kita coba ke rumah Mak Esih.”
“Siapa dia? Mau ngapain?” Marini kini memutar setengah badannya hingga menghadap Aryo yang mengenyakkan diri di sandaran bangku besi alun-alun.
“Aku pernah dengar dari Susilo kalo di dekat rumahnya ada dukun beranak yang bisa bantu mengeluarkan janin yang belum waktunya.”
“Bagaimana caranya?”
Aryo menegakkan tubuh dan menatap Marini. “Diurut. Memang katanya sedikit sakit tapi ampuh.”
Marini meremas ujung kausnya. Gadis berkepang dua itu bergidik ngeri dengan mata terpejam. Pasti rasanya akan sangat menyakitkan.
“Gak bisakah kita pertahanin anak ini aja, Aryo? Sepertinya bayi ini sangat kuat. Dia ingin hidup. Berkali-kali minum jamu yang kamu kasih tetap saja gak bereaksi. Aryo, bukankah kita saling mencintai? Mari kita beritahu orang tua kita dan menikah saja. Kita besarkan anak ini sama-sama.”
Sebelah ujung bibir Aryo naik dan menatap Marini lekat-lekat. Ada yang berkilat di kedua bola matanya.
“Kalo kamu begitu ingin anak itu, ya udah rawat saja! Tapi jangan harap aku mau menikahimu. Dengar! Perjalanan hidupku masih panjang. Aku masih harus kuliah dan wujudin keinginan orang tuaku untuk menjadi pegawai negeri. Aku ga punya waktu buat urusan bayi sialan dan pernikahan. Aku masih muda!”
Hati Marini hempas meski dari awal ia beritahu kehamilannya Aryo sudah menunjukkan rasa marah. “Lalu aku bagaimana? Bukan kamu saja yang punya kehidupan. Aku juga masih muda. Masih ingin mengejar cita-cita.”
“Makanya, turuti saja apa kataku! Gugurkan anak itu bagaimana pun caranya!”
“Apa kamu ga cinta lagi sama aku, Aryo? Bukankah ini juga tanggung jawabmu?”
Pemuda berparas tampan itu menghela napas panjang. “Aku cinta sama kamu. Dan ini bentuk tanggung jawabku. Aku gak mau janin itu menghambat masa depan kita. Jika kamu juga mencintaiku maka pasti kamu akan menurutiku. Aku janji, kita akan menikah nanti di saat kita sama-sama dewasa dan mapan.”
Marini menunduk, menatap ujung sandalnya dengan hati gamang.
“Coba kamu pikir, Mar. SMA saja kita belum lulus. Mau kita kasih makan apa anak itu nanti? Kamu pun bukannya pengen jadi bidan? Kalo sekarang punya anak, masa depan kita akan hancur! Lagipula, bagaimana kata orang? Orang tua kita bisa mati berdiri. Apalagi orang tuaku. Mereka sangat keras. Bisa mati aku di tangan mereka!”
Air mata menuruni pipi Marini. Rasa sesal terbit karena begitu mudahnya ia memberikan kegadisannya pada kekasih sekaligus teman sekelasnya itu. Hanya bermodal rayuan dan kata-kata cinta, ia rela merebahkan diri di kubangan maksiat. Memahat dosa yang kini menuntut pertanggungjawaban.
“Percayalah padaku, Mar. Besok, aku akan menunggumu di rumah Susilo. Kita harus cepat, ujian akhir sebentar lagi!”
“Tapi, aku takut.”
Aryo turun dari bangku besi, lalu menekuk kakinya, berlutut sambil menggenggam erat tangan Marini. “Aku sangat mencintaimu,” ucap Aryo terlihat sungguh-sungguh.
“Aku mohon, ini semua demi kebaikan kita. Demi cinta kita.” Aryo mengecup punggung tangan Marini mesra membuat hati wanita itu kembali luruh. Kembali ingin melakukan apa saja demi melihat lelaki itu tersenyum.
***
Marini menjerit-jerit tertahan karena mulutnya disumpal kain. Sakitnya terlalu sulit dijabarkan. Rasanya ia lebih memilih untuk mati saja daripada harus melewatkan setiap detik bersama sepuluh jemari keriput dengan tenaga luar biasa yang mengurut-urut perutnya.
Mak Esih, wanita berambut perak itu terus merapalkan sesuatu saat telapak tangannya mendorong keras bagian atas perut Marini hingga ke bawah pusar. Kemudian gerakan menyapu dia lakukan dari kedua samping perut dan terakhir menyasar perut bagian bawah.
“Janinmu masih kecil tapi sudah kuat. Tapi nanti sehabis diurut dan minum ramuan, pasti luruh sendiri. Jangan kaget jika tiba-tiba ada darah banyak yang keluar.” Mak Esih berkata setelah menghabiskan waktu mengurut kurang lebih setengah jam.
Di lantai semen beralaskan tikar pandan Marini telentang, terkulai tak berdaya. Tenaganya terkuras habis. Wajahnya pucat dengan keringat membanjiri seluruh tubuh.
“Ini jamu bikinan emak. Minum yang ini sekarang dan yang di botol, minum di rumah. Habiskan dalam tiga hari.” Mak Esih menyodorkan satu gelas tinggi dan sebotol air mineral ukuran satu liter setengah berisi cairan hitam pekat ke samping tubuh Marini.
“Emak udah siapin jamunya dari sejak Susilo bilang ada temannya yang butuh bantuan emak dua hari lalu.”
Marini mual, melirik jijik. Bagaimana bisa menghabiskan jamu sebanyak itu?
“Harus habis jika ingin hasilnya maksimal.” Mak Esih kembali mengingatkan.
“Rapikanlah pakaianmu dan minum jamu ini dulu sebelum emak manggil Susilo kemari untuk menjemputmu.”
Tetapi Marini belum juga bergerak. Serasa seluruh tubuhnya telah mati rasa dan lumpuh. Hanya pikirannya saja yang terus aktif berpikir. Termasuk memikirkan Aryo yang ternyata tak datang ke rumah Susilo dengan alasan ada keperluan mendadak.
“Ayo, sini.” Mak Esih akhirnya membantu Marini untuk duduk.
“Cepat minum, biar cepat reaksi.” Mak Esih menyodorkan gelas jamu ke depan wajah Marini. Hampir saja Marini muntah saat aroma busuk yang menguar dari gelas jamu menusuk lubang hidung.
“Ayo!” Mak Esih setengah memaksa. Dia tak ingin mengecewakan temannya Susilo yang telah memberi uang tunai sejuta untuk tugas ini.
Gemetaran tangan Marini saat mengangkat gelas tinggi itu. Isi perutnya bergolak, menolak jika cairan itu membasahi kerongkongan, lalu meluncur ke lambungnya.
“Tutup mata dan pencet hidungmu!” Mak Esih makin tak sabar.
Ragu, Marini menuruti ucapan wanita tua itu, tetapi kelebatan wajah memelas Aryo yang penuh cinta kembali membuatnya bertekad. Ia harus membuang janin itu sesakit apa pun jalannya. Namun, baru seteguk jamu itu sampai di kerongkongan, Marini sudah ingin menyerah. Rasa jamu itu sangat pahit dengan sensasi kecut dan kesat yang menempel di lidah.
“Ayo habiskan! Kamu harus bisa menggugurkan janin itu. Sudah terlanjur di obok-obok. Kalo setengah-setengah, bayi itu bisa saja hidup, dan kalo hidup, bayimu bisa saja lahir cacat!”
Mendengar hal itu Marini syok, lalu perlahan menatap perutnya yang masih tertutup kain sarung.
“Jangan merasa terlalu sedih. Dosamu memang sudah besar dengan memutuskan datang kemari. Ayo habiskan! Kamu hanya akan lebih berdosa jika kamu biarkan bayi itu nanti lahir cacat.” Mak Esih menatap Marini dengan wajah masam, lalu bangkit tertatih meninggalkan Marini yang didera jutaan perasaan aneh menyesakkan.
***
Perlahan mata Marini mengerjap, lalu terbuka. Awalnya kabur dan berkabut, meski lama-lama terasa silau dengan ruangan yang didominasi serba putih. Kepalanya berat, meski hanya sekadar untuk menoleh ke kiri dan kanan dengan telinga sedikit berdenging.
Suara percakapan terdengar sayup-sayup. Hingga akhirnya semakin jelas dan ramai. Marini baru sadar jika di sana ia tak sendirian.
Di mana ini? Marini membatin. Seingatnya, terakhir kali ia duduk di pinggir ranjang sepulang dari rumah Mak Esih sambil bersiap meminum jamu. Iya, jamu. Ia ingat betul telah menghabiskan hampir setengah botol besar itu. Kata-kata Mak Esih terus terngiang-ngiang hingga ia memutuskan untuk meminum jamu itu banyak-banyak agar semakin cepat bereaksi.
“Kamu sudah sadar?”
Marini mendapati sosok ibunya datang dan berdiri di sampingnya. Wajahnya pucat dengan mata bengkak lagi merah. Dalam seumur hidupnya, ia baru melihat ibunya begitu lelah dan terlihat jauh lebih tua.
“Syukurlah, kamu baik-baik saja. Kamu hampir saja mati keracunan.” Parau suara ibu Marini dengan bibir bergetar-getar. “Janinmu pun beruntung masih bisa diselamatkan.”
“J-janin? J-janin i-itu m-masih hidup?” Marini bergumam panik. Matanya membeliak dan kata-kata Mak Esih terdengar semakin keras di telinganya. (*)
Cilegon, 20 Oktober 2021
Nai Yati, ibu dua anak kelahiran Ciamis yang hobi membaca, menonton film, dan drama korea.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata