Cinta bagi Dena
Oleh : Mega Yohana
Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati, katanya. Seperti suara yang muncul dengan vibrasi yang mengusik keteraturan detak jantung Dena.
Dari matamu, matamu, ‘ku mulai jatuh cinta.
‘Ku melihat, melihat, ada bayangan.
Dari mata kau buatku jatuh, jatuh terus, jatuh ke hati.
Dena mendengarkan suara bariton itu sembari tersenyum. Kepalanya berayun ke kiri dan ke kanan mengikuti irama petikan gitar. Suara keriut di sampingnya memberi tahu Dena bahwa ibunya telah bangkit dari kursi. Langkah-langkah kaki sang ibu terdengar menjauh.
“Terima kasih,” ucap si suara bariton setelah berhenti bernyanyi.
Langkah kaki ibunya kembali mendekat. Dena tersenyum dan mendongak. “Suaranya bagus, ya, Bu?” tanyanya.
“Ya.” Ibunya menjawab singkat sebelum kembali duduk di kursi sebelah Dena.
Dena kembali tersenyum. Cinta datang dari mata, turun ke hati. Seperti lagu yang dinyanyikan si pemilik suara bariton itu.
***
Kulihat lagi wajahnya, kulirik lagi dia.
Semakin kupandang wajahnya, semakin rupawan.
Suara bariton beriring petikan gitar itu kembali mengusik Dena. Kali ini, Dena sedang duduk sendirian di teras. Ibunya tadi pamit pergi ke pasar besar bersama ayahnya. Pak Parman, tukang kebun Dena, berada di belakang rumah, sedangkan Bi Minah memasak di dapur.
Matanya memancarkan cinta.
Senyumnya manja nan menggoda.
Gayanya wajar memesona.
Siapa dia, hei?
Dena tersenyum dan menegakkan punggung. Petikan gitar bernada ceria itu membuat nuansa hatinya cerah pagi ini, jika ini masih pagi.
Geregetan, oh, aku geregetan. Apa yang harus kulakukan?
Geregetan, oh, aku geregetan. Mungkinkah aku jatuh cinta?
Kucoba, kusapa dirinya. Kutanya siapa namanya.
Kudengar desah suaranya, oh, lengkaplah sudah ….
Pria itu terus bernyanyi dengan nada-nada ceria hingga petikan gitar yang terakhir. “Permisi,” ujarnya setelah selesai bernyanyi, menyadarkan Dena dari keterpanaannya.
“Ya?” Dena bertanya, tetapi dia lalu teringat. “Oh, maaf, aku tidak bisa memberi uang,” ujarnya sembari menunjukkan kedua telapak tangannya yang kosong. “Aku bahkan tidak tahu wujud uang seperti apa.” Dena tertawa kikuk. “Maaf.”
Hening sesaat. Kemudian, pernyataan pria itu mengejutkan Dena.
“Kau memiliki mata yang indah,” ujarnya. “Dan senyum secerah mentari pagi ini.”
Dena menunduk. Dia merasakan pipinya memanas. “Terima kasih.”
Hening lagi.
Keheningan ini membuat Dena tidak nyaman. “Kau masih di situ?” tanyanya.
Si pria berdeham. “Ya,” jawabnya.
“Kau memiliki suara yang menawan,” tukas Dena jujur. Pria itu berdeham lagi.
“Terima kasih.”
Dena tersenyum dan mengangguk.
“Boleh aku … tahu namamu?”
“Dena.”
“Dena. Aku Niko.”
“Hai, Niko.”
“Hai.”
Kikuk. Obrolan singkat-singkat itu terasa kikuk, tetapi juga nyaman. Entah mengapa, Dena merasa tenang mengobrol dengannya. Orang tua Dena selalu mewanti-wantinya untuk tidak sembarangan berbicara dengan orang lain, tetapi Dena merasa dia aman bersama Niko. Itu lucu sebenarnya, sebab Dena sama sekali tidak mengenal pria ini selain bahwa dia kerap datang untuk bernyanyi.
Niko berdeham. Tampaknya, itu kebiasaan dia jika ingin mengungkapkan sesuatu.
“Kurasa, aku akan pergi sekarang.”
Dena mengangguk. “Terima kasih untuk lagunya.”
Hening lagi sesaat. Suara Niko terdengar salah tingkah saat dia menjawab, “Untukmu. Maksudku, ya. Terima kasih. Maksudku, sama-sama.”
Senyum Dena melebar. Dia tidak tahu warna langit pagi ini atau bagaimana matahari bersinar, tetapi pagi Dena kali ini terasa sangat cerah.
***
Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati, katanya. Namun, tidak bagi Dena. Cinta bagi Dena berasal dari suara yang didengarnya.
Satu kata yang sulit terucap hingga batinku tersiksa.
Tuhan, tolong aku, jelaskanlah. Perasaanku berubah jadi cinta.
Tak bisa hatiku merapikan cinta, karena cinta tersirat bukan tersurat.
Meski bibirku terus berkata tidak, mataku terus pancarkan sinarnya.
Apa yang kita kini tengah rasakan, mengapa tak kita coba persatukan?
Mungkin cobaan untuk persahabatan, atau mungkin sebuah takdir Tuhan?
Cinta, ya? Cinta datang dari mata turun ke hati, katanya. Akan tetapi, bagi Dena, cinta datang dari suara menawan yang tertangkap telinganya. Telah berapa lama berlalu sejak obrolan singkat yang kikuk itu, ya? Kali ini, suara tersebut terdengar dari samping Dena, dengan satu lengan melingkari pinggang perempuan itu. Musiknya terdengar penuh dan ramai oleh kebahagiaan.
Dena meraba cincin yang melingkar di jari manisnya sebelah kiri. Bibirnya tersenyum. Bagi orang-orang yang melihat—orang tuanya, Pak Parman, Bi Minah, Niko, dan orang-orang yang datang untuk memberikan selamat—senyuman Dena tampak sangat menawan.
Sebuah kecupan yang mendarat di pelipis Dena membuat senyumnya melebar. Mungkin, ini adalah takdir Tuhan. (*)
Kaki Gunung Kelud, 31 Mei 2020
Mega Yohana, sesekali menulis dan sesekali menyunting naskah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata