Charlotte Boneka Es

Charlotte Boneka Es

Charlotte Boneka Es

Oleh: Syifa Aimbine

“Charlotte … tubuhnya sedingin es. Kehangatan cinta tak mampu menyelimutinya. Ia mati membeku ….”

Nyanyian itu lagi. Nenekku yang gila selalu menyanyikannya saat musim dingin tiba. Itulah kenapa aku selalu menolak saat Mom menitipkanku di tempat Nenek. Apalagi menjelang natal seperti ini. Mereka menolak mentah-mentah keinginanku menghabiskan natal bersama keluarga Sean–pacarku.

“Ayolah, Mom, Dad, aku sudah tujuh belas tahun. Aku punya hak atas diriku!”

“Tidak di malam natal, Karen. Temani saja nenekmu, kami hanya sebentar menjemput adikmu. Setelah itu kami akan menyusul.” Mom bersikeras.

“Kalau begitu aku ikut saja dengan kalian,” tawarku.

“Ayolah, Nenek sudah sangat rindu denganmu.”

Sudah kuduga, usahaku sia-sia. Aku benci nenekku, sejak kecil ia selalu menceritakan dongeng aneh yang menyeramkan. Waktu kecil aku memang penakut, tapi menceritakan hal seram di usiaku sekarang, lebih semacam hal yang menyebalkan. Kukira ia memang belum waras. Aku memang pernah dengar cerita kalau setelah kakekku meninggal, Nenek pernah mendapat perawatan di rumah sakit jiwa.

Seminggu menjelang natal, aku sudah berada di rumah Nenek di Alaska. Hari ini ia tengah sibuk menghias pohon itu sendirian. Sebenarnya ia mengajakku, tapi tentu saja kutolak. Menghias pohon tentu saja bukan kebisaanku, aku lebih suka melakukan aktivitas outdoor yang seru. Sayangnya aku tak dapat keluar rumah, salju yang turun lebat sejak semalam sudah hampir menutup jalan. Aku ragu keluargaku akan sampai ke tempat ini. Jangan-jangan natal kali ini hanya kurayakan bersama wanita jompo itu.

“Kau tahu, Frozen Charlotte ini diambil dari cerita seorang gadis yang mati membeku.”

Dia mulai lagi, kali ini aku akan berusaha mengabaikannya. Aku meliriknya sesaat, ia sedang membuka boneka keramik putih yang biasanya diletakkan sebagai hiasan di dekat pohon natal. Mungkin boneka itu yang ia maksud sebagai Frozen Charlotte. Entahlah, memangnya aku perduli? Aku sedang asik chat dengan Sean, bahkan sambil menceritakan apa yang dilakukan nenekku pada pria yang kukencani sejak awal semester lalu.

Mungkin ia ingin menghabiskan waktu denganmu, Beb. Cobalah untuk melakukan kegiatan bersamanya.

Pesan dari Sean membuatku tertawa sinis. Aku kembali melirik Nenek. Ia sepertinya sedang kesulitan meletakkan hiasan terakhir di puncak pohon. Mungkin Sean benar, ia mungkin butuh teman. Aku menghela napas, meyakinkan diri untuk meredam kesal, lalu beranjak dari sofa baca dan mendekatinya, menawarkan bantuan untuk meletakkan boneka di atas pohon. Pohon itu hampir penuh dengan hiasan warna warni. Sebenarnya kenapa, sih, harus menghiasi pohon setiap natal? Ah, terserahlah.

“Kau ingin ikut ke luar, Sayang? Sepertinya di luar mulai terang. Mungkin aku akan membersihkan salju di ujung jalan supaya mobil orang tuamu bisa lewat.”

Ia terlihat senang ketika aku mulai turun membantunya tadi. Tentu saja aku mau, lama-lama di dalam rumah membuatku mulai jenuh. Setidaknya di luar aku bisa bermain seluncur es atau sekadar membuat jejak kupu-kupu di tumpukan salju.

Aku melihat Nenek menyeret sekop ke ujung jalan, ketika aku mengenakan sepatu untuk seluncur.

“Nek, aku bermain ice skating di danau saja,” ujarku.

“Hati-hati pada lapisan es yang tipis,” nasehatnya sambil berlalu.

Aku segera menuju danau di ujung halaman rumah, danau itu pasti sudah membeku dengan sempurna. Cuaca dingin begini bahkan bisa membuatnya beku hingga ke dasar. Udara dingin membuat napasku mengembun, aku harus segera bergerak agar tulang-tulangku tidak ikut membeku. Saat sedang asyik bermain, aku melirik ke arah Nenek. Meski sudah tua, Nenek memiliki fisik yang cukup kuat. Ia tampak semangat mengangkat salju-salju itu. Aku mulai berseluncur ke arahnya. Namun, bunyi retakan es menghentikanku.

“Oh, No!” pekikku, tepat sebelum lapisan es di bawahku pecah.

Aku terjatuh ke air yang dingin dan dalam. Meski aku jago berseluncur, tapi aku tidak bisa berenang, apa lagi di air es seperti ini. Aku berusaha menarik tubuhku yang basah kuyup, tapi gagal. Kakiku di bawah air mulai kram. Aku mengerang dan berteriak sekuat tenaga menahan sakit.

“Tolong! Nenek, tolong aku!” pekikku.

Entah ke mana nenekku pergi. Aku tidak dapat melihatnya. Tubuhku sudah mulai membeku. Bahkan, aku merasakan sakit pada tulang-tulangku. Semua otot rasanya mulai kram. Apa aku akan mati?

“Tolooong!” teriakku lagi. Berharap ada yang mendengarkan. Namun sia-sia, tidak ada yang datang. Kemana nenekku? Aku mulai menangis, menyesali keputusanku bermain seluncur salju. Seharusnya aku membantu Nenek menyapu salju. Seharusnya aku tetap di dalam rumah, dan bahkan seharusnya aku tidak datang ke tempat ini. Kenapa aku harus mati di sini?

“Bagaimana, Sayang? Menunggu ajal itu cukup menyakitkan, bukan?” Nenek datang. Alih-alih panik dan lekas menarikku, ia malah hanya berjongkok dan menontonku.

“To … tolong ….” Suara lirih keluar dari mulutku yang mulai membeku. Aku tidak mampu merasakan apapun lagi.

Wanita tua itu hanya tertawa sinis. Astaga … dia benar-benar gila. Sepertinya kali ini dia akan membunuhku, membiarkanku membeku di bawah sini.

“Charlotte … tubuhnya sedingin es. Kehangatan cinta tak mampu menyelimutinya. Ia mati membeku … Ayo, bernyanyilah.”

Aku menangis, bagaimana bisa ia bernyanyi di saat aku sekarat seperti ini? Ia ingin membunuhku. Ia berdiri dan bertumpu pada sekopnya, lalu kembali bernyanyi. Nyanyian gilanya bahkan terus berputar-putar di kepalaku. Pandanganku mulai gelap. Tidak! Aku tidak boleh mati. Setidaknya belum saatnya. Kesadaranku kupaksa kembali, lalu mataku memandang ujung sekop yang tajam. Kujangkau, dan kutarik sekuat tenaga. Nenek tidak menduga hal itu akan terjadi, tubuhnya limbung, lalu terjatuh di belakangku. Kini kami sama-sama berada di dalam air.

“Hahaha ….” Nenek tertawa keras. Kukira ia akan panik sepertiku, ternyata ia justru malah tertawa keras. Seakan menikmati ini sebagai lelucon.

“Bagaimana, Sayang? Bukankah ini sangat lucu?” gelaknya lagi sambil menyentuh pipiku. Aku menepis tangannya. Nenek kembali bernyanyi, lagu itu benar-benar membuat telingaku sakit. Aku benci lagu itu.

Aku berusaha kembali naik ke atas dengan bantuan sekop tadi. Kali ini sepertinya akan berhasil. Aku harus berusaha keras jika tidak mau berakhir membeku di danau ini. Aku berhasil menarik tubuhku ke atas permukaan es yang lebih tebal. Napasku terengah-engah, berupaya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
Kulihat Nenek. Ia masih bernyanyi di sana. Aku membalikkan badan, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bangkit. Namun, sebuah tangan menarik kakiku. Aku menoleh, itu Nenek. Ia menginginkan aku kembali masuk ke dalam air.

“Ayo, Charlotte-ku, kembali ke sini. Biarkan tubuhmu membeku. Kau boneka Charlotte-ku yang cantik.”

“Lepaskan!” teriakku.

Aku berusaha melepaskan tangannya. Menendangnya dengan kakiku yang satunya. Namun, tangannya masih kuat menarikku, kakiku mulai kembali menyentuh air. Tidak ada jalan lain, kuraih sekop tadi, kuayunkan ke bawah, tepat ke arahnya. Ujung sekop yang tajam mengoyak kepalanya. Darah segar menyebar, memberi warna merah di lapisan salju yang putih. Meski lirih, aku masih mendengar ia bernyanyi: Charlottetubuhnya sedingin es. Kehangatan cinta tak mampu menyelimutinya. Ia mati membeku. (*)

Depok, 29 Maret 2021

Syifa Aimbine, seseorang yang membuat khayalan sebagai tempat rekreasinya.

Editor: Evamuzy

Sumber Gambat: Koleksi Penulis

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply