Cinta Bisa Tumbuh atau Memudar, Itu soal Waktu, Bukan Kita

Cinta Bisa Tumbuh atau Memudar, Itu soal Waktu, Bukan Kita

Cinta Bisa Tumbuh atau Memudar, Itu soal Waktu, Bukan Kita

Oleh: Lily Rosella

Aku tidak tahu apa yang orang maksud dengan cinta, hanya saja aku berada di sini, duduk di kursi goyang bersamamu dan menikmati waktu saat rambut kita telah memutih. Tidak ada siapa-siapa di rumah, hanya ada aku dan kau, sementara anak-anak kita telah tumbuh semakin dewasa dan memiliki anak-anak mereka sendiri.

Kau ingat, kita jatuh cinta sebelum memutuskan untuk menikah, memadu kasih dalam ikatan suci. Untuk waktu-waktu awal yang kita lewati semua terasa mudah dan indah, bahkan makan sepiring berdua denganmu saat uang tabungan kita menipis pun menjadi sesuatu yang romantis.

Kita melewati banyak hal, terutama saat kau hendak melahirkan anak pertama kita. Aku berdiri di sampingmu sambil memegang erat tanganmu, tak bisa kulupakan bagaimana rasanya, padahal sudah basah tubuhku oleh keringat dingin yang membanjiri. Dan setelah suara tangis anak sulung kita terdengar, juga melihatmu yang masih baik-baik saja dan tetap bertahan di sisiku, itu adalah sebuah keajaiban yang takkan pernah bisa kulupa meski usia memakan ingatanku.

Waktu terus berjalan, manis pahit kehidupan tentu telah kita lalui. Setiap hari tak ubahnya seperti kemarin, selalu itu-itu saja yang kita bahas, tentang keuangan, anak-anak, juga rutinitas dan kewajiban satu sama lain. Kadang hubungan ini sering kali dibumbui dengan pertengkaran, dari skala kecil sampai skala besar. Semua tidak lain adalah kita yang masih belum dewasa meski usia tentu telah menetapkan kita sebagai orang dewasa, orang tua malah.

Hanya saja, setelah waktu berlalu cukup lama, mungkin ketika aku dan kau menginjak usia 40 tahun lebih, hubungan bukan lagi tentang cinta. Hampir tidak ada obrolan seputar kita, berpikir bahwa banyak hal yang lebih penting ketimbang itu. Sementara kita asyik dengan kesibukan juga dunia sendiri, maka dinding kokoh yang sempat kita bangga-banggakan perlahan terkikis. Lantas kita melewati hari-hari yang semakin hambar dan dingin setelahnya.

Kita bukan lagi remaja, bukan lagi orang dewasa, kini kita telah menjadi orang tua, memiliki anak-anak dan bahkan kau telah menggendong cucu pertamamu tak lama setelah anak sulung kita diwisuda 3 tahun lalu dan menjadi seorang dokter seperti harapanku. Tak lama setelahnya, yang lain menyusul, satu per satu, meninggalkan kita, memiliki kehidupan sendiri dan keluarga baru. Menyisakan aku dan kau juga banyak kenangan di rumah yang telah kita tempati berpuluh-puluh tahun ini.

Kita berada di sini setelah sekian lamanya, sama-sama baru menyadari bahwa waktu menuntun kita untuk kembali ke masa muda, di mana hanya ada kau dan aku. Bedanya, kita tidak lagi merancang tentang masa depan, melainkan duduk di teras, menikmati hangatnya matahari pagi atau sore ditemani secangkir teh panas, bercerita dan tersenyum mengenang masa lalu. Masa yang susah payah kita rajut bersama meski seringnya perasaan hambar terasa lebih dominan dan membuat kita jenuh juga berpikir untuk menyerah daripada bertahan. Dan semua itu rasanya baru terjadi kemarin.(*)

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.
FB: Aila Calestyn Lily Rosella
Email: Lyaakina@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita