Cilok
Oleh: Ina Agustin
“Cilok-cilok!” teriak seorang perempuan paruh baya, sambil menenteng sebuah wadah berbentuk persegi panjang yang terbuat dari bahan plastik.
Di belakangnya, turut serta kedua anak kecil berusia sekitar 7 dan 6 tahun. Sudah dua jam lebih mereka berkeliling, tetapi tak satu pun orang yang memanggilnya. Berulang kali perempuan itu mengusap peluh yang menetes di dahi sembari menghela napas dan mengembuskan perlahan. Sementara itu, bunyi keroncong yang berasal dari perut mereka terdengar nyaring.
“Mak, aku lapar!” Rengekan anak pertamanya berhasil menghentikan langkah Minah.
“Aku juga, Mak!” sambung anak bungsunya.
“Sabar, ya! Uang Emak belum cukup buat beli nasi. Gimana kalau kalian makan cilok saja?”
Ia duduk di atas tanah menggunakan sandal jepit sebagai alas. Kemudian ia menatap langit, matanya menyipit saat sinar mentari menerpa wajah tirusnya.
“Aku pengennya nasi, Mak.”
Minah memandang kedua anaknya. Wajah mereka mengingatkan ia pada suaminya yang telah tiada. Semua berawal dari PHK. Ya, suaminya kena PHK sejak pandemi merajalela. Sejak itu, sering terjadi pertengkaran di antara mereka. Kebutuhan makan sehari-hari, tagihan listrik dan air, keperluan sekolah dan sederet keperluan lainnya membuat Herman pusing dan bingung harus berbuat apa.
“Ayo lakukan sesuatu, Bang! Jangan diam saja!” teriak Minah pada suaminya.
Herman sudah mencoba berbagai cara. Mencari pekerjaan ke sana-sini, hasilnya nihil. Sementara untuk buka usaha ia tak punya modal. Ia sering duduk melamun menghadap jendela. Hal itu membuat Minah naik pitam. Minah terkejut saat mendapati suaminya terkena PHK. Kepalanya bagai dihantam godam saat Herman mengatakan itu. Beberapa kali Minah meminta bantuan kepada orang tua dan saudaranya, meminjam uang ataupun beras. Namun, hal itu tak dilakukan lagi setelah saudaranya yang kaya itu menghina Minah.
“Alaaah, kamu ke sini mau pinjem, apa mau minta? Jangan belagu bilang pinjem kalau enggak sanggup bayar!”
Deg!
Jantung Minah berpacu cepat. Ada sesak di dada. Buru-buru ia melangkah pergi sembari menahan air mata. Sampai di rumah, ia tumpahkan semuanya. Herman mengatakan agar Minah bersabar. Namun, Minah malah menatapnya nanar. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal. Matanya membelalak.
“Semua ini karena kamu, Bang!”
Minah menyayangkan sikap suaminya yang menolak tawaran jabatan dari atasannya beberapa waktu lalu. Padahal dengan menerimanya, ia otomatis akan diangkat menjadi karyawan tetap. Karena yang di-PHK hanya karyawan kontrak saja.
“Tapi Bos menyuruhku memanipulasi data! Aku tidak mau!”
Dari hari ke hari rumah mereka dihiasi pertengkaran. Herman kalut dan pergi mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 180 km/jam. Hutang yang kian menumpuk dan rengekan istri membuat pikirannya kacau hingga sampai di pertigaan, ia tak melihat sama sekali lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Ia terus melajukan motornya dan bruk! Sebuah mobil truk menghantam Herman. Tubuhnya hancur, ususnya terburai, kepalanya terpisah. Cairan merah tercium amis menggenangi jalan beraspal.
Maafkan Ibu, Nak. Kalau saja Ibu bisa sedikit bersabar, mungkin ….
Minah menghapus air matanya.
“Mak nangis?”
“Eng—enggak. Cuma kelilipan saja.”
Minah berhasil membujuk kedua anaknya untuk makan cilok. Setelah makan beberapa cilok, mereka bermaksud melanjutkan perjalanan. Masih ada tiga perempat bagian cilok lagi untuk dijual. Minah bangkit dari duduknya. Namun, saat hendak berjalan, tiba-tiba segerombolan anak kecil berlari tergesa-gesa dan menabrak kotak cilok Minah hingga akhirnya terjatuh. Jajanan tradisional berbentuk bulat itu berhamburan di atas tanah. Sementara anak yang menabraknya, sudah hilang ditelan jalanan.
Gusti.
Kedua anak Minah menangis sesenggukan. Air mata Minah pun luruh bagai tak bertuan. Tuhan, kenapa Kau biarkan semua ini terjadi? Bagaimana kami menatap hari esok? Engkau Mahakaya dan Mahakuasa. Bukankah hal mudah bagi-Mu mengubah keadaan kami menjadi lebih baik, Minah membatin.
Minah memungut satu per satu cilok yang sudah bersimbah tanah. Dengan langkah gontai, ia membawa pulang kembali cilok-cilok itu. Sesampainya di rumah, ia mencuci cilok-cilok tersebut dengan hati teriris. Camilan yang terbuat dari campuran bahan dasar sagu dan terigu itu dijadikannya menu makan malam sekeluarga.
Lima menit setelah makan malam, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Sang pemilik kontrakan menagih uang sewa rumah.
Serang, 1 Oktober 2020
Bionarasi
Penulis bernama lengkap Ina Agustin. Lahir di Pandeglang, 19 Agustus 1986 ini adalah seorang ibu rumah tangga dari tiga anak laki-laki. Ia menyukai warna merah maroon dan memiliki hobi membaca, menulis, serta membuat kudapan untuk keluarga. Motto: “Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti!” Penulis bisa disapa di akun FB : Ina Agustin atau IG : inamujahidah1986.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.