Charlotte dan Lelaki Penunggang Kuda

Charlotte dan Lelaki Penunggang Kuda

Charlotte dan Lelaki Penunggang Kuda

Oleh : Triandira

Kau tentu paham dengan apa yang kukatakan, bukan?

Charlotte terus menuangkan air dalam mangkuk berisi adonan yang dibuatnya. Menatap perapian yang berada di depan meja tanpa berkedip sedikit pun, membuat cairan bening itu meluber ke mana-mana.

“Demi Tuhan, apa yang kau lakukan?” teriakan Bibi May membuyarkan lamunan Charlotte. Ia tergagap sambil menatap kekacauan yang ada di hadapannya. Tak lama kemudian, gadis bermata biru itu meraih selembar kain yang tertumpuk rapi di dalam rak, lalu kembali ke tempat semula. Mengelap hingga kering permukaan meja yang basah oleh genangan air.

Bibi May mendekat. Berdiri di samping Charlotte setelah meletakkan biji gandum dan beberapa potong roti baguette yang baru dibelinya tadi.

“Jangan pikirkan hal itu lagi.”

Charlotte terhenyak. Menatap wajah bibinya yang kini terlihat sendu. “Maksudmu, Bi?”

“Aku sudah tahu semuanya, jadi—”

“Ah, iya. Bukankah sekarang aku harus membuat adonan yang baru?” potong Charlotte mengalihkan perhatian. “Atau kita akan kelaparan nanti.”

“Charlotte.”

“Aku baik-baik saja, Bi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Bibi May menghela napas. Ia tahu betul keponakan satu-satunya itu sedang berbohong, “Benarkah? Lalu sampai kapan kau akan seperti ini?”

Pertanyaan tersebut cukup membuat Charlotte terdiam, tak ada lagi kalimat yang mampu ia lontarkan. Seperti yang sudah ia duga sebelumnya, suatu saat Bibi May pasti akan menanyakan hal semacam ini terhadapnya. Bagaimanapun juga, tak ada yang bisa ia sembunyikan dari perempuan paruh baya itu. Seseorang yang paling berharga dalam hidupnya saat ini.

Selepas kepergian Ayah dan Ibu, Charlotte kecil tinggal dan diasuh oleh Bibi May. Kecelakaan tragis yang menewaskan keduanya membuat perempuan itu tak tega membiarkan Charlotte hidup sendirian. Apalagi membayangkan kesedihan yang dipikul si gadis dengan usianya yang masih 11 tahun.

Kehidupan yang serba kekurangan pun tak menjadi penghalang untuk membesarkan keponakannya itu dengan penuh kasih sayang. Setiap hari Bibi May bekerja keras demi memenuhi kebutuhan mereka. Menyewa sebuah rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk di pinggiran Kota Hereford.

Di sanalah sebuah kebahagiaan baru mulai mereka rasakan. Hidup sederhana dengan penghasilan seadanya, namun dipenuhi suka cita.

“Kau menyukainya, Sayang?”

“Ya. Ini menyenangkan,” jawab Charlotte kecil kala itu. Membantu Paman Ed memandikan hewan di sebuah peternakan, sepulang sekolah. Tak jarang keduanya terlambat pulang ke rumah saat seekor kuda yang ia sukai mulai berulah. Melompat-lompat tak karuan hingga membuatnya sedikit ketakutan.

“Paman, lihatlah. Ia membuat semuanya berantakan.” Paman Ed yang sudah terbiasa dengan keadaan tersebut hanya bisa menggelengkan kepala.

“Tidak apa-apa. Kau akan terbiasa nanti.” Charlotte mendengus kesal. Memonyongkan bibir hingga Paman Ed menjadi geli saat melihatnya. “Tapi sepertinya pekerjaan kita semakin bertambah sekarang.”

Meskipun tugas yang harus dikerjakan sangat melelahkan, tapi mereka selalu dengan senang hati menyelesaikannya. Tidak hanya itu, sepulang dari peternakan pun mereka juga membantu Bibi May di rumah.

Merawat kebun milik tetangga, memanen dan mengumpulkan biji gandum, juga membuat adonan pancake yang biasa mereka jual di pasar—pagi hari ketika penduduk Kota Hereford mulai disibukkan dengan berbagai rutinitas.

Belasan tahun berlalu. Charlotte pun menjelma menjadi gadis cantik yang mandiri. Keahlian yang diturunkan oleh Paman Ed dan Bibi May sudah ia kuasai. Menunggang kuda, mengolah biji gandum, dan membuat kue yang lezat sudah bisa ia lakukan. Ia juga sudah terbiasa menyelesaikan pekerjaan rumah seorang diri. Kelebihan itulah yang akhirnya menjadikan Charlotte tampak istimewa, membuat para gadis seumuran dirinya merasa iri.

“Bahkan masih banyak yang lebih cantik darinya,” bisik seorang gadis pada temannya. Memandang Charlotte dari kejauhan dengan tatapan sinis di wajah.

***

Semenjak kecantikan dan kemandirian yang dimiliki oleh permata hatinya tersebar luas seantero kota, Bibi May mulai merasa cemas. Ia bahkan mulai membatasi kegiatan yang Charlotte lakukan di luar. Meskipun Paman Ed sering kali mengingatkannya untuk tak bersikap demikian, tapi Bibi May tak peduli. Ia sudah telanjur khawatir. Lebih dari itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

“Kau masih ingat kan, dengan pesan Bibi?” tanya Paman Ed, menyindir istrinya yang tak henti mengomel.

“Tentu saja. Paman tidak usah cemas.”

Charlotte yang usil mendekat. Memeluk perempuan dengan rambut pirang yang tertutup kerudung di depannya. Berulang kali membisikkan kata sayang sambil menyunggingkan senyum.

“Aku harap kau benar-benar mengingatnya.”

“Bi ….”

“Dengar, Sayang. Bibi serius,” tegas Bibi May. “Ingat itu.”

Perlahan Charlotte melepaskan pelukan. Menatap lekat-lekat wajah sang bibi yang penuh kegelisahan. Dan entah mengapa, ia pun mulai merasakan hal yang sama.

Tak ingin memperkeruh suasana, gadis itu memilih untuk pergi. Melangkahkan kaki menuju kamar berukuran kecil. Tempat di mana ia menghabiskan malam bersama kenangan menyedihkan yang muncul begitu saja. Saat ia sendiri, dan saat rembulan menerangi langit gelap di atas sana.

“Jangan lupa untuk makan malam, Sayang,” pesan Paman Ed yang dibalas anggukan kepala oleh Charlotte, sebelum menutup pintu kamar.

Apa aku sudah melakukan kesalahan? Kenapa kau begitu mencemaskanku, Bi? Charlotte menghela napas, mencoba melonggarkan dada yang kian terasa sesak. Jika biasanya ia tak begitu memikirkan kegelisahan yang Bibi May tunjukkan terhadapnya, kali ini tidak demikian. Tiba-tiba saja ia merasa kalut dan tak tahu harus bagaimana.

“Kau sudah tidur?” suara Paman Ed mengagetkannya.

“Ah, tidak. Masuklah Paman.”

Gadis itu beranjak bangun ketika Paman Ed sudah berdiri di dekatnya. Sejurus kemudian, mereka sudah duduk berdampingan. Menatap ke luar kamar dengan jendela yang masih terbuka.

“Tidak ada yang lebih menyenangkan di dunia ini selain melihatmu bahagia, Charlotte.”

“Ma—maafkan aku.”

“Kenapa kau meminta maaf?”

“Paman.”

“Tidak ada yang salah dengan hal itu. Hanya saja …,” sela Paman Ed, “kau berhak bahagia. Seutuhnya.”

Charlotte terdiam. Di saat yang sama Paman Ed masih terus berbicara, perihal kejadian yang dilihatnya tempo hari. Perlahan, gadis itu pun mulai menangkap arah pembicaraan di antara mereka berdua.

Sejauh ini Charlotte memang memendam perasaannya sendiri. Ia tak cukup berani untuk mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan, semenjak ia mengenal pemuda kaya raya bernama Andrew. Tanpa sengaja, di peternakan tempat Paman Ed bekerja.

Waktu itu Andrew hendak berkuda. Ketika ia baru saja mengeluarkan kuda kebanggaannya, Charlotte berlari dari arah berlawanan. Tak pelak, mereka saling bertabrakan.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Andrew, mengulurkan tangan pada gadis yang tersungkur sambil meringis kesakitan.

“Ya, aku baik-baik saja.”

“Maafkan aku. Tadi aku tidak melihatmu, jadi—”

“Tidak. Seharusnya aku yang meminta maaf.” Charlotte berdiri lalu mengelus pelan sikunya yang memerah. “Terima kasih.”

Andrew menganggukkan kepala. Menyunggingkan senyum yang semakin mengembang setelah menyadari siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat itu. Si gadis jelita yang telah memikat hatinya dalam sekejap.

Berawal dari sanalah kedekatan di antara mereka berdua terjalin. Andrew sering meminta Charlotte untuk menemuinya di suatu tempat. Menghabiskan waktu bersama sambil berbagi cerita.

“Kenapa kau memandangiku seperti itu?”

Belaian lembut di pipi Charlotte membuat gadis itu tersipu malu. “Karena kau cantik.”

“Simpan rayuan itu sampai aku menjadi istrimu kelak,” godanya. Mengarahkan pandangan pada lelaki yang kini terlihat gugup.

“Ada apa? Kenapa kau gelisah?”

“Tidak.”

“Baiklah, sekarang katakan padaku. Sampai kapan kita akan terus seperti ini?”

“Maksudmu?”

“Kau tahu benar apa maksudku, Ndrew.”

Charlotte memandang serius wajah Andrew. Tapi lelaki tersebut tak menoleh sedikit pun. Ia malah sibuk mengusap keringat yang menetes di dahinya.

“A—aku rasa kita harus pulang sekarang.”

“Apa? Tapi kau belum menjawab pertanyaanku.”

Andrew tak menggubris. Ia berlalu begitu saja setelah mengecup kening kekasihnya yang masih termangu dengan benak penuh tanya. Seperti sekarang, saat ia mulai memberanikan diri untuk bercerita kepada Paman Ed.

“Aku mengerti, Paman,” ucapnya. “Tidak lama lagi aku akan mengakhiri semuanya. Jadi kumohon, jangan mengkhawatirkanku lagi.”

“Baiklah, Sayang. Istirahatlah.” Paman Ed pergi setelah Charlotte menolak untuk makan dan  membaringkan tubuhnya di atas kasur. Menutup kedua mata dengan tangis yang melemah.

***

Keesokan hari, ketika Charlotte baru saja pulang dari pasar, ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang. Gloria, pewaris tunggal keluarga Edward yang memiliki perkebunan terbesar di Kota Hereford.

Penampilan yang anggun dan menawan, cukup menyadarkan Charlotte bahwa perempuan tersebut berasal dari keluarga terhormat.

“Jadi kau yang bernama Charlotte?” Gloria mendekat sambil tersenyum sinis. Matanya naik turun menatap tiap inci tubuh gadis yang ada di depannya, dari ujung kaki hingga kepala.

“Ya, aku Charlotte. Apa kau—”

“Jauhi Andrew!” bentaknya. “Gadis tidak tahu diri.”

“Apa?”

“Jangan lupa di mana kau tinggal sekarang,” sindir Gloria. Mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah sembari mengibas pelan tangannya. “Bahkan aku sulit bernapas di tempat ini.”

“Kalau begitu kenapa Nona masih di sini?”

Gadis bergaun merah maroon itu terpingkal. “Kau pikir siapa bisa mengusirku, hah? Dengar. Aku kemari hanya untuk memperingatkanmu. Cepat tinggalkan Andrew atau jika tidak—”

“Jika tidak apa, Nona?”

“Hahaha. Aku benar-benar tidak menyangka Andrew bisa menyukai gadis bodoh sepertimu!”

Charlotte terhenyak. Matanya berkaca-kaca seiring jantung yang berdetak cepat. Tubuhnya gemetaran menahan emosi yang kian membuncah, terlebih saat perempuan yang tidak ia kenal itu mencela orang-orang yang disayanginya. Paman Ed dan Bibi May. Sebuah hal yang tidak bisa ia biarkan begitu saja.

“Aku memang miskin, tapi Andrew mencintaiku dengan tulus jadi—”

“Kau bisa dengan leluasa merebutnya dariku, begitu?”

Charlotte menggelengkan kepala. “A—apa maksudmu? Merebut?” gumamnya sambil meneteskan air mata. Sepanjang hidupnya, gadis itu tak pernah berkeinginan untuk merebut siapa pun dari hidup seseorang, termasuk Andrew. Dan andai saja ia mengetahui sejak awal, tentu semua ini tidak akan ia lakukan. Menjalin hubungan dengan lelaki yang telah memikat hatinya, sekaligus mengenalkan pada dirinya tentang sesuatu yang disebut cinta.

Seolah ditikam oleh pisau tajam, Charlotte tersungkur lemah tak berdaya. Sesaat setelah Gloria melangkahkan kaki keluar ruangan.

Kau tentu paham dengan apa yang kukatakan, bukan?

Kalimat tersebut terus terngiang di telinga Charlotte. Sebuah ancaman yang ditujukan padanya, juga Paman Ed dan Bibi May jika ia tidak segera menjauhi Andrew. Kekasih yang telah menjadikan Gloria sebagai istrinya.(*)

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira.
Email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita