Cermin Hitam
Oleh: Tika Coelogyne
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Dari balik bukit Marista semburat kuning menembus jemari pepohonan. Anak-anak bekantan tengah asyik berkejaran di tepi hutan. Hutan yang telah terjamah keasriannya oleh rongrongan traktor ganas. Hingga kini tersisa sebatas kenangan akan keindahan alam berselimut bisik misteri, warisan datu-datu di batas tanah hilir dan hulu.
Di tengah kerumunan anak-anak primata itu, padang ilalang kerontang terhampar sebagai pemandangannya. Pun tidak sedap dipandang, apalagi merasakan hawa panas pemanggil maut di kerongkongan. Meski demikian, tiada orang merasakan derita makhluk penjaga tanah ini. Sebab mereka tengah lelap bersemayam di istana perkotaan, ladang-ladang pemerintahan. Mereka tidak tahu bahkan tidak pernah mau tahu.
Angin mengantarkan jerebu di awang-awang. Masuk ke lubang hidung para penghuni tanah sadapan. Tanah tempat bersimpuh duka dan lara, pengganti bahagia yang pindah ke rekening pejabat buta. Sedang lumbung makanan juga turut menyurut, seiring merosotnya kepedulian di hati para penguasa.
Sudah hari ketiga puluh, hujan tidak jua tiba. Mata air sumber kehidupan beruntung masih setia adanya. Menjadi menu terlezat pelepas dahaga berkepanjangan bagi mulut kering anak bekantan.
Sementara itu di perkotaan, bos penadah dan sang pejabat tengah berjabat tangan. Seusai membubuhkan tanda tangan di atas hitam putih perjanjian. Raut bahagia memancar dari keduanya. Satu dari mereka menaruh khayal akan mengeruk segunung keuntungan. Yang satunya lagi tak berkedip memandang nominal calon penghuni rekening tabungannya.
Nasib makhluk penunggu bukit Marista tengah digadaikan. Rupanya belum cukup kontrak pertama telah banyak mengundang kerusakan, kepayahan, dan bibit-bibit kehancuran. Sekarang akan bertambah lagi guratan nestapa dalam catatan sejarah bisikan alam. Kembali lahir senandung-senandung tangisan di bawah penindasan terselubung. Senandung derita dalam alunan orkestra anak-anak bekantan.
Alam telah terluka, mereka pun telah murka. Hanya manusia tidak semua merasakan. Andai peduli pun tak mampu berbuat apa-apa. Seakan pasrah dengan keadaan, diinjak kuasa pemegang keputusan.
Ya Tuhan, ini sudah keterlaluan. Berulang manusia diingatkan akan keluhan pedihnya kesakitan. Tetapi mereka enyahkan lalu menganggap itu biasa.
Manusia sudah mulai bersahabat dengan deru, debu, cuaca panas dapat diatasi semampu mereka. Seakan telah hafal dengan status masa waspada. Karena bencana sudah jadi hal biasa. Mengamankan diri dan keluarga, meski tak setiap orang berhasil dengan jerih upayanya.
Satu per satu manusia tumbang, akibat global warming tak terelakkan. Sebagaimana pengikat tanah di hutan, begitu pula ia tumbang batang per batang. Menyisakan tanah bangkang bekas kerukan, yang hasilnya sama sekali tak terendus para pemilik tanah garapan.
Lalu apa masalahnya? Bukankah setiap keputusan penggalian sumber daya alam adalah tidak lain untuk kesejahteraan daerah. Status kemajuan negara dari sudut pandang ekonomi relatif dan manipulatif terhadap sesaat kepuasan batin.
Memang benar demikian adanya tetapi sangat disesalkan, mengapa tidak orang-orang berjas dan berdasi itu mampir barang sejenak menikmati teduh dedaunan rindang. Menjelajah pesona bukit Marista yang memang mengandung suluh cerita lama. Mengapa mereka tidak hendak mendengar nyanyian anak-anak primata mengalunkan suka cita. Malah mereka renggut nada-nada hikmah itu berganti jeritan hati, sedih tiada tara.
Andai para pemilik wewenang bisa bercermin. Memandang diri sebagai penunggu alam bukit Marista, putri semata wayang diasuh pulau Aritan.
Tapi … sayang, demikian itu hanya khayalan. Sebab telah dipastikan mereka akan sangat enggan, takut pundi-pundi peluang tumpah berserakan tak terbendung.
Segera gelap mata menjumput peluang, tak lagi sempat bercermin. Mengeja kata-kata nurani, menangkap bahasa alam, apa yang mereka inginkan bukan segepok lembar rupiah dan kenangan muram.
Anak-anak bekantan hanya inginkan rambai dan aliran bening sungai. Limpahan kasih sayang dari lindungan hijau hutan hujan. Bermain riang dalam dekapan hangat matahari. Melompati dahan demi dahan dengan keceriaan yang seakan tiada hari selain hari milik mereka.
Tetapi sayang beribu sayang, benar-benar di luar nalar. Harapan yang menumbuh di tanah warisan telah hancur berserakan, roboh terhalang tangan-tangan keberingasan. Tambatan hati masyarakat jua telah hancur, pesona yang dirindu sudah melebur bersama kerikil pengisi celah lengan pepohonan tumbang.
Andai saja para pemegang kekuasaan bisa bercermin. Tapi rasanya sangat tidak mungkin, sebab cermin hati mereka ialah hitam. Sehitam hasil kerukan di tanah warisan nenek moyang. Yang mana kekayaan itu akan berganti dengan janji-janji bala bencana.
Tak terasa hari-hari berlalu. Kunjungan kami ke bukit Marista kali ini berakhir pilu. Ikut berpulang seekor bayi bekantan dalam kondisi dehidrasi bersangatan. Sebab tiada lagi sang induk yang sedianya mengasihi memberi penghidupan.
Ibu dari bayi itu pun telah kehilangan kehidupannya, dicabut oleh pemburu berdarah dingin. Tiada rasa iba, tiada pemikiran akan kelangsungan alam. Rupanya hati mereka telah ikut terbenam dalam cermin-cermin hitam.(*)
Tika Coelogyne, nama pena dari Tika Hartika Hst. Mahasiswa STAI Darul Ulum Kandangan dan angkatan pertama Sanggar Buluh Marindu Kalsel. Email: tikahartikatc@gmail.com. Fb: Tika Hartika Hst
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita