Cincin Perak

Cincin Perak

Cincin Perak
Oleh : Dyah Diputri

Ada hal aneh terjadi di kampus ini, tepatnya sehari setelah kuberikan cincin perak kepada Sandy. Sandy—pacar ketigaku setelah Mia dan Kareen—menghilang tanpa jejak. Sejak pagi hingga sore ini aku mencarinya di setiap sudut kampus, tapi tak ada tanda-tanda keberadaannya. Panggilan telepon pun tidak membuahkan hasil. Aku mencoba menghubungi adiknya. Betapa terkejutnya aku, Sandy bahkan tidak pulang ke rumah sejak kemarin. Aneh!

Ini bukan kali pertama, melainkan yang ketiga. Mia dan Kareen juga lenyap tanpa kabar sehari setelah aku memberikan keduanya cincin. Apa yang salah? Kenapa ini terjadi padaku? Mungkinkah ada penjambret yang menghadang gadis-gadis itu setelah melihat aksi romantisku? Ayolah, ini hanya cincin perak murahan yang kubeli di toko aksesoris. Sama sekali tak ada harganya jika dijual kembali. Namun, entah mengapa sampai detik ini polisi tidak bisa menemukan keberadaan mereka.

“Kali terakhir Sandy bersamamu, Ricky! Ayo, jujur saja, di mana kau sembunyikan temanku?” Ini suara sumbang ke sekian yang kudengar. Semuanya menanyakan hal yang sama. Di mana teman, adik, sepupu, atau anak mereka? Aku tidak tahu.

***

Lima bulan kemudian, aku berpacaran dengan Nania, senior Jurusan Sosiologi. Matanya bulat, lentik, dan berbinar setiap kali menahan semburat malu. Aku memujinya setiap waktu hingga ia luluh.

“Ricky, ini cincin untukku?” pekik Nania antusias.

Senyumku mengembang jika melihatnya bahagia. “Tentu ini untukmu. Bukan cincin yang mahal, tapi kuharap kamu suka,” ujarku sembari menyematkan cincin di jari manisnya yang berkuku bening.

Detik itu, dari jauh kulihat seorang gadis yang memakai kemeja merah di depan gerbang. Saat mata kami bertemu, dia buru-buru balik badan dan berlari meninggalkan kampus.

Keesokan harinya Nania menghilang.

***

“Hei, tunggu!” Aku terus berlari mengejar gadis berkemeja merah itu. Entah mengapa dia sering sekali menggunakan baju itu.

Gadis itu berlari semakin kencang, jelas untuk menghindariku. Ini pertemuan kelima kali dengannya. Anehnya, aku hanya melihat dia setiap kali aku memberikan cincin pada kekasih baruku. Pertama saat bersama Nania, selanjutnya bersama Terry, Diora, Angela, dan terakhir kemarin—ketika bersama Quins. Hari ini Quins menghilang dan gadis aneh itu memata-mataiku lagi.

Aku curiga, mungkin saja gadis itu ada hubungannya dengan hilangnya pacar-pacarku. Tebersit pikiran kalau-kalau dia cemburu melihatku mencintai orang lain, lalu dia melakukan sesuatu yang salah. Bayangkan, delapan kali aku menyatakan cinta pada gadis di kampus ini dan delapan kali pula aku kehilangan mereka dalam sekejap.

“Kena kau!” Aku berhasil menarik tangannya. Tangan yang halus sekali, putih bersih dengan jari manis tanpa cincin. Sudah kuduga, gadis ini pasti belum punya kekasih. Memang, sih, siapa juga yang mau dengannya? Tangan cantiknya tidak sepadan dengan rupa yang … so ugly!

“Tolong, lepaskan aku,” pintanya, merajuk sembari satu tangan membetulkan kacamata yang melorot ke hidung. Saat dia bicara, kawat gigi seakan-akan ikut mengucapkan salam.

“Katakan, siapa kamu? Kenapa akhir-akhir ini sering menguntitku?”

“A-aku … Reywin. Maaf, aku bukan menguntitmu. Aku hanya—”

Lama aku menunggu, tapi gadis bernama Reywin itu tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya memerah. Sepertinya dia memang hanya pemalu, sangat malu untuk mengatakan kagum padaku. Sepertinya lagi, gadis polos ini tidak mungkin punya pikiran cemburu atau jahat, layaknya dugaanku. Dia sangat polos.

“Kamu menyukaiku?” Aku menerka tanpa basa-basi.

Reywin mengangguk pelan. Wajahnya kembali memerah. Lucu sekali.

“Sayang sekali, aku tidak tertarik padamu. Aku hanya suka gadis yang cantik. Tahu kenapa?” Kutepuk kedua bahunya, dia harus siap dengan kalimatku selanjutnya. “Aku suka memberi cincin pada pacarku. Aku suka melihat jari manis yang lentik dihiasi cincin sederhana itu. Perfecto! Tidak ada keindahan yang lebih mahal dari itu. Tapi sayangnya, hanya gadis cantik yang pantas mengenakan cincin itu!” lanjutku.

Mata Reywin berkaca-kaca. Ditepisnya tanganku dari bahunya. Gadis jelek itu berlari tanpa pamit. Kuharap ini hari terakhirku bertemu dengannya. Aku hanya suka gadis yang cantik. Kau sebut aku playboy? Terserah saja!

***

Hari berganti hari, semakin sulit saja mencari pacar. Selepas kepergian Quins, belum ada satu gadis di kampus ini mampu melenakan pandanganku. Kalaupun ada, mereka pasti bersembunyi dariku. Mungkin mereka takut menghilang seperti pacarku yang sudah-sudah.

Tak ada rotan, akar pun jadi. Tidak di kampus ini, bisa kudapatkan di tempat lain. Asalkan dia cantik. Dan sore ini di depan supermarket dekat kampus, aku berkenalan dengan Sandra. Dia seorang pramuniaga di sebuah toko mainan yang ramah dan penyayang anak kecil.

Hanya butuh waktu seminggu untuk menaklukkan hati Sandra. Aku hanya perlu berperan menjadi seorang anak kecil yang butuh kasih sayang, sehingga dia akan membujukku untuk tidak menangis. Sabtu malam yang romantis, kuberikan cincin perak di jari manis Sandra.

Sialnya, malam yang manis, jari yang manis, gadis yang manis … selalu menjadi kata “kemarin”. Hari ini Sandra-ku menghilang.

Kepedihan tidak boleh berlangsung lama. Entah kutukan apa yang kualami. Hidup dan pencarian jati diri harus tetap berjalan sebagaimana semestinya. Lelaki pantang menangis, apalagi untuk yang tidak ada.

Masih banyak gadis yang berhak menerima cincin dariku, contohnya Meg. Hari ini dia menyatakan cinta lebih dulu padaku. Katanya, tampangku yang manis selalu membuat tidurnya tak tenang. Tentu saja, tidak ada wanita yang mampu menolak pesonaku. Harapanku, kekasih nomor sepuluh tetap setia menemaniku. Cincin perak itulah saksinya.

Namun, kesialan itu tak henti memburuku. Meg juga pergi entah ke mana. Oh Tuhan, siapa lagi selanjutnya?

“Ricky!” Sebuah suara yang lembut menyapaku malam ini. Suara yang tidak asing. Pernah kudengar, entah kapan.

“Kamu? Reywin? Kenapa terus mengikutiku? Oh, jangan-jangan selama ini kamu yang ada di balik kejadian aneh yang menimpaku!” tudingku.

Reywin kaget dengan hardikanku. Dengan gigi berkawatnya, dia membuat alibi. “Apa maksudmu? Aku hanya menyukaimu. Percayalah, aku cukup lama menjauh darimu, tapi hari ini kita tidak sengaja bertemu. Memangnya apa salahku menyukaimu?”

Sungguh, gadis ini sangat mengganggu pandanganku. Kata-katanya juga basi dan membuat perutku mual. Dia gadis jelek, harusnya dia sadari itu!

“Sekali lagi kukatakan padamu, aku benci melihat wajahmu. Enyah dan jangan menguntitku lagi!”

Kuremas pergelangan tangannya. Tangan yang halus dan bersih, kontras dengan wajahnya. Sayang, aku tidak punya cincin untuknya. Ke sepuluh cincin perak hanya tersemat di jari yang manis. Namun, apa salahnya dengan telapak tangan Reywin yang memang memikatku ini?

Malam ini, Reywin tersipu malu. Aku agak melunak padanya. Biar dia merasa bahagia sebelum menghilang keesokan harinya.(*)

 

Malang, 16 Maret 2020

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Bisa dihubungi via Fb: Semutnya Al El.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply