Cinderella at 12 A.M.
Oleh: Evamuzy
Terbaik ke-14 Tantangan Lokit 9
Saat ego mencekal logika dan hati manusia, saat itu pula cinta dan kasih mulai terperdaya, terurai lebur hakikatnya. Namun, selagi napas masih memburu di urat nadi, maka bagi raga, jiwa dan nyawa, terbuka pintu untuk berbenah diri.
***
“Teman-teman lihat sini, deh. Aku punya buku baru.” Cindy, siswi yang beberapa bulan ini menjadi populer di sekolah karena orangtuanya yang seorang pengusaha kaya raya, menunjukan sebuah buku cerita bersampul ungu muda dengan gambar seorang putri yang sangat cantik turun dari kereta kencana. Indah. Buku cerita yang sangat cantik dan begitu menarik perhatian para teman perempuan di kelas. Termasuk aku.
“Wow … cantik sekali. Ini buku cerita berbahasa Inggris ya, Dy? Kita tak pandai bahasa Inggris, Dy.”
“Bukan, kok. Ada dua bahasa di dalamnya. Inggris dan Indonesia. Ayahku yang membelikan ini. Bagus, kan?” Terangnya berbangga diri. Sesekali mendongakkan dagunya kepada teman-teman. Aku, dari tempat dudukku—yang dulu juga tempat berbagi meja dengannya—menatap dengan rasa ingin tahu yang sama besarnya dengan teman yang lain.
“Ayahmu memang terbaik, Dy. Kau sangat beruntung,” ucap salah satu teman. Farah namanya.
“Aku boleh pinjam bukunya, Dy?” Aulia, gadis manis berkulit putih itu menyampaikan keinginannya.
“Aku juga, aku juga, Dy,” sahut yang lainnya.
“Iya, iya, sabar ya. Pinjamnya antre, dong. Dan satu! Jangan sampai lusuh kertasnya. Ini buku kesayanganku.”
“Iya, Dy. Atau boleh tidak, Kau ceritakan isi bukunya kepada kita?”
“Baiklah. Dengarkan, ya.” Gadis bermata bulat itu memulai ceritanya. “Buku ini menceritakan tentang seorang gadis cantik yang dibenci oleh ibu dan dua saudari tirinya. Lalu dia bertemu dengan seorang pangeran di sebuah pesta indah berkat pertolongan penyihir baik.
Gaun yang sangat indah, tatanan rambut dan riasan wajah bak seorang bangsawan, menemaninya malam itu. Membuat semua pasang mata terpesona dan jatuh hati, tak terkecuali sang pangeran. Lalu, tepat di jam dua belas malam, si gadis harus segera pulang karena keajaiban yang bersamanya malam itu akan musnah. Karena buru-buru, satu sisi sepatu kaca yang dipakai sang gadis tertinggal di tangga istana. Kesokan harinya, sang pangeran mencari sang gadis di semua sudut kota. Berbekal satu sisi sepatu kaca itu, sang pangeran menemukan sang gadis yang ternyata bernama Cinderella. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia.”
“Wah, keren.” Teman-teman semakin ingin meminjam buku cerita bergambar itu, bahkan tak sedikit bermimpi memilikinya.
“Oh, ya. Aku juga dibelikan sepatu cantik yang mirip di cerita itu oleh ayahku,” imbuh Cindy.
Setelah kumpulkan keberanian, langkah kakiku pelan menuju tempat duduk Cindy. “Aku boleh meminjam bukunya, Dy? Sehari saja.”
“Apa? Tidak! Bisa-bisa bukuku kotor jika harus menginap satu malam saja di kamar berdebumu itu.”
“Sehari saja, Dy.”
“Tidak! Tidak akan!”
Cindy adalah teman satu kamarku di panti asuhan “Kasih Bunda” ratusan malam itu. Kami bahkan bukan lagi teman biasa. Kami adalah sahabat juga saudara. Iya, bagi kami yang ditakdirkan harus hidup tanpa orangtua, wajah-wajah baru yang kita temukan di dunia ini, akan dengan mudahnya menjadi keluarga meski tak ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kami.
Kami. Aku dan Cindy, terbiasa melakukan banyak aktivitas bersama. Mencuci piring bekas makan teman-teman panti, membersihkan kolam dan kamar mandi, melipat baju, menyapu halaman bersama-sama, juga merawat berbagai warna-warni kelopak elok yang tumbuh pada gundukan kecil tanah dalam pot-pot plastik hasil tanam jemari telaten Bu Santi, Ibu panti kami.
Kami juga tak jarang terlelap di balik selimut putih bermotif garis-garis yang sama, saling meminjam seragam, baju, kerudung sampai sepatu untuk ke sekolah. Aku menyayanginya, dia pun terlihat demikian, menyayangiku dengan sepenuh hatinya.
“Kita akan bersama selamanya, Nin. Sampai tua nanti,” janjinya kala itu dengan menggenggam jemariku. Dan benar memang, dia menepati janjinya, setidaknya sebelum kabar itu tiba, sebuah kabar baik yang datang untukku.
***
Enam bulan yang lalu.
“Nania, pulanglah cepat hari ini, Sayang. Ada yang ingin bertemu denganmu. Mereka ingin menjadikanmu bagian dari mereka. Ibu memilihmu, Nak, karena kau anak yang baik dan penurut,” pesan Bu Santi, di teras bangunan bergaya lawas panti kami sebelum aku berangkat ke sekolah. Saat itu tanganku juga sedang menggenggam erat jemari Cindy, hendak berangkat bersama seperti hari-hari biasanya.
“Iya, Ibu. Insyaallah Nania akan pulang lebih awal. Terima kasih, Bu.”
Kami kecup punggung tangan lembut perempuan penyabar yang telah bersedia mengabdikan ribuan siang dan malamnya untuk mengurus kami, para manusia kecil yang terpaksa bermental baja kerena tak banyak miliki tempat untuk bermanja. Tak seberuntung mereka yang duduk manis dengan wajah yang mudah sekali menangis di luar sana.
Langkah kaki kecil kami berjalan menuju sekolah. Aku belajar seperti hari-hari biasanya dengan hati sedikit tak biasa. Isi kepala dan dada ini bertanya-tanya, “Benarkah kabar baik itu ada? Bahwa ada sebuah keluarga yang akan membawaku merasakan rengkuhan lembut dan kasih sayang itu. Sebuah ruang hangat bernama keluarga. Benarkah itu tak hanya akan menjadi sekadar mimpi? Meski kasih sayang dari Bu Santi dan penghuni panti lainnya tak pernah cacat untukku. Hari ini pun kulalui dengan semangat lebih dari biasanya.
“Nania, kamu dipanggil Bu Indah di ruang guru.” Cindy memburuku, saat telah kuselesaikan tugas piket menyapu kelas lalu bergegas menggendong tas hendak pulang.
“Duh, bagaimana ya, Dy. Kau pasti ingat pesan Bu Santi agar aku pulang cepat. Aku takut beliau kecewa padaku.”
“Kau temui saja dulu Bu Indah di ruang guru. Aku akan pulang ke panti dan menyampaikan kepada Bu Santi bahwa kau sedang ada tugas dari Bu guru. Calon orangtuamu juga pasti akan bersedia menunggumu. Bagaimana?”
“Baiklah, Dy. Kau memang sahabat terbaikku. Terima kasih, Dy.”
Cindy berlalu dari hadapanku. Aku segera menuju ruang guru. Menemui Bu Indah lalu bergegas pulang. Takut nanti Bu Santi juga mereka yang mungkin saja benar sebentar lagi menjadi keluargaku akan kecewa karena telah menunggu lama.
Dengan langkah kaki secepat mungkin, aku menuju panti. Tak peduli lelahnya sendi-sendi kaki. Dua puluh menit setengah berlari, sampailah aku di ruang tamu panti.
“Nah, ini dia Nania. Kenapa kamu lama sekali, Nak?” Bu Santi memperkenalkanku pada sepasang suami istri yang terlihat baik hati, dengan dandanan yang sangat pas, cantik dan tampan.
“Maaf, Bu Santi. Tadi Bu guru Indah memanggilku, tapi entah setelah aku menemui beliau, katanya tidak ada apa-apa,” jawabku dengan raut wajah menyesal.
“Tidak apa-apa, Bu Santi. Sepertinya kami juga sudah suka dengan gadis manis ini, iya kan, Mas?” Wanita muda nan cantik itu menatap Bu Santi kemudian meminta persetujuan sang suami, sambil mengelus lembut rambut gadis kecil berusia sepuluh tahun yang duduk di tengah keduanya. Dan, gadis kecil itu adalah … Cindy.
Siang itu Cindy melangkahkan kaki, keluar dari kamar kecil kita, tanpa membawa satu pun barang miliknya, dengan senyum dan tatapan tak bersahabat biasanya. Meninggalkan luka pada hati. Bukan luka karena tak terwujudnya mimpi memiliki sepasang malaikat bernama orangtua, tapi karena kehilangan separuh jiwa yang dibawa oleh seorang sahabat dan saudara. Dia pergi, tanpa rangkaian kata yang tersulam menjadi sebuah janji untuk selalu bersama-sama selamanya.
***
“Nan, Bu Santi perhatikan tiga hari ini kamu selalu pulang terlambat. Apa ada jam tambahan di sekolah, Nak?” Suara bijak nan lembut itu bertanya padaku.
“Tidak ada, Bu,”
“Lalu kau kerjakan apa, Nak?”
“Nania pastikan bukan perbuatan nakal, Bu. Percayalah pada Nania.”
“Iya, lalu apa?”
“Nania janji ini hari terakhir Nania pulang terlambat, Bu.”
Aku segan hati untuk jujur kepada Bu Santi tentang apa yang sedang kukerjakan. Pergi ke pasar sepulang sekolah, menjadi gadis kecil pembawa kantong belanja para pembeli yang membutuhkan bantuannya demi sekeping uang. Untuk apa? Demi buku cerita seperti milik Cindy dalam dekapan. Aku harus mendapatkannya dengan jerih payah sendiri. Bu Santi sudah terlalu baik selama ini. Aku tak akan memintanya untuk membelikan buku cantik itu atau meminta uang kepadanya.
Kulangkahkan kaki menuju pasar sepulang sekolah. Iya, aku telah berjanji, ini hari terakhirku di sana. Uang yang telah kukumpulkan tiga hari ini ditambah beberapa uang yang akan kuperoleh—jika keberuntungan berpihak padaku—hari ini, kurasa sudah cukup untuk membeli buku impian itu. Sebenarnya di sekolah tadi, ingin kutanyakan kepada Cindy berapa harga buku itu dan di mana bisa membelinya? Namun sayang, dia tak masuk sekolah hari ini. Kudengar dari teman-teman, dia izin untuk pergi bersama ayahnya yang baru saja pulang dari luar negeri.
Melewati trotoar jalan raya menuju pasar. Di langkahku entah yang keberapa, terdengar dentuman keras dari arah pusat keramaian lalu lintas, beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku terdiam karena suara keras yang kini disambut dengan jeritan dan langkah lari orang-orang sekitar menuju pusat suara.
Karena penasaran, aku mengikuti langkah cepat mereka. Setelah menerobos keramaian yang dibumbui banyak jeritan, pemandangan menusuk jiwa terpampang di kedua netra. Sebuah sedan mewah warna hitam terlihat ringsek, rusak parah tak berbentuk sempurna. Diduga dengan kecepatan tinggi menabrak sebuah truk kontainer yang berhenti mendadak tepat di depannya.
Pintu mobil dengan keadaan mengenaskan itu terbuka, mempertontonkan beberapa penumpang di dalamnya. Seorang laki-laki paruh baya di belakang kemudi, luka parah di bagian kepala membuat sekujur tubuhnya kaku, orang-orang memastikan dia telah meregang nyawa. Keadaan yang tak jauh berbeda juga menimpa perempuan berkerudung yang duduk di sampingnya. Dan satu lagi, seorang gadis seusiaku tergeletak lemas di kursi penumpang belakang. Tunggu! Astaghfirullah … aku mengenalnya, dia … Cindy dengan buku bersampul cantik, bertuliskan “Cinderella at 12 A.m” dalam dekapannya.
“Yang kecil masih bernafas,” seru seorang bapak-bapak seraya membopongnya. Dia segera dilarikan ke rumah sakit setelah sebuah mobil ambulan datang ke tempat kejadian nahas itu. Namun sayang, kudengar di tengah perjalanan, dia menyusul kedua orangtua angkatnya. Cindy ….
***
Bunyi kokok ayam jantan saling bersahutan membangunkanku pagi ini, setelah semalam membantu acara tahlilan hari ketujuh mengenang Cindy dan keluarganya yang diadakan oleh panti. Aku bangun dengan menghadap ke sisi kanan, seperti awal kupejamkan mata, seperti apa yang diajarkan oleh Bu Santi. Terdiam, aku merasakan ada sesuatu yang menindih ringan telapak tangan kananku. Bukan selimut tidur yang biasa kugunakan atau bantal pipih yang biasanya tak sengaja berpindah posisi. Kubuka mata pelan-pelan. Sebuah buku berisi lembaran kertas berkisah dengan judul “Cinderella at 12 A.m” dan secarik kertas putih di atasnya. Kubaca kalimat yang tertulis di dalamnya.
Nania, perjalanan terakhirku dengan keluargaku waktu itu adalah untuk menemuimu di panti. Maafkan aku. Aku menyayangimu, Nan. Dan buku ini untukmu.
Cindy, di tempat terindah.(*)
Brebes, 1 November 2018
Evamuzy, gadis asal kota bawang, penyuka warna cokelat muda.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata