Cinta Buta

Cinta Buta

Cinta Buta

Aku meringkuk di sudut kamar sambil sesenggukan. Menatap nanar pintu yang tertutup rapat dengan jantung yang berdegup kencang. Sudah lima belas menit lamanya aku berdiam diri, dan tak beranjak sedikit pun dari tempat itu.

Brak!

Suara menyeramkan yang membuat bulu kudukku berdiri terdengar lagi, dan lebih keras dari sebelumnya. Karena penasaran akhirnya aku memutuskan untuk memeriksanya. Melangkah pelan dengan sedikit keberanian yang tersisa, lalu mematung di balik pintu saat sekelebat bayangan muncul di belakangku. Aku tahu karena bisa merasakannya, dan meskipun kamar dalam keadaan gelap tapi lampu teras masih menyala.

“Siapa?” ucapku dengan tubuh gemetaran. Menghela napas berkali-kali setelah beberapa menit tak mendengar jawaban. Malam ini memang sedikit berbeda dari biasanya. Sejak pagi aku merasa tak tenang. Hati pun seolah mengatakan bahwa ada hal buruk yang mungkin akan terjadi. Saking gelisahnya, aku bahkan tak menghabiskan sarapan dan enggan bersekolah. Sampai tak lama kemudian, seorang teman datang menjemputku.

Seperti biasa, ia duduk di atas motor butut kesayangannya dengan mesin yang masih menyala. Menungguku keluar dan datang menghampirinya.

“Ayo,” ajakku sambil mengenakan helm yang ia sodorkan. Tapi bukannya bergegas membawaku pergi dari halaman tempat kami berada, ia malah mematikan mesin motor dan menatap heran ke arahku.

“Kau baik-baik saja, kan?”

Aku menganggukan kepala sambil mengusap keringat dingin di wajah, “Ya, seperti yang kau lihat. Aku….”

“Tapi wajahmu terlihat pucat.”

“Benarkah? Ehm, mungkin karena aku terlalu lelah. Belakangan ini banyak hal yang kukerjakan dan…,” ucapku sedikit gugup, lalu menoleh ke belakang. “Suasana di rumah sedang tidak nyaman.”

Ia mengernyitkan dahi lantas tersenyum tipis. “Itulah kenapa aku tidak pernah ingin masuk ke rumahmu.”

“Apa kau bilang?”

“Lupakan.” Tanpa mempedulikan tatapan bingungku, Jason—teman sekelasku itu—langsung menyalakan motornya. Sejurus kemudian kami pun pergi, menuju sekolah yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari rumah. Tempat yang dulu begitu aku impikan. Demi bisa menuntut ilmu di sana, aku sampai belajar siang dan malam agar hasil ujianku memuaskan. Salah satu syarat yang harus kupenuhi jika ingin tercatat sebagai siswa di sekolah tersebut. Bukan hanya itu, aku juga rela tinggal bersama Carol kakakku dan meninggalkan Ibu di sebuah rumah tua—di pinggiran desa, seorang diri.

Tadinya aku tinggal di asrama sekolah, tapi karena Carol jarang menjengukku, akhirnya Ibu mendesak agar kami tinggal bersama.

“Anggap saja ini sebagai cara agar Ibu tidak khawatir lagi terhadapmu,” pintanya kala itu. Aku yang tak tahu lagi harus mengatakan apa, hanya bisa menganggukkan kepala. Lagi pula semua yang Ibu ucapkan ada benarnya juga. Carol bisa memiliki waktu lebih banyak untuk menjagaku, dan aku bisa membuat Ibu merasa tenang.

“Baiklah, Bu. Jangan pikirkan soal itu,” ujarku meyakinkan Ibu.

Dua hari setelahnya, aku sudah tinggal bersama Carol. Awalnya semua berjalan normal, sampai sebulan berlalu aku mulai merasakan keanehan di rumah itu. Mungkin Jason juga merasakan hal yang sama ketika menjemputku untuk pertama kalinya, ia tampak gugup dan mendadak saja mengurungkan niat untuk mengajakku jalan-jalan.

Waktu itu Jason ingin membersihkan kemejanya yang kotor setelah terkena cipratan lumpur di jalan. Karena jaraknya yang lebih dekat dari ruang tamu, jadi kusuruh saja ia memakai kamar mandi yang berada di belakang kamar Carol. Sementara menunggu ia kembali, aku pergi ke dapur dan membuatkannya minuman. Namun baru saja meletakkan secangkir kopi di atas meja, Jason sudah berdiri di belakangku dengan wajah tegang.

“A—aku harus pergi sekarang,” pamitnya tiba-tiba sambil melangkah keluar tanpa menghiraukan perkataanku. Meski aku tak tahu mengapa ia bersikap demikian, tapi yang jelas Jason tak mau lagi masuk ke dalam rumah, tiap kali ia menjemput dan mengantarku pulang. Namun yang paling mengherankan dari semua itu adalah ia sering menanyakan keadaanku. Apakah aku baik-baik saja, dan apakah aku tidak ingin kembali ke asrama.

“Harusnya aku yang bertanya seperti itu,” balasku ketika kami tengah asyik berbincang sepulang sekolah.

“Kau pikir ini lucu?” potong Jason. “Baiklah, aku hanya berharap kau berada di tempat yang tepat.”

Sebelumnya aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapannya itu, bagiku Jason tak jauh beda dengan Ibu. Sering mencemaskan sesuatu tanpa sebab. Tapi perlahan aku mulai menyadari bahwa sikap yang ia tunjukkan bukan tanpa alasan, karena sekarang aku pun merasa cemas, juga takut. Terkurung sendirian di dalam kamar dengan perasaan tak karuan. Parahnya lagi, aku tak tahu harus melakukan apa.

Jangan keluar dari sini jika bukan aku yang memintanya. Ingat itu!

Baru saja hendak membuka pintu, kalimat itu terngiang lagi di telingaku. Membuatku ragu untuk kembali melangkahkan kaki, tapi berada sendirian dalam ketakutan yang mendalam juga bukan hal yang kuharapkan.

“Apa yang harus kulakukan sekarang?” gumamku dalam hati. Di detik berikutnya, suara yang lebih menyeramkan terdengar keras. Disusul jeritan seseorang yang sedang menangis, memecah kesunyian malam.

Aku bingung bukan kepalang saat pintu tak kunjung terbuka. Apalagi suaraku juga sudah serak karena terus berteriak.

“Argghh!!!”

Aku berjingkat. Usai mendengar teriakan itu hatiku semakin gelisah, hingga akhirnya aku mengobrak-abrik isi lemari juga laci yang ada di dalamnya—di dekat ranjang. Mencari benda tajam yang bisa kugunakan untuk mencongkel pintu. Namun di luar dugaan, aku malah menemukan benda yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Kunci cadangan yang Carol letakkan di salah satu laci.

Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku bergegas membuka pintu lalu keluar dengan jantung yang berdetak cepat. Berlari melewati tangga menuju ruangan di mana suara jeritan itu berasal.

“Dasar istri tidak tahu diri!”

“Hentikaaan!” teriakku keras sambil meneteskan air mata. Tapi sayang, semuanya sudah terlambat. Di saat pintu sudah terbuka lebar, Carol sudah tergeletak di atas lantai dengan darah yang berceceran di sekitar tubuhnya. Sementara itu, tepat di depannya berdiri seorang lelaki yang kini menatap tajam ke arahku.

Aku terpaku. Tak mampu lagi menjerit atau pun melontarkan sepatah kata. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Dan sekarang aku mengerti mengapa Carol selalu melarangku keluar kamar ketika mereka bertengkar. Sebab ia takkan tega membuatku terluka hanya untuk menyaksikan kekejaman suaminya. Sebuah penyiksaan atas dasar kecemburuan karena cinta yang terlalu dalam.

Cinta?(*) 

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Penggemar Spongebob dan Harry Potter. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun fb dengan nama Triandira. Email: triwahyuu01@gmail.com

Profil penulis: Triandira

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita